Rupanya, ibu telah pergi. Saat itu, aku belum mengerti bagaimana ibu pergi.
Namun, setelah beberapa tahun, saya pun mulai memahami. Sesekali saya mendengar nenek saya berkisah dengan anggota keluarga yang berkunjung tentang anak puterinya itu. Tentang ibu.
Juga, perlahan saya juga tahu sebab dari kepergiannya. Gara-gara ayah. Ayah yang tiba-tiba datang membawa kabar tak sedap.
Kabar tentang hubungan gelapnya. Ternyata, dia mempunyai relasi dengan wanita lain. Bahkan dia juga sudah mempunyai seorang anak dari relasi terlarang tersebut.
Hari itu, dia membawa kabar itu. Bukan sekadar kabar, tetapi sebuah keputusan.
Dia memilih wanita itu daripada ibu. Ibu tidak terima. Protes dan berontak. Tidak terima, dia malah memainkan tangan dan kakinya ke ibu. Pergi tanpa kabar. Saya juga tidak mau tahu kabar di mana dia berada.
Rupanya, kisah tentang ibu meruntuhkan rasaku pada seorang ayah. Tidak lagi tertarik melihat sosok ayah. Bahkan saat seorang guru berkisah tentang perannya di rumah sebagai ayah, saya selalu penuh dengan curiga. Tidak percaya.
Hingga, rasa ini jatuh pada pelukan teman akrabku. Sesama teman perempuan.
Awalnya biasa-biasa saja. Namun, kenyamanan di antara kami memenjarakan rasaku. Begitu pun dia. Â
Enam tahun kami bersama. Dari bangku SMP hingga SMA. Di bangku kuliah kami terus berelasi walau terpisah karena pilihan tempat kuliah.
Hingga kami pun mulai berani mengungkapkan relasi kami. Terbuka. Tidak takut apa kata dunia.