Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Suara Korban Kekerasan Seksual Tidak Boleh Dipojokkan, tetapi Mesti Didengarkan

8 Januari 2020   15:56 Diperbarui: 8 Januari 2020   16:09 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun lalu, saya menonton sebuah film dokumenter berjudul "Leaving Neverland" di sebuah stasiun Televisi. Film dokumenter ini berkisah tentang kehidupan pribadi ikon penyanyi pop, Michael Jackson.

Bisa dikatakan film dokumenter ini mengisahkan tentang sisi negatif di balik popularitas seorang Michael Jackson. Dalam film itu, Michael Jakcson dikisahkan melakukan sexual abuse kepada anak-anak di bawah umur.

Film ini pun memantik pelbagai macam reaksi, terutama bagi fans sang bintang. Ada yang mengutuk sang bintang, ada pula yang menilai film itu sebagai bentuk penghinaan terhadap figur Michael Jackson.   

Film ini secara umum bertolak dari sisi suara para korban Michael Jackson. Adalah James Safechuck dan Wade Robson yang menuturkan bagaimana mereka menjadi korban seksual dari ikon pop dunia, Michael Jackson.

Menyaksikan film dokumenter ini bisa menimbulkan banyak reaksi. Saya sendiri merasa terkejut dengan sisi personal dari kepribadian Michael Jackson. Tidak bisa dibayangkan kalau di balik popularitasnya, ada sisi kelam yang tidak dilihat dari luar.

Popularitasnya sebagai penyanyi dunia tidak mengontrol sisi negatif dari kepribadiannya. Malah dengan popularitasnya itu, dia bisa melapangkan perbuatannya. Betapa tidak, kedua korban menjadi bagian dari hidup Michael Jackson karena mereka mengidolakan sang bintang.  

Hal itu juga dibenarkan oleh pihak korban. Menurut salah satu korban, Wade Robson, Michael Jackson dinilai sebagai seorang yang paling ramah dan penuh kasih. Bahkan Wade Robson merasa biasa-biasa saja dengan apa yang dilakukan oleh Michael Jackson saat itu karena dia menilai Michael Jackson seperti tuhan. Padahal menurut Wade Robson, dia diabuse selama tujuh tahun oleh Michael Jackson (the guardian.com 4/3/19).

Pada titik inilah, saya kagum dengan keberanian dan kejujuran para korban mengatakan peristiwa yang terjadi pada mereka. Keberanian dan kejujuran ini bisa bermula dari niat untuk sembuh dari peristiwa masa silam.

Tampaknya, Wade Robson berani untuk menuturkan kisah kelamnya yang dilakukan oleh Michael Jackson. Wade Robson dan juga Safechuck yang merupakan korban sexual abuse dari Michael Jackson dan mereka menyembunyikan hal itu selama puluhan tahun.

Melihat keberanian mereka menarasikan apa yang terjadi di Neverland, rumah pribadi Michael Jackson, saya melihat upaya mereka untuk menghapus rekam masa lalu.

Suara mereka pun didengarkan dan diakui di publik. Mereka berani untuk berkisah. Keberanian untuk berkisah adalah upaya untuk mencapai sebuah penyembuhan.  

Persoalan masa silam selalu menjadi bayang-bayang kehidupan seorang korban. Meski sudah hidup mapan, korban tetap tidak bisa begitu saja melupakan dan lari dari bayang-bayang kelam di masa lalu mereka. Pada titik inilah, pihak korban mesti mendapat pendampingan psikis dan mental.

Pendampingan psikis dan mental itu berupa upaya untuk mendengarkan suara korban. Biarkanlah korban berkisah, menuturkan perasaan dan sakit hati mereka. Kalau bisa suara-suara mereka dibarengi dengan upaya untuk mencari keadilan agar para korban merasa diperhatikan dan dihargai.

Tetapi kalau para korban dibungkam dan bahkan tidak didengarkan, hal itu malah menimbulkan soal baru dalam diri korban.

Bukan rahasia lagi kalau pengalaman masa silam bisa menjadi motor untuk korban melakukan hal yang sama atau meluapkannya dengan melakukan hal negatif yang berbeda.  

Suara pihak korban mesti menjadi perhatian serius dari pelbagai pihak. Tentunya dampak psikis dari apa yang mereka alami mungkin tidak sebanding dengan hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku. Apalagi kalau pelaku melihat perbuatannya itu sebagai hal yang "biasa-biasa saja."

Di sekitar kita banyak korban yang menjadi kekerasan dan penyelewengan seksual. Kadang kala terjadi kita mendiamkan kasus itu dan bahkan berusaha menenangkan korban tanpa membantu korban untuk menyembuhkan luka yang ada di dalam dirinya.

Pada saat itulah kita tidak sebenarnya mendiamkan korban, tetapi kita malah bisa membangun pelaku lain. Tidak jarang terjadi kalau pelaku kekerasan seksual bermula dari pengalaman masa silam yang disembunyikan dan bahkan ditumpuk.

Entah apa yang merasuki  Reynhard Sinaga sehingga menjadi seorang predator seksual di Inggris. Hingga kini, kita belum tahu apakah ada korban atau tidak di Indonesia, negaranya sendiri.

Pastinya, mentalitas Reynhard Sinaga tidak terbentuk begitu saja. Boleh jadi ada faktor lain seperti faktor sosial dan budaya yang membentuk kepribadian pelaku.

Tanpa mau menduga-duga, Reynhard Sinaga mungkin saja pernah menjadi korban dari ketidakpeduliaan atas jati dirinya. Dia tidak mengalami penerimaan dan pengakuan di lingkungannya.

Reynhard Sinaga berasal dari keluarga kaya. Bahkan orangtuanya mengingingkannya untuk menikah dengan seorang wanita karena orangtuanya tidak tahu kalau dia adalah seorang gay.

Di Indonesia, identitasnya sebagai seorang gay terbatas, sementara di Manchester, Inggris, Reynhard Sinaga mendapat ruang dan waktu untuk mengekspresikan diri. Malah tempat dan kebebasan itu salah dimanfaatkan hingga berujung pada tindakan yang senonoh (daily mail.co.uk 6/1/20).

Sembari mendukung proses hukum, kita pun mesti mendengarkan suara dari Reynard sebagai pelaku. Betapa tidak, pelaku dikenal sebagai seorang intelektual dan seorang yang religius.

Namun di balik gaya hidupnya itu, dia melakukan sesuatu yang dipandang sebagai yang paling buruk dalam sejarah kejahatan seksual. Pastinya, ada sebab musabab yang bisa menjadi pelajaran bagi semua untuk tidak melakukan hal yang sama.

Selain itu, suara para korban juga mesti didengarkan dan dihargai. Di sini bukan hanya dalam konteks kasus Reynald Sinaga, tetapi juga suara para korban kekerasan seksual yang terjadi di sekitar kehidupan sosial kita.

Jangan biarkan suara mereka dibungkam dan ditutup demi kepentingan tertentu. Atau juga memenjarakan dan menyudutkan mereka karena unsur lingkungan sosial dan budaya. Kalau hal ini terjadi, bukan tidak mungkin korban akan berubah menjadi pelaku sebagai bentuk pelampiasan.

Para korban didengarkan agar mereka bisa melewati tahap penyembuhan. Korban tidak boleh dipojokkan agar mereka tidak merasa diri risih dan keluar dari konteks sosial.

Untuk saat ini, keluarga, institusi pendidikan dan agama mesti menjadi tempat di mana suara-suara korban kekerasan dalam bentuk apa pun mesti diakomodasi.

Menyelematkan korban dari trauma jangka pendek dan panjang sangatlah penting sebagai bentuk pencegahan pada persoalan baru. Dengan kata lain, suara korban mesti dihargai dan didengarkan sebagai bentuk dan tahap penyembuhan luka batin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun