Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Menciptakan Kegiatan yang Bukan Sekadar Ikut-ikutan, Tetapi Sesuai dengan Karakter

6 Mei 2020   13:18 Diperbarui: 6 Mei 2020   13:45 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: Sharda University.com

Saya tinggal di sebuah desa yang terdiri dari 3 RT. Di desa ini, ada 13 usaha bisnis kios. Populasinya berkisar 20 persen dari jumlah keluarga. Saya menilai kalau jumlah bisnis kios itu terlalu banyak bila dibandingkan dengan jumlah penduduk. Apalagi jarak antara satu kios dengan yang lain berdekatan.

Tiap kios juga hampir menawarkan barang yang sama. Kalau salah satu kios menjual telur, 12 kios lainnya juga menjual hal yang sama. Bisa diperkirakan kalau konsumen setiap hari bisa sangat terbatas.

Ini adalah salah satu potret dari kecenderungan  berbisnis di masyarakat. Berbisnis ikut-ikutan. Bisnis apa yang dilakukan oleh orang lain seolah menjadi model untuk diikuti. Padahal, hal itu belum tentu sesuai dengan realitas.

Bisnis ikut-ikutan itu merupakan bentuk melakukan sesuatu karena melihat apa yang dilakukan oleh orang lain. Saat satu orang membuka kios, yang lain pun melakukan hal yang sama. 

Saat satu orang menjual makanan ringan setiap sore di depan lapangan basket, dua sampai tiga orang lain juga akan melakukan hal yang sama. Jualannya hampir sama, sementara pembelinya adalah yang itu-itu saja.

Potret yang sama juga terjadi pada masa karantina. Fenomena untuk mengikuti apa yang dilakukan oleh orang lain.

Contohnya, saat salah satu orang membuat video yang berisi renungan dan diupload di YouTube, beberapa orang pun beramai-ramai mengikuti langkah yang sama. 

Jadinya, video renungan berlimpah ruah selama masa karantina. Bahkan yang tidak pernah bersentuhan dengan cara membuat video dan bersentuhan dengan dunia YouTube ikut nimbrung dan melakukan hal yang sama.

Jadinya, dalam satu grup, kita bisa mendapatkan banyak video renungan. Tidak masalah kalau hal itu adalah bagian dari belajar. Persoalannya, kalau hal itu merupakan bentuk mengikuti cara yang dilakukan oleh orang lain. Terlebih lagi, cara, gaya penyampian dan pesan juga sama.

Pertanyaannya, sampai kapan fenomena ini terjadi? Besar kemungkinan ini hanya berlangsung selama masa karantina. Setelahnya, banyak orang kembali pada rutinitas semula.

Keterbatasan kreativitas dan ketiadaan aktivitas menyebabkan orang cenderung meniru apa yang dilakukan oleh orang lain. Secara umum, banyak orang yang tidak dibekali dengan kreaktivatas untuk mengisi waktu luang yang terjadi dalam jangka waktu yang lama. 

Hal ini juga terjadi karena keterbatasan mengenal karakter diri kita. Pasalnya, kita semua berbeda. Karakter, minat dan kepribadian kita berbeda antara satu sama lain.

Perbedaan ini bisa menghambat seseorang untuk bisa melakukan hal yang persis sama dengan apa yang dilakukan oleh orang lain. Kalau tidak kuat, muncul rasa stress dan frustasi. Perasaan ini terjadi karena tidak bisa melakukan apa yang dibuat orang lain.

Karenanya, kita perlu mengenal diri kita sendiri. Pengenalan diri bertujuan agar kita bisa tahu orientasi diri kita.

Contohnya, kalau kita tahu dan sadar jika kita berminat untuk menulis, lebih baik kita menekuni bidang itu tanpa terlalu peduli untuk menyamai pencapaian dan kesuksesan orang lain. Menulis seturut kemampuan kita masing-masing.

Atau juga, kalau tidak berbakat di dunia musik, kita tidak boleh memaksa diri untuk meniru dan menjadi seperti orang lain. Kita boleh berlatih, tetapi bukan dengan itu kita ingin agar kemampuan kita setara dengan orang-orang yang sudah berbakat. Jadilah diri sendiri tanpa perlu meniru apa yang dilakukan oleh orang lain.

Pengenalan diri ini juga bertujuan agar kita bisa tahu apa yang mesti kita lakukan, terlebih khusus selama masa karantina. Bukan sekadar mengikuti arus utama dengan apa dilakukan oleh orang lain.

Misalnya, kalau semua orang membuat video Tik-Tok,  orang pun mesti seperti itu. Gaya dan model goyangannya sama. Jadinya, orang yang menonton gampang menerka idenya. Jadinya, cepat menjadi bosan.

Kita mesti mempunyai pegangan tersendiri agar itu bisa memberikan manfaat. Tentunya, di sini kita mesti mengenal diri kita. Kita mengenal kemampuan, kepribadian dan bakat yang kita miliki.

Beberapa hari lalu seorang teman menanyakan saya apakah saya berkebun ataukah tidak selama masa karantina. Jawaban saya, tidak.

Teman ini mengakui kalau dia berkebun selama masa karantina hanya karena dia melihat hasil postingan seorang teman di sebuah grup media sosial. Atas dasar itu, dia mencoba berkebun. Namun, dia agak kecewa karena hasilnya gagal. Bahkan dia mengeluh karena dia sudah mengorbankan waktu dan tenaga hanya untuk berkebun.

Saya kira langkahnya tidak salah. Yang menjadi persoalan saat apa yang dilakukannya itu merupakan upaya untuk meniru apa yang dilakukan oleh orang lain. Saat upaya itu tidak berjalan sebagaimana mestinya, pada saat itu pula dia akan merasa kecewa dan marah.

Kalau kita menekuni apa yang bisa dilakukan, hemat saya, kita tidak akan terjebak pada kekecewaan. Pasalnya, kita menekuni sesuatu yang kita bisa lakukan seturut kemampuan kita, tanpa membandingkan itu dengan orang lain.  

Atau juga, kita bisa melakukan apa yang dilakukan oleh orang lain, tanpa berharap kalau hasilnya mesti menyerupai yang dilakukan oleh orang lain. Kita melakukan itu sesuai dengan karakter diri kita.

Untuk apa berlomba dengan orang lain, sementara itu kita mempunyai keterbatasan tertentu. Lebih baik, kita menikmati apa yang kita lakukan seturut kepribadian dan karakter yang kita miliki.

Kalau kita bisa menyainginya apa yang dilakukan oleh orang lain, kita bisa nyaman dan senang. Tetapi kalau tidak, kita malah dibaluti oleh rasa kecewa karena gagal karena tidak bisa menyamai apa yang dilakukan oleh orang lain.

Masa karantina merupakan kesempatan untuk mengenal diri. Kita melakukan sesuatu untuk mengisi waktu di rumah seturut kepribadian dan kemampuan kita. Dengan itu, kita bisa memaknai waktu dan memperkaya diri kita.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun