Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tidak Ada Budaya yang Lebih Superior Daripada Budaya Kita

30 Mei 2020   20:25 Diperbarui: 1 Juni 2020   10:48 2242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tentang budaya. Sumber foto: Pexel.com

Tulisan ini bermula dari sebuah pengamatan pada situasi beberapa tahun silam. Tepatnya, tahun 2012-13. Konteksnya, di salah satu pulau di Filipina.

Di pulau ini, ada masyarakat asli (indigenous people) yang masih hidup sampai sekarang. Masyarakat asli ini masih kuat memegang budaya asli mereka. Masih belum banyak terjamah dari pengaruh dari luar.

Sistem kehidupan mereka berbeda dengan yang tinggal di wilayah pesisir. Mereka tinggal di wilayah pegunungan. Beberapa komunitas di antaranya masih hidup nomaden. Pindah dari satu gunung ke gunung lainnya. Pakaian juga masih sangat tradisional.

Perlahan pemerintah, lembaga agama dan pelbagai lembaga sosial menjamah kehidupan masyarakat asli ini. Bukan untuk merusak atau menghilangkan kebudayaan mereka, tetapi memperkenalkan beberapa cara hidup baru. Misalnya, soal pentingnya kesehatan dan pendidikan.

Makanya, beberapa tahun terakhir, banyak anak-anak muda dari masyarakat asli ini mengenyam pendidikan hingga bangku kuliah. Bahkan di antaranya sudah menjadi profesional dan bekerja untuk masyarakat asli itu sendiri.

Kehidupan nomaden pun perlahan mulai ditinggalkan. Mereka didorong untuk tinggal dalam satu tempat. Karenanya, pemerintah juga berupaya untuk membangun sistem pemerintahan seturut sistem yang berlaku secara umum.

Misalnya, mereka mulai mempunyai aparat desa. Walau demikian, mereka tetap mempunyai struktur kepemimpinan secara adat.

Agar tidak menimbulkan bentrokan kepemimpinan, biasanya yang dituakan atau tua adat dipilih menjadi kepala desa. Jadinya, dia menjabat sebagai kepala pemerintahan desa dan kepala adat. Tidak jarang, persoalan yang terjadi di tengah masyarakat diselesaikan dengan menempuh cara adat.

Selama hampir setahun tinggal di pulau ini, saya mengamati stigma tertentu yang dilekatkan pada masyarakat asli ini. Sangat kuat dan cukup disayangkan.

Stigma itu muncul dari masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir. Apalagi, pembangunan hanya terkosentrasi di wilayah-wilayah pesisir. Wilayah pegunungan kurang terjamah.

Stigma itu bertolak dari penampilan fisik mereka. Contohnya, stigma malas mandi, kotor, bau, kolot dan terbelakang.

Saat menyebut masyarakat asli ini, pikiran beberapa orang selalu tertuju pada stigma tersebut. Bahkan saat ada orang yang berpenampilan kotor, bau, malas mandi, walau bukan berasal dari masyarakat asli ini, mereka juga langsung mengasosiasikan dengan masyarakat asli ini.

Barangkali hal ini terjadi karena penampilan beberapa masyarakat asli jika mereka turun ke wilayah perkotaan. Beberapa di antaranya memang tidak terlalu peduli pada penampilan. Terkesan kotor. Karena ini, mungkin masyarakat memberikan generalisasi secara umum.

Kerap kali mereka datang ke kota menjelang Natal atau perayaan di kabupaten dan provinsi. Tidak sedikit dari antara mereka yang meminta makanan dan uang dari rumah ke rumah pada situasi perayaan seperti itu.

Memang tidak semua. Hanya saja, stigma buruk cukup kuat hingga memandang rendah keberadaan budaya masyarakat asli ini.

Stigma ini melahirkan perasaan superior. Budaya dari orang-orang yang tinggal di wilayah kota dan pesisir dinilai lebih tinggi daripada masyarakat asli yang tinggal di wilayah pegunungan. Budaya direndahkan hanya karena faktor penampilan.  

Ini adalah salah satu contoh di mana orang-orang merasa budaya mereka lebih superior daripada budaya orang lain. Merasa superior karena faktor penampilan luar yang dinilai berbeda sama sekali. Padahal, penampilan luar tidak bisa menjadi standar utama untuk menilai budaya seseorang.

Hal sama kadang-kadang terjadi dalam konteks kehidupan kita. Misalnya, klasifikasi antara orang pusat dan orang daerah atau juga orang kota dan orang kampung.

Klasifikasi ini kadang bisa menjadi penyebab pada superioritas kelompok tertentu pada kelompok lain.  

Contohnya, tidak jarang terjadi orang yang tinggal di kota menganggap diri lebih tinggi daripada mereka yang tinggal di kampung. Karenanya, kita mungkin kerap berjumpa dengan sebutan "orang kampung."

Bahkan, sebutan "orang kampung" menjadi istilah yang kadang kali dipakai untuk seseorang, misalnya, gagap teknologi dan kaku pada situasi baru dan modern.

Sebutan ini bisa saja terlahir karena pola pikir yang menilai jika orang dari kampung selalu terbelakang dan minim pengetahuan.

Padahal, hal ini belum tentu benar. Pasalnya, penilaian itu hanya bertolak dari salah satu aspek kehidupan.

Coba kalau orang kota ke kampung. Belum tentu, mereka bisa menghidupi cara hidup orang kampung. Malahan, mereka sendiri bisa gagap dengan apa yang dihidupi oleh orang-orang di kampung.

Merasa diri superior atas budaya orang lain menciptakan gap dalam relasi. Orang tersisih. Orang akan menjauh.

Sebenarnya, tidak ada budaya yang superior dan inferior. Semua budaya sama. Perbedaan yang terjadi membahasakan keunikan setiap budaya. Malah, perbedaan itu bisa menjadi kekayaan dan pelajaran di antara satu sama lain dalam kehidupan sosial.

Di samping itu, tidak perlu merasa inferior saat berhadapan dengan budaya orang lain. Hadapi budaya itu sembari belajar hal-hal yang positif darinya.

Sebaliknya, juga kita tidak perlu merasa superior saat cara hidup seseorang begitu berbanding terbalik dengan cara hidup kita. Perlu kita menghargai hal itu sebagai bagian dari hidup mereka. Walaupun apa yang dilakukan itu dinilai rendah dalam konteks budaya kita.

Prinsipnya, setiap budaya mempunyai keunikan tersendiri. Keunikan ini menjadi poin yang membedakan dan kekayaan yang bisa dipelajari.

Makanya, merasa diri superior sembari merendahkan budaya lain hanya menimbulkan gap dalam relasi. Bahkan perpecahan dan konflik tidak bisa dihindari.

Dengan kata lain, kita perlu merasa bangga dengan budaya yang kita miliki. Kita pun perlu menghargai budaya yang dihidupi oleh orang lain.

Gobin Dd

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun