Saya tak menyiapkan kata dan kalimat yang tepat untuk menjawab kabar duka itu. Bahkan mungkin, Kamus Besar Bahasa Indonesia belum menyiapkan kata yang tepat untuknya.
Tak lama kemudian, Sofyan mengirimkan video rekaman bagaimana warga yang tetap tinggal di kawasan proyek bandara itu melawan upaya pengusiran yang dilakukan pihak Angkasa Pura I beserta aparat gabungan. Sadis dan begitu biadab.
***
Silam, April 2018, saya menemui Kyai Sofyan di masjid yang kebetulan saat itu sedang ada persiapan acara Isra' Mi'raj Nabi Muhammad SAW. Sebelum bertemu, saya harus melewati pos penjagaan yang jaraknya sekira 500 meter dari masjid.
Ada dua orang Polisi, satu tentara Angkatan Darat dan dua orang satpam berjaga di pintu masuk. "Mau kemana?" kata salah seorang polisi berkacamata hitam. "Ke masjid, pak," jawab saya. "Bertemu siapa?" tanyanya. "Kyai Sofyan," jawab saya singkat.
Polisi itu memberi kode kepada seorang satpam untuk membuka portal. Dengan alasan bertemu Kyai Sofyan, saya dipersilahkan masuk. Begitu masuk, saya melihat puing-puing rumah, spanduk-spanduk perlawanan dan penolakan. Tak banyak rumah yang berdiri. Dan dari yang tak banyak itulah, mereka yang terus melawan dan menolak bungkam demi mempertahankan haknya yang kini direbut atas nama pembangunan.
Kyai Sofyan menyalami saya dan tersenyum. Seolah keadaan sedang baik-baik saja. Begitu pun warga yang lain yang sedang menyiapkan panggung seadanya untuk acara Isra' Mi'raj. "Panas ya mas?" tanyanya. Saya hanya bisa tersenyum. Khawatir jika saya iyakan malah menyinggung perasaan Kyai Sofyan dan warga yang lain.
Memang, sejak proyek yang memakan anggaran sebesar Rp 9,3 triliun itu dimulai, satu per satu rumah dan sejumlah besar pohon habis. Â Habis dimakan bolduser. "Tadinya kami tidak bisa langsung melihat laut dari jarak sejauh ini mas. Sekarang bisa. He..he..he," ucapnya. Saya tahu, Kyai Sofyan sedang tidak memuji perubahan itu.
Setelah tawaran menikmati secangkir kopi dan kudapan, Kyai Sofyan mengajak saya menuju lahan garapannya. Jaraknya sekira 500 meter dari masjid. Kami berjalan perlahan. Dentuman alat berat yang sedang meratakan tanah mengiringi langkah kami menuju lahan garapan Kyai Sofyan.
Rupanya dia sedang menanam cabai. Sudah siap petik semua. Kyai Sofyan melepas sarung dan peci hitamnya. Meletakkan pada sebatang pohon yang tak jauh dari tempat kami berteduh. Dia menuju sebuah diesel yang terletak di antara pohon cabai. "Kenapa dieselnya tidak dibawa pulang, kyai?" kata saya. "Siapa yang mau mencuri barang sekecil ini mas," terdengar begitu pasrah dan tingkat ikhlasnya sudah sampai ke langit.
Dari jarak lahan garapan ke lokasi proyek hanya selangkah seekor anak kambing. Begitu dekat. Begitu rapat. Seperti rumah-rumah di ibu kota Jakarta. "Itu yang ada alat beratnya, biasanya mengerjakan di tanah milik warga yang sudah setuju," ucap Kyai Sofyan sambil menunjuk alat berat yang berkali-kali melepaskan lempengan besi yang maha berat ke tanah. Saat jatuh, kami merasakan goncangan. Seperti gempa.