Semenjak ditinggal mendiang istri, Wasikan memilih tinggal dan menetap di kebun kayu putih milik Perhutani, di Desa Kedung Keris, Kecamatan Nglipar, Gunung Kidul, Yogyakarta.Â
Di petak 40 itulah, Wasikan membangun rumah dari jerami dan batang-batang kayu putih. Di rumah itulah, Wasikan ingin menghindari keributan yang kerap terjadi di keluarga mendiang istrinya.
Keributan kecil yang bersumber dari kehadiran Wasikan di rumah milik adik istrinya itu. Keributan yang kerap membuat Wasikan merasa bersalah.
Siang itu, Wasikan duduk di depan rumah yang menghadap hamparan pohon kayu putih yang daunnya belum siap dipanen. Ada pohon jati yang daunnya berguguran. Ada sungai yang mengering.
Ada pohon mangga yang belum berbuah. Juga ada kenangan. Kenangan manis Wasikan dengan istrinya, meski tidak di rumah ini.
Wasikan berjalan menuju dapur yang disusun dari batu-batuan andesit yang ada di kebun kayu putih.
Ia sedang memasak air ketika Cintiyawatie Raharja, Ketua Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS), Kecamatan Nglipar Gunung Kidul datang ke rumahnya.
Cintiya tak sendiri. Dia bersama 4 rekan sesama pengurus LKS. Wasikan mempersilahkan tamu-tamunya itu untuk masuk ke bangunan yang disebutnya sebagai ruang tamu.
Panjangnya 6 meter dan lebar sekira 3 meter. Terbuat dari rumbia dan batang pohon kayu putih. Wasikan membangun rumah itu seorang diri.
Cintiya masuk paling belakang. Dia membawa beras, teh, mie instant dan biskuit. "Ini buat Mbah Wasikan," kata Cintiya sambil menyerahkan bingkisan itu.