Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pengalaman Orangtua, Bahan Nasihat yang Tidak Membebankan dan Sesuai Konteks

5 Mei 2020   09:22 Diperbarui: 5 Mei 2020   09:34 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Pengalaman adalah guru terbaik." Demikian ungkapan yang barangkali kerap kita dengar atau baca. Atau juga, kita membuktikan itu lewat pengalaman kita sendiri.

Dalam mana, pengalaman masa lalu menjadi pelajaran, contoh dan kekuatan bagi kita saat menghadapi pengalaman yang hampir serupa.

Banyak orangtua memanfaatkan pengalaman masa lalu mereka sebagai bahan nasihat. Intensi paling mendasar adalah agar seorang anak bisa belajar dari pengalaman tersebut.

Selain itu, anak juga sekiranya memanfaatkan pengalaman masa lalu itu dalam menjalani kehidupannya. Tidak sedikit orangtua berharap agar pengalaman yang sama bisa dipraktikkan oleh anak. Persoalannya, kalau harapan itu terlalu besar. Anak bisa merasa terbebankan.

Beban itu terjadi karena kesulitan anak menerjemahkan pengalaman yang sama pada konteks hidupnya. Beban itu terjadi karena bayang-bayang ekspetasi orangtua. Apalagi kalau anak mempunyai arah dan ideal yang berbeda dari apa yang diharapkan oleh orangtua.

Tidak salah menceritakan pengalaman masa lalu sebagai bahan nasihat. Hal itu bisa menjadi bukti yang  bisa mendorong anak untuk tidak jatuh dalam kesalahan yang sama.
 
Bapak saya termasuk salah satu orangtua yang kerap menasihati dengan menggunakan pengalaman masa lalu. Cara menasihati dengan bercerita tentang pengalaman masa lalu yang berhubungan dengan perilaku kami, anak-anak.  

Pernah sewaktu masih berada di bangku Sekolah Dasar di tahun 90-an, saya kadang malas ke sekolah. Jarak antara rumah kami dan sekolah hanya 200 meter. Tanpa hukuman, bapak saya hanya memberikan nasihat. Nasihat dengan menceritakan pengalamannya di masa lalu.

Dia bercerita bagaimana dia dan saudara-saudaranya mesti berjalan berkilometer hanya untuk menempuh pendidikan Sekolah Dasar. Karena perjalanan jauh, mereka sudah membawa bekal dari rumah.

Bekal itu disembunyikan di pertengahan perjalanan antara kampung dan sekolah. Namun, saudara-saudaranya yang lain berhenti dan memilih untuk pergi ke kebun daripada pergi ke sekolah.

Pengalaman masa lalu itu tidak sia-sia. Bapak saya berhasil hingga menyelesaikan pendidikan perguruan tinggi. Yang lain berhenti bersekolah karena mereka tidak mau untuk menempuh perjalanan jauh. Mereka lebih memilih pergi ke kebun daripada ke sekolah yang jaraknya jauh.

Tentunya, pengalaman bapak saya itu sarat dengan makna. Itu menjadi nasihat  dan bahan pelajaran bagi kami. Nasihatnya untuk tidak malas ke sekolah dan pelajarannya bagi kami untuk  memanfaatkan kesempatan bersekolah.

Namun, kadang kali terjadi saat nasihat dari pengalaman masa lalu itu hanya dipandang sebagai bahan yang kuno. Dianggap kuno karena perbedaan waktu dan konteks pengalaman tersebut.

Pasalnya, orangtua saya bercerita tentang pengalamannya yang terjadi di tahun 1960-an untuk kami yang bersekolah di tahun 1990-an. Gapnya 30-an tahun.

Pasti banyak hal yang berbeda. Beda konteks, situasi dan waktu. Saat itu, hampir setiap desa sudah mempunyai satu atau dua SD. Umumnya, jarak sekolah dan rumah sudah berdekatan. 

Dan, masih banyak kemudahan yang bisa dialami oleh anak sekolah saat itu. Mendengar pengalaman orangtua, kadang kala saya agak ragu bila saya bandingkan dengan konteks yang saya alami.

Mencermati situasi dan konteks sangat penting dalam proses pendidikan, termasuk dalam memberikan nasihat kepada seorang anak. Hasil dari evaluasi pada evaluasi itu bisa menentukan apakah sebuah pengalaman masa lalu itu pantas dijadikan bahan nasihat ataukah tidak.

Kalau tidak, tidak perlu dijadikan bahan nasihat. Anak mungkin berpikir apa yang dikisahkan itu hanya seperti cerita fiktif. Bahkan, tidak jarang mungkin anak merasa nasihat-nasihat orangtua dari pengalaman masa lalu terasa kuno. Tidak sesuai dengan waktu sekarang.

Tidak sedikit anak yang protes karena perbandingan yang dibuat. Protes karena pengalaman masa lalu dijadikan rujukan untuk membetulkan kesalahan pada masa kini.

Misalnya, orangtua menasihati anak-anak untuk tidak sering menonton TV setelah pulang sekolah. Orangtua bercerita pengalaman mereka bagaimana bekerja di kebun menjadi kewajiban setelah pulang dari sekolah.

Mungkin di jaman mereka, TV masih menjadi barang langkah. Pergi ke kebun seolah menjadi kewajiban banyak anak saat itu. Saat ini, TV di tiap rumah. Tawarannya pelbagai macam. Anak semakin betah di depan TV. Untuk mengantisipasi ketergantungan pada TV, orangtua mesti pandai mencari nasihat yang sesuai dengan konteks itu.

Bagaimana mungkin, seorang anak dinasihati untuk tidak menonton TV dengan mengatakan untuk bekerja di kebun.

Ada banyak pengalaman orangtua yang bisa menjadi bahan nasihat bagi anak-anak. Tetapi tidak semua pengalaman itu cocok untuk realitas dan konteks hidup seorang anak. Kalau tidak sesuai dengan konteks anak, nasihat itu bisa hanya dipandang sebelah mata. Dinilai kuno dan tidak sesuai dengan konteks hidup mereka.

Memberikan nasihat membutuhkan kemampuan untuk mengenal konteks yang dihadapi oleh anak. Tidak sedikit orangtua yang merasa kecewa saat nasihat mereka tidak ditanggapi. Ini terjadi karena anak sulit menerjemahkan nasihat itu di dalam kehidupan hariannya.

Malah, anak bisa berpikir kalau pengalaman masa lalu orangtua hanyalah serupa dengan cerita fiktif. Sulit dipahami bila dibandingkan dengan konteks hidup mereka.

Memberikan nasihat bukan berarti memaksa pengalaman masa lalu menjadi pengalaman anak-anak. Nasihat yang bertolak dari pengalaman masa lalu itu bukanlah standar utama untuk menuntun jalan hidup anak dan mengukur keberhasilan pendidikan mereka.


Sebaliknya, orangtua bisa memanfaatkan pengalaman masa lalu sebagai bahan tambahan. Itu pun mesti sesuai dengan konteks anak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun