Akan tetapi, kalau ayah pulang, kami begitu dimanjakan. Apa pun yang kami mau, ayah berusaha mengabulkannya. Tak heran, aku dan keempat adikku begitu nyaman kalau ayah pulang ke rumah. Ada sosok yang bisa memberikan kegembiraan. Paling tidak bisa mengimbangi sosok dan peran ibu selama ayah tidak ada. Â
Dalam perjalanan pulang, aku juga ingat pada ibu. Beberapa bulan terakhir kondisi ibu menurun. Lemah. Pelbagai sakit menghampirinya. Dulu ibu begitu sehat. Dikenal sebagai wanita yang cukup energetik. Â
Semuanya berubah cepat.Ibu sakit bukan semata karena persoalan fisik. Akan tetapi, luka batin. Pada ayah.
Setelah menikah 25 tahun, ibu baru mengetahui jika ayah ternyata mempunyai relasi dengan seorang wanita di provinsi tetangga. Ibu mengetahui itu pada saat ayah baru pensiun dari pekerjaannya sebagai seorang polisi.
Entah apa yang memberanikan ayah untuk mengungkapkan aibnya, tetapi yang pasti hal itu menggoncang keluarga kami. Â
Pasalnya, ayah terkenal sebagai orang baik di mata tetangga. Keluarga kami terbilang sebagai keluarga besar di desa kami. Banyak orang yang menaruh respek kepada keluarga kami.
Bahkan ayah juga termasuk sosok yang dermawan di gereja. Tanah di mana gereja berdiri merupakan donasi dari ayah. Tidak hanya tanah. Bahkan beberapa material untuk pembangunan kapela itu pun adalah sumbangan ayah.
Barangkali ayah berani mengatakan tentang aibnya karena buah hatinya dari hasil hubungan gelapnya itu. Dia tidak menelantarkan buah hatinya. Bukan karena wanita itu, tetapi demi buah hati yang terlahir dari hubungan gelapnya.
"Akh ayah. Lakumu membuat aku bingung. Sisi gelapmu membuatku sulit memaafkan wanita yang telah menekuk hatimu dan membuat ibu menderita saat ini."
***
Dua jam kami menanti kedatangan jenasah ayah. Dari jauh terdengar bunyi sirene ambulan. Beberapa orang berkumpul di pinggir rumah kami. Tidak sedikit.