Pasalnya, saya berada di antara mereka, tetapi lewat percakapan mereka kelihatannya mereka tidak peduli dengan keberadaan saya.
Padahal kalau mau berkomunikasi dan berinteraksi, kami bisa menggunakan bahasa yang dipahami bersama. Namun mereka lebih memilih bahasa daerah daripada bahasa yang dipahami bersama.
Mungkin level ketersinggungan ini juga terjadi pada beberapa teman yang pernah menilai kami sukuisme karena menggunakan bahasa daerah sebagai medium percakapan di antara kami. Level ketersinggungan ini bisa melahirkan pandangan sempit yang menilai jika berbahasa daerah sebagai aksi sukuisme.
Hemat saya, pandangan sukuisme terhadap mereka cenderung yang berbahasa daerah merupakan pandangan yang sempit. Pandangan yang sempit ini bisa saja disebabkan oleh rasa tersinggung.
Sebenarnya, kalau ditilik lebih dalam orang umumnya berbahasa daerah karena merasa nyaman untuk berkomunikasi. Toh, bahasa daerah merupakan bahasa ibu.
Bahasa yang pertama kali diperkenalkan sejak kecil dan biasa dipakai dalam keseharian. Jadi, cap sukuisme kepada mereka yang kerap berbahasa daerah harus dihilangkan.
Kecuali kalau mereka itu memaksa pemakaian bahasa daerah sebagai standar umta dari kehidupan sesama. Padahal ada bahasa yang dipahami bersama. Aksi seperti ini baru kita sebut dengan tindakan sukuisme.
Berbahasa daerah membuat kita berbeda di antara satu sama lain. Ini adalah kekayaan yang harus dijaga.
Di saat ada orang-orang di sekitar yang cenderung berbahasa daerah, kita sekiranya berpikiran positif. Mereka merasa nyaman kalau berbahasa daerah dan bukannya karena mereka ingin menyinggung kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H