Mohon tunggu...
Dora Samaria
Dora Samaria Mohon Tunggu... Lainnya - Ahli Kesehatan

Tertarik dengan kesehatan wanita, ibu, bayi, anak, dan remaja.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Bayi Anda Pakai Gurita dan Bedong Ketat? Lepaskan Sekarang Juga!

4 Juli 2016   20:15 Diperbarui: 4 April 2017   18:02 89449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sumber gambar: ortotik-prostetik.blogspot.co.id
Sumber gambar: ortotik-prostetik.blogspot.co.id
Penulis juga mendengar salah satu alasan digunakannya kain bedong bayi adalah untuk mengurangi kaget pada bayi. Kalau bayi dibedong, bayi tidak akan mudah kaget sehingga dapat istirahat dengan cukup. Pendapat ini tidak tepat. Bayi yang normal memang mudah kaget. Itu baik karena menandakan bahwa bayi responsif terhadap stimulus yang diterimanya. 

Bayi memang sering kaget apabila pintu tiba-tiba dibuka atau ada benda tergeletak keras di dekatnya secara tiba-tiba. Jika bayi kaget, kedua tangan bayi biasanya membentuk huruf C dan kaki-kakinya mengangkat. Ini disebut refleks Moro (refleks kaget). Kemampuan refleks ini menjadi salah satu penilaian untuk bayi baru lahir apakah bayi tersebut sehat atau tidak. Jika bayi dibedong terlalu ketat dapat mengurangi kemampuan bayi dalam merespon stimulus. 

Sumber gambar: mediskus.com
Sumber gambar: mediskus.com
Kembali pada kasus di atas, apa yang akan Anda lakukan jika menjadi ibu si bayi atau petugas kesehatan di Puskesmas? Sebaiknya, ibu mendiskusikan hambatan yang dirasakannya dalam merawat bayi kepada petugas kesehatan. Sebaliknya, petugas kesehatan juga perlu mengkaji secara mendalam apakah terdapat hambatan yang dirasakan ibu setelah diberikan edukasi perawatan bayi pasca melahirkan. 

Petugas kesehatan perlu mendampingi ibu untuk mengatasi hambatannya dengan rasa empati bukan dengan amarah agar ibu berani terbuka menyatakan kesulitannya. Pada kasus ini, edukasi terhadap ibu si bayi tidak cukup efektif untuk melakukan perawatan sebagaimana mestinya. 

Itu artinya, edukasi yang diberikan tidak cukup hanya pada ibu saja, tetapi perlu juga melibatkan keluarga, baik suami, maupun mertua, baik di rumah mereka atau di fasilitas kesehatan saat kontrol kesehatan ibu dan bayi. Perlu dipertimbangkan agar penyuluhan kesehatan tidak hanya diberikan kepada ibu-ibu baru melahirkan secara beramai-ramai di fasilitas kesehatan, tetapi juga memberikan layanan yang berfokus pada keluarga. 

Dengan begitu, pelayanan kesehatan yang diberikan menjadi komprehensif dan menghasilkan pemahaman serta persepsi yang sama di antara ibu dan support system ibu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun