Hujan lebat turun di sore itu, menciptakan suasana yang sejuk namun juga melankolis. Di kamar kecil yang dipenuhi dengan bau buku tua, Mia duduk di tepi jendela, menatap tetes-tetes hujan yang mengalir di kaca. Sambil memegang amplop tua, dia tersenyum getir. Amplop itu berisi surat cinta yang tak pernah terkirim kepada Adam, sahabatnya sejak kecil. Tinta di dalam surat itu seakan mencerminkan perasaannya yang tak pernah terungkap.
"Dulu, kita selalu bersama, Adam," Mia berbisik pada dirinya sendiri sambil menatap foto mereka berdua yang terpajang di atas meja. "Tapi perasaanku tak pernah kamu tahu, bahkan ketika kamu pindah."
Dia menghirup aroma kertas lama amplop itu, mengingat saat-saat indah dan lucu yang mereka lewati bersama. Mia merenung sejenak, lalu mulai menulis di atas selembar kertas putih:
"Adam, Aku selalu ingin mengatakan sesuatu padamu, tapi tak pernah punya keberanian untuk melakukannya. Kita sudah bersama begitu lama, tapi sepertinya kamu tak pernah tahu perasaanku yang sesungguhnya."
Mata Mia berkaca-kaca, tapi senyuman kecil masih menghiasi wajahnya. Di sela-sela hujan yang semakin deras, surat itu menjadi saksi bisu perasaan yang selama ini dia sembunyikan.
Beberapa tahun berlalu. Mia dan Adam tak pernah berjumpa lagi. Kehidupan membawa mereka masing-masing menjalani jalan yang berbeda. Mia menjadi seorang penulis muda yang sukses, sedangkan Adam menjadi seorang arsitek ternama. Suatu hari, Mia menemukan sebuah artikel tentang pernikahan Adam. Hatinya tercampur aduk saat melihat foto bahagia Adam dengan seorang wanita. Dia merenungkan surat cinta yang tak pernah terkirim itu dan bertanya-tanya bagaimana jika dia dulu lebih berani mengungkapkan perasaannya.
Duduk di meja kerjanya, Mia memutar kertas-kertas dengan tatapan kosong. Artikel tentang pernikahan Adam menghantarkannya kepada kenangan masa lalu yang sudah terlupakan. Dia memegang foto mereka berdua yang masih tersimpan di dalam laci. Wajah Adam yang ceria menghiasi fotonya, tapi kali ini di sampingnya ada seorang wanita yang tersenyum manis.
"Apakah dia tahu perasaanmu padanya dulu?" Mia bertanya pada fotonya sendiri. "Bisakah dia membaca antara baris-baris surat cinta yang tak pernah terkirim?"
Dia menggenggam surat cinta lama itu dalam genggaman tangannya. Hatinya campur aduk antara harapan dan keraguan. Apakah dia harus mengungkapkan perasaannya sekarang, setelah begitu banyak waktu yang berlalu? Ataukah itu terlalu terlambat? Mia menghela nafas, merasa dilema di antara ingin tahu dan takut pada kenyataan yang bisa saja tidak sesuai dengan harapannya.
Suatu malam, Mia berjalan pulang setelah pesta buku. Hujan gerimis turun, mengingatkannya pada saat dia menulis surat cinta dulu. Tiba-tiba, dia melihat seorang pria dengan payung besar berjalan ke arahnya. Saat pria itu mendekat, Mia terkejut menyadari bahwa itu adalah Adam. Mereka saling memandang, senyuman kikuk terukir di wajah keduanya.
"Adam?" seru Mia dengan suara lirih, hampir tidak percaya pada apa yang dia lihat.
Adam tersenyum lembut. "Hai, Mia."
Mia tersipu, merasa gugup di depan pria yang sudah lama tidak dia lihat. "Kau... kau tahu, hujan ini mengingatkanku pada kita dulu."
Adam mengangguk, tetap tersenyum. "Benar, aku pun merasa seperti itu."
Keduanya berdiri di bawah gerimis, melihat satu sama lain dengan tatapan penuh tanya. Mia merasa jantungnya berdebar kencang, mengingat semua perasaan yang pernah dia sembunyikan. Dia merasakan amplop lama di dalam tasnya, seolah menekan dia untuk mengambil langkah berani.
"Adam," Mia akhirnya berbicara, suaranya gemetar. "Aku punya sesuatu untukmu."
Dia mengeluarkan amplop lama itu dari dalam tas dan merogoh isinya. Surat cinta yang tak pernah terkirim itu kini ada di tangannya, dengan tinta yang masih utuh setelah begitu lama.
"Sebuah surat?" Adam memandangnya dengan rasa penasaran.
Mia tersenyum gugup. "Baca saja."
Adam membuka surat itu dan membacanya dengan cermat. Mata mereka bertemu beberapa kali selama dia membaca, seakan menghadirkan kilatan kenangan masa lalu di antara mereka.
Setelah selesai membaca, Adam menatap Mia dengan mata lembut. "Seharusnya aku tak pernah meninggalkanmu tanpa kabar dulu. Aku juga punya perasaan yang sama, Mia."
Mia menelan ludah, hatinya berdebar. Tidak ada kata-kata yang bisa diucapkan, tetapi dia merasakan kebahagiaan yang luar biasa merayap ke seluruh tubuhnya. Di bawah gerimis, di tempat yang penuh dengan kenangan, Mia dan Adam akhirnya mengungkapkan perasaan mereka yang terpendam selama ini. Amplop lama menjadi saksi bisu dari cerita cinta yang akhirnya menemukan jalannya, meskipun dengan keterlambatan yang tak terduga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H