Ayah. Kosa kata yang sangat saya benci. Sudah sangat lama rasa benci itu mendiami diriku. Sejak bangku Sekolah Dasar. Saat ini, saya sudah menginjak kepala tiga.
Namun, semakin saya melupakan kosa kata, saya pun kian tersiksa. Beban batin begitu kuat menggerogoti hidupku. Â
Setiap kali mendengar kosa kata itu, hatiku seolah teriris pelan. Rasanya sakit sekali. Kalau waktu bisa diputar kembali, saya akan menjadi orang pertama yang mengusulkan untuk menghapus kosa kata itu dari kamus kehidupan. Tidak ada lagi ayah. Â
Apalagi setiap kali merayakan hari ayah. Inginnya hari itu berlalu cepat. Bahkan dilewati saja.
Biasanya, saya tidak mau masuk ke halaman media sosial ketika perayaan hari ayah. Mati total.
Ayah. Figur yang membuat aku membenci diriku untuk menjadi seorang ibu dan istri. Terakhir yang kuingat tentang ayah 20 tahun lalu. Saat usiaku masih 10 tahun. Masih berada di bangku SD.
Entah apa yang merasuki dirinya hingga di suatu hari saya mendapatkan ibu terkapar tak berdaya di kamar. Mukanya lebam. Matanya basah dan menerawang jauh. Pikirannya tidak jelas. Tak peduli dengan dunianya.
Sebagai anak sulung, saya coba tegar. Dua orang adikku tak kubiarkan larut dalam situasi itu. Â
Berhari-hari ibu tidak keluar kamar. Setiap kali nenek mengantar makanan ke kamar, ibu tak sekalipun menyentuhnya. Ibu hanya diam. Nenek kehilangan asa untuk memulangkan kesadaran puterinya itu. Â
Hingga di suatu hari, paman menjemput saya di sekolah. Katanya ada kabar penting di rumah.
Tanpa penuh curiga, saya pulang sewaktu hari belum terlalu siang. Dari jauh saya masih melihat ibu guru yang mengantar saya hingga gerbang sekolah. Â "Tidak biasa," pikirku.
Rupanya, ibu telah pergi. Saat itu, aku belum mengerti bagaimana ibu pergi.
Namun, setelah beberapa tahun, saya pun mulai memahami. Sesekali saya mendengar nenek saya berkisah dengan anggota keluarga yang berkunjung tentang anak puterinya itu. Tentang ibu.
Juga, perlahan saya juga tahu sebab dari kepergiannya. Gara-gara ayah. Ayah yang tiba-tiba datang membawa kabar tak sedap.
Kabar tentang hubungan gelapnya. Ternyata, dia mempunyai relasi dengan wanita lain. Bahkan dia juga sudah mempunyai seorang anak dari relasi terlarang tersebut.
Hari itu, dia membawa kabar itu. Bukan sekadar kabar, tetapi sebuah keputusan.
Dia memilih wanita itu daripada ibu. Ibu tidak terima. Protes dan berontak. Tidak terima, dia malah memainkan tangan dan kakinya ke ibu. Pergi tanpa kabar. Saya juga tidak mau tahu kabar di mana dia berada.
Rupanya, kisah tentang ibu meruntuhkan rasaku pada seorang ayah. Tidak lagi tertarik melihat sosok ayah. Bahkan saat seorang guru berkisah tentang perannya di rumah sebagai ayah, saya selalu penuh dengan curiga. Tidak percaya.
Hingga, rasa ini jatuh pada pelukan teman akrabku. Sesama teman perempuan.
Awalnya biasa-biasa saja. Namun, kenyamanan di antara kami memenjarakan rasaku. Begitu pun dia. Â
Enam tahun kami bersama. Dari bangku SMP hingga SMA. Di bangku kuliah kami terus berelasi walau terpisah karena pilihan tempat kuliah.
Hingga kami pun mulai berani mengungkapkan relasi kami. Terbuka. Tidak takut apa kata dunia.
Tanpa ragu bergandengan tangan di tempat publik. Tidak peduli dengan apa yang diperbincangkan oleh orang-orang.
Keluargaku ikut merasa aneh. Janggal. Tidak terima pada pilihanku. Berkali-kali mereka merayuku untuk berkenalan dengan seorang pria. Namun, rencana itu selalu gagal. Rasaku pada seorang pria sudah beku.
Malahan, saya lebih tertarik padanya. Teman perempuan. Seorang perempuan yang bisa memahami situasiku.
Saya pun bingung mengapa dia seperti itu. Ternyata, kisahnya lebih menyakitkan.
Ayahnya pergi dari rumah mereka hingga ibunya harus banting tulang. Jadi tulang punggung keluarga. Pergi dari bar demi bar.
Tidak tega dengan pekerjaan ibunya itu, dia pun berjanji untuk tidak mengambil langkah yang sama dengan ibunya. Tidak mau menikah dengan seorang pria. Hatinya juga sudah beku untuk menerima seorang pria.
Walau demikian, kosa kata ayah kerap menghantui pikiran. Sangat sulit terhapus. Ternyata, relasiku dengan dirinya sulit menghapus dirinya dari kehidupanku. Sosok itu tetap saja menghantui hari demi hariku. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H