Aku tahu mereka berada di depan rumah kami karena mereka mengenal ayah adalah orang baik. Walaupun kisah hubungan gelapnya sudah tersebar dari mulut ke mulut. Sepertinya, mereka tidak mau peduli. Â
Mobil ambulan perlahan masuk ke halaman rumah kami. Peti  jenasah ayah dikeluarkan.
Pandangan mataku tertuju pada seorang bocah. Sedang memegang foto ayah yang berseragamkan dinas kepolisian. Rivan tidak melepaskan bahu bocah itu. Â
"Siapa anak kecil itu?," tanyaku dalam sedih.
Adikku yang bekerja di luar provinsi berusaha membimbing anak itu. Mengambil foto ayah dan ditempatkan di atas peti jenasah ayah. Â
Lalu, adikku memeluk anak itu dari belakang. Begitu perhatian. Sesekali membasuh air matanya.
Ibu yang berada di sampingku berbisik. "Yang berdiri dengan Rivan itu adalah anak dari ayahmu dengan wanita yang berada di luar kota."
"Lantas, di mana ibunya?" tanyaku dengan agak marah.
"Aku beritahu ke Rivan agar wanita itu tidak boleh datang. Anaknya boleh," kata ibu dengan suara yang begitu tegar.
Aku kembali memperhatikan anak itu. Tangisannya begitu membasahi pipihnya.
Rivan membasuhi pipinya dengan tisu. Sementara itu, ibu juga berupaya membasuh pipiku dengan sapu tangannya.