Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Gara-gara Pemakaian Bahasa Daerah, Kami Pernah Dicap Sukuisme

6 April 2020   09:42 Diperbarui: 6 April 2020   17:55 3017
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Rencongpost.com

Bahasa daerah menandakan tempat asal kita. Pemakaian bahasa daerah mempengaruhi logat dan aksen kita dalam berbicara. Ini pun membedakan kita dengan orang lain.

Dari Sabang sampai Merauke, kita boleh saja berbahasa Indonesia. Tetapi aksen dan logat kita dalam berbahasa Indonesia itu bisa mengidentifikasi tentang asal daerah dan suku.

Siapa saja pasti nyaman berbahasa daerah. Apalagi kalau berbahasa daerah di tempat rantauan. Rasanya seperti pulang kampung.

Perasaan dan pikiran gampang disampaikan. Lewat bahasa daerah, pembicaraan menjadi lancar dan itu membangun kedekatan di antara satu sama lain. Tidak heran, sebab orang-orang sedaerah menjadi dekat di tanah rantau karena faktor bahasa daerah yang dipakai dan dipahami bersama.

Berbahasa daerah selalu menunjukkan kekhasan setiap orang. Sangat sulit kita melihat kalau orang yang berasal dari daerah yang sama tidak memakai bahasa daerah dalam percakapan sehari-hari.

Saya pernah tinggal beberapa tahun di sebuah lingkungan yang terdiri dari orang-orang yang berasal dari suku dan daerah yang berbeda-beda. Hanya satu bahasa yang menyatukan kami. Bahasa Indonesia.

Ada beberapa teman yang seasal dan sedaerah dengan saya. Kami sekitar sembilan orang. Setiap kali kami bertemu dan berkumpul, kami berbahasa daerah. Meski aturannya berbahasa Indonesia, di antara kami sendiri kami tetap berbahasa daerah.

Kami merasa nyaman berkomunikasi dengan bahasa daerah. Kalau berbahasa Indonesia, kadang percakapan terkesan formil.

Rupanya apa yang kami praktikkan itu dinilai secara berbeda oleh orang lain. Mereka menilai itu sebagai praktik sukuisme. 

Lantas, apa itu sukuisme?

Seturut pemahaman yang termuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sukuisme dipahami sebagai paham atau praktik yang mementingkan suku bangsa sendiri.

 Beberapa sumber lain menyatakan kalau sukuisme adalah praktik yang lebih memandang sukunya sendiri lebih penting daripada suku-suku lainnya.

Hemat saya, penilaian berbahasa daerah sebagai sukuisme cukup berlebihan. Mana mungkin, gara-gara berbahasa daerah, kami dinilai sukuisme.

Padahal kami tidak melakukan pemaksaan kepada yang lain untuk menggunakan bahasa daerah yang kami gunakan. Bahkan tidak sekalipun, bahasa daerah yang kami pakai menjadi standar utama dalam berbahasa di komunitas.

Penilaian ini tentunya mendapat penolakan. Gara-gara berbahasa daerah di antara kami sendiri, kami dicap sukuisme.

Umumnya kami berbahasa daerah itu dalam rupa percakapan ringan dan dengan sesama kami yang sedaerah. Selebihnya, saat dalam percakapan dengan teman lain dari suku dan daerah berbeda, kami tetap berbahasa Indonesia.

Di satu sisi, penilaian sukuisme bisa saja hadir karena ketidaknyamanan yang dialami. Pasalnya, saat kami yang sedaerah mendominasi dalam sebuah kelompok, kami cenderung berbahasa daerah.

Saat kami bertemu satu sama lain, kami cenderung berbahasa daerah walaupun ada sesama yang lain yang kebetulan lewat.

Mungkin karena situasi ini, mereka mencap kami sukuisme. Tetapi kalau ditilik dari pengertian sukuisme itu sendiri, berbahasa daerah bukanlah upaya untuk mementingkan budaya kami sendiri. Kami berbahasa daerah karena itu yang membuat kami nyaman berbicara di antara satu sama lain.

Pengalaman ini memberikan pelajaran tersendiri. Saya baru mulai tersadar saat saya masuk dalam konteks di mana saya sendiri dari daerah berbeda dan yang lain adalah sedaerah. Ini terjadi di Filipina.

Di saat saya belum memahami bahasa Tagalog, bahasa yang dipahami secara umum di Filipina, saya kerap berhadapan dengan teman-teman yang biasa menggunakan bahasa Tagalog. 

Bahkan saat saya berada di antara mereka, mereka tetap berbahasa Tagalog. Kelihatannya mereka nyaman berbahasa Tagalog, walau saya ada di antara mereka.

Lantas, apakah saya tersinggung? Saya sedikit tersinggung.

Pasalnya, saya berada di antara mereka, tetapi lewat percakapan mereka kelihatannya mereka tidak peduli dengan keberadaan saya.

Padahal kalau mau berkomunikasi dan berinteraksi, kami bisa menggunakan bahasa yang dipahami bersama. Namun mereka lebih memilih bahasa daerah daripada bahasa yang dipahami bersama.

Mungkin level ketersinggungan ini juga terjadi pada beberapa teman yang pernah menilai kami sukuisme karena menggunakan bahasa daerah sebagai medium percakapan di antara kami. Level ketersinggungan ini bisa melahirkan pandangan sempit yang menilai jika berbahasa daerah sebagai aksi sukuisme.

Hemat saya, pandangan sukuisme terhadap mereka cenderung yang berbahasa daerah merupakan pandangan yang sempit. Pandangan yang sempit ini bisa saja disebabkan oleh rasa tersinggung.

Sebenarnya, kalau ditilik lebih dalam orang umumnya berbahasa daerah karena merasa nyaman untuk berkomunikasi. Toh, bahasa daerah merupakan bahasa ibu.

Bahasa yang pertama kali diperkenalkan sejak kecil dan biasa dipakai dalam keseharian. Jadi, cap sukuisme kepada mereka yang kerap berbahasa daerah harus dihilangkan.

Kecuali kalau mereka itu memaksa pemakaian bahasa daerah sebagai standar umta dari kehidupan sesama. Padahal ada bahasa yang dipahami bersama. Aksi seperti ini baru kita sebut dengan tindakan sukuisme.

Berbahasa daerah membuat kita berbeda di antara satu sama lain. Ini adalah kekayaan yang harus dijaga.

Di saat ada orang-orang di sekitar yang cenderung berbahasa daerah, kita sekiranya berpikiran positif. Mereka merasa nyaman kalau berbahasa daerah dan bukannya karena mereka ingin menyinggung kita.

Gobin Dd

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun