*ini tulisan lama yang ingin saya unggah. saya hanya ingin berbagi cerita tentang pengalaman melihat langsung perlawanan warga Kulon Progo saat proyek pembangunan NYIA dilaksanakan. Berikut ini kisahnya:
***
Sofyan baru saja keluar masjid. Dari arah Timur, ratusan orang-orang berbadan tegap, lengkap dengan senjata dan bolduser bersuara serak bergerak cepat menuju salah satu rumah warga penolak Bandara New Yogyakarta International Airport. Sofyan dan beberapa warga berlari lebih cepat mendekat ke lokasi. Membuat pagar hidup bersama warga yang memilih bertahan. Lolongan sirine tak membuatnya gentar. Ia tetap tegap berdiri.
"Ora ana wong sing wedi karo bedhil saiki. Dong ora? Dikiro wedi, ora wedi! (Tidak ada orang yang takut sama pistol sekarang. Paham tidak? Tidak takut!)," kata salah seorang warga penolak. "Kae diundurke kae. Aku njaluk tulung kae diundurke nek aku dikon bali. (Alat berat, itu dimundurkan. Saya minta tolong itu dimundurkan kalau saya disuruh pulang)," lanjutnya.
Bolduser mengamuk. Ia seperti kelaparan. Ia menerjang apa saja yang ada di depannya. Memakan salah satu rumah milik warga penolak. Satu per satu bagian rumah, hancur. Rebah ke tanah. Pagar hidup tetap berdiri dan tiada hentinya berdoa, meminta agar Tuhan menghukum mereka yang merusak tempat tinggalnya. Merusak alamnya. Merusak matapencahariannya. Merusak kehidupannya.
***
"Beberapa hari ini, warga mulai sakit-sakitan. Batuk, sesak nafas, pusing. Debunya banyak sekali. Di sini kalau malam dingin,". Pesan singkat dari Sofyan, salah satu warga penolak mega proyek Bandara New Yogyakarta International Airport masuk ke gawai saya.
Seminggu selepas penggusuran yang dilakukan Angkasa Pura I beserta aparat gabungan, warga yang tetap menolak tinggal di salah satu bangunan yang sepertinya dibiarkan tetap berdiri. Masjid. Ya, 19 kepala keluarga memilih tinggal di masjid daripada harus pergi meninggalkan tanah kelahirannya. Meninggalkan tanah garapannya. Sisanya, mendirikan tenda-tenda di bekas bangunan rumahnya yang sudah rata dengan tanah.
Saya tak lantas membalas pesan singkat Sofyan. Saya tak kuat. Benar-benar tak kuat dan tak bisa membayangkan nasib warga yang ingin mempertahankan haknya. Hak atas tanahnya itu. Banyak balita dan anak-anak usia sekolah tinggal di masjid. Mendirikan tenda di teras masjid yang usianya jauh dari mereka.
"Sekarang angina cukup kencang. Debu tebal pekat sampai wilayah warga luar pagar,". Sofyan kembali mengirim pesan singkat kepada saya. Saya tak bisa menjawabnya. "Tetap doakan yang terbaik untuk kami dalam mencari keadilan dan ridho Ilahi,". Sambung Sofyan dalam pesan singkat itu. "Aamiin," jawab saya. Singkat. Ya. Memang singkat. Saya tak punya kata-kata yang pas untuk menggambarkan duka itu.
Saya tak menyiapkan kata dan kalimat yang tepat untuk menjawab kabar duka itu. Bahkan mungkin, Kamus Besar Bahasa Indonesia belum menyiapkan kata yang tepat untuknya.
Tak lama kemudian, Sofyan mengirimkan video rekaman bagaimana warga yang tetap tinggal di kawasan proyek bandara itu melawan upaya pengusiran yang dilakukan pihak Angkasa Pura I beserta aparat gabungan. Sadis dan begitu biadab.
***
Silam, April 2018, saya menemui Kyai Sofyan di masjid yang kebetulan saat itu sedang ada persiapan acara Isra' Mi'raj Nabi Muhammad SAW. Sebelum bertemu, saya harus melewati pos penjagaan yang jaraknya sekira 500 meter dari masjid.
Ada dua orang Polisi, satu tentara Angkatan Darat dan dua orang satpam berjaga di pintu masuk. "Mau kemana?" kata salah seorang polisi berkacamata hitam. "Ke masjid, pak," jawab saya. "Bertemu siapa?" tanyanya. "Kyai Sofyan," jawab saya singkat.
Polisi itu memberi kode kepada seorang satpam untuk membuka portal. Dengan alasan bertemu Kyai Sofyan, saya dipersilahkan masuk. Begitu masuk, saya melihat puing-puing rumah, spanduk-spanduk perlawanan dan penolakan. Tak banyak rumah yang berdiri. Dan dari yang tak banyak itulah, mereka yang terus melawan dan menolak bungkam demi mempertahankan haknya yang kini direbut atas nama pembangunan.
Kyai Sofyan menyalami saya dan tersenyum. Seolah keadaan sedang baik-baik saja. Begitu pun warga yang lain yang sedang menyiapkan panggung seadanya untuk acara Isra' Mi'raj. "Panas ya mas?" tanyanya. Saya hanya bisa tersenyum. Khawatir jika saya iyakan malah menyinggung perasaan Kyai Sofyan dan warga yang lain.
Memang, sejak proyek yang memakan anggaran sebesar Rp 9,3 triliun itu dimulai, satu per satu rumah dan sejumlah besar pohon habis. Â Habis dimakan bolduser. "Tadinya kami tidak bisa langsung melihat laut dari jarak sejauh ini mas. Sekarang bisa. He..he..he," ucapnya. Saya tahu, Kyai Sofyan sedang tidak memuji perubahan itu.
Setelah tawaran menikmati secangkir kopi dan kudapan, Kyai Sofyan mengajak saya menuju lahan garapannya. Jaraknya sekira 500 meter dari masjid. Kami berjalan perlahan. Dentuman alat berat yang sedang meratakan tanah mengiringi langkah kami menuju lahan garapan Kyai Sofyan.
Rupanya dia sedang menanam cabai. Sudah siap petik semua. Kyai Sofyan melepas sarung dan peci hitamnya. Meletakkan pada sebatang pohon yang tak jauh dari tempat kami berteduh. Dia menuju sebuah diesel yang terletak di antara pohon cabai. "Kenapa dieselnya tidak dibawa pulang, kyai?" kata saya. "Siapa yang mau mencuri barang sekecil ini mas," terdengar begitu pasrah dan tingkat ikhlasnya sudah sampai ke langit.
Dari jarak lahan garapan ke lokasi proyek hanya selangkah seekor anak kambing. Begitu dekat. Begitu rapat. Seperti rumah-rumah di ibu kota Jakarta. "Itu yang ada alat beratnya, biasanya mengerjakan di tanah milik warga yang sudah setuju," ucap Kyai Sofyan sambil menunjuk alat berat yang berkali-kali melepaskan lempengan besi yang maha berat ke tanah. Saat jatuh, kami merasakan goncangan. Seperti gempa.
"Kami setiap hari seperti ini. Sudah biasa. Intimadasi mereka tak ada artinya bagi kami," jelasnya. Saya hanya tersenyum dan sedikit menggelengkan kepala. Memang benar, orang-orang hebat selalu lahir dari ketidakadilan. Dan saya sedang berdiri bersama orang-orang hebat itu.
***
"Saya sudah di kantor, mas. Bisa temui saya nanti jam 13.00," pesan singkat dari Agus Pandu Purnama, GM Bandara Internasional Adisutjipto, Yogyakarta masuk ke gawai saya.
Tak butuh waktu lama. Saya bergegas menuju kantor Angkasa Pura I yang letaknya tidak jauh dari Bandara Adisutjipto. Ini memang niat saya, bertemu dengan pimpinan Angkasa Pura I. Pemegang kendali proyek Bandara NYIA.
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya saya bisa bertemu Agus Pandu di ruangannya yang dinginnya minta ampun. Berbeda saat saya bertemu Kyai Sofyan. Ruang kerja Agus Pandu sangat luas. Di belakang tempatnya duduk, terdapat banyak televisi yang terkoneksi dengan CCTV Bandara Adisutjipto.
"Jadi yakinlah, kami punya komitmen tidak akan meninggalkan masyarakat," katanya sambil meminta saya untuk duduk. Saya tak mengerti arah ucapan Agus Pandu. Saya berlum bertanya terkait proyek bandara seluas 587,3 hektare itu.
"Ini hanya pindah saja sebetulnya kan? Jawab Agus ketika saya menyinggung proses penggusuran, tapi lebih tepatnya pengusiran yang dilakukan pihak Angkasa Pura I kepada warga di 5 Desa di Kulon Progo. "Kami sudah punya batas waktu. Masyarakat juga harus mengikuti aturan ini," lanjutnya.
Agus Pandu menahan untuk tidak bicara. Segelas kopi yang tergeletak di meja diambilnya. Minum dengan tenang. Seolah dia tidak tahu jika warga penolak terus menerus menerima intimidasi dan tak luput dari kekerasan.
"kami akan perlakukan masyarakat yang berbeda faham ini sebaik-baiknya, tidak ada anarkis, tidak ada pemaksaan yang membuat mereka betul-betul diusir secara fisik" jelas Agus Pandu, sambil bangkit dari kursinya.
Sebelum saya keluar dari ruangan yang dingin itu, Agus Pandu mengatakan satu hal, begini "Ya mudah-mudahan tidak terjadi ya ada bandara kemudian ada perkampungan di dalamnya. Mudah-mudahan tidak terjadi,". Dan ia buktikan ucapannya itu. Pada Kamis dan Jumat, 19/20 Juli 2018. Semua rumah warga penolak rata dengan tanah. Hanya sebuah masjid yang tetap dibiarkan berdiri di tengah-tengah proyek bandara.
***
Juli 2018 menjadi bulan terakhir warga penolak tinggal di rumahnya. Akses listrik memang sudah diputus sejak akhir 2017 silam. Akses keluar masuk pun kini susah. Portal yang tadinya menutup Jalan Deandels pun kini tak dibiarkan terbuka.
Warga penolak sudah tidak punya akses keluar masuk seperti dulu. Hanya ada satu jalan alternatif yang masih bisa digunakan. Dan itu pun harus kucing-kucingan dengan petugas. "Media tak gampang untuk masuk, mas," jawab Kyai Sofyan saat saya tanya terkait akses bertemu dengannya untuk kali kedua.
Usai zuhur, saya sempatkan menghubungi Kyai Sofyan menggunakan telepon kantor, menanyakan kondisinya dan warga yang masih memilih bertahan dan tinggal di masjid, Kyai Sofyan menjawab "Sanyari bumi, ditohi pati,".
Ya, bahkan hanya sejengkal tanah, akan dibela sampai mati. Apalagi yang kehilangan beratus-ratus meter tanahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H