Baru beberapa minggu masuk kuliah, tugas terus mengalir tanpa henti. Seperti sore ini, gue sedang berada di sebuah taman tengah kampus dengan dua teman gue untuk mengerjakan tugas kelompok. Mereka berdua adalah Fajar dan Ajeng. Fajar merupakan seorang pria berkaca mata dengan tubuh sangat tinggi dengan rambut ikal panjang dan ia merupakan anak rantau dari Padang. Kalau sedang marah, ia bisa mendadak nari piring pakai Hot Plate. Sedangkan Ajeng, merupakan seorang perempuan manis berkaca mata, tapi dia agak tomboy. Rambutnya sangat lurus, tapi panjangnya hanya sekuping saja, mirip kayak polwan di Bundaran HI.
Kebetulan, mereka adalah sepasang kekasih yang baru saja jadian beberapa hari yang lalu. Ibarat bunga, hubungan mereka itu sedang mekar-mekarnya. Bisa dibilang, mereka sedang kasmaran tingkat dewa, gitu. Dari sudut pandang gue sih, mereka memang cocok banget. Kenapa? Karena mereka memiliki hobi dan kesukaan yang semuanya hampir sama. Bisa dibilang sih, mereka itu sehati. Fajar anak DKV (baca: tukang gambar) dan Ajeng juga, Fajar suka Anime Jepang dan Ajeng juga, bahkan Fajar kencing berdiri dan Ajeng juga.
Sebenarnya, gue kerja kelompok berlima dengan 2 orang lainnya, tapi mereka gak ada kabar dan gak bisa dihubungi sama sekali. Mungkin, mereka sedang diculik sama Green Goblin saat sedang perjalan ke kampus. Kalau begini, gue menjadi gak enak sama Fajar dan Ajeng. Seolah, gue sedang menjadi ulet bulu di hubungan mereka, yang hanya bisa ngeliatin dengan penuh rasa iri sambil gigitin daun jati. Pait!
"Aku udah coba kabarin yang lainnya, tapi gak ada kabar nih," ujar gue sambil mengetik dengan Blackberry kesayangan gue.
"Kamu udah coba chat di grup kelompok BBM kita?" tanya Fajar sambil mendekat ke arah gue.
"WAKA-WAKA-WAKA-WAKA......" Ajeng tiba-tiba tertawa dengan kencangnya, mirip kayak Genderuwo habis makan orok.
"Kenapa ketawa, memang ada yang salah? Reseleting aku gak kebuka kok," tanya gue bingung, sambil mengecek ke arah 'adik' gue.
"Bukan itu, bukan..." kata Ajeng, menghentikan ucapannya. "Tapi, bahasa kalian itu, lohh," lanjut Ajeng lagi kembali.
"Memang kenapa bahasa kita?" tanya Fajar dengan wajah bingung.
"Kalian, kayak pasangan HOMO! WAKA-WAKA-WAKA-WAKA." Ujar Ajeng lagi, kembali diikuti dengan ketawa yang sangat kencang. Namun, kali ini mulutnya mangap lebih lebar lagi, selebar mulut kuda Nil yang habis nelen kulkas 2 pintu.
Gue gak habis pikir, kenapa Ajeng bisa bilang gue dan Fajar kayak pasangan homo, hanya gara-gara mengobrol pakai kata 'aku' dan 'kamu' doang. Memang salahnya di mana? Sebelum gue ke Jakarta, gue memang selalu menggunakan kata 'aku' dan 'kamu' untuk percakapan sehari-hari, bahkan dengan teman cowok sekalipun. Jujur, gue gak setuju, kalau percakapan 'aku-kamu' dengan sesama jenis di Jakarta, kemudian dikatakan sebagai penyuka sesama jenis. Semuanya sih, kembali lagi ke presepsi dan pandangan masing-masing setiap orang. Kalau semua orang cowok ngomong 'aku-kamu' dianggap homo, berarti dulu bapak-bapak tukang pecel di kampung gue itu homo semua dong?
Dengan jumlah anggota seadanya, kita pun melanjutkan tugas kelompok. Kita sepakat untuk membagi tugas menjadi 3 bagian, kemudian dikerjakan oleh masing-masing anggota, dan nantinya dikumpulkan menjadi 1 bagian utuh. Tak perlu menunggu waktu lama, kerja kelompok pun dimulai. Fajar membantu Ajeng dan sebaliknya, Ajeng pun membantu tugas Fajar, hingga mereka pun selesai duluan secara bersamaan. Sedangkan gue? Gue hanya bisa guling-gulingan di tanah, sambil ngobrol sama semut rang-rang.
Ketika tengah asyik memainkan notebook, gue melihat seseorang yang gue kenal melintas di hadapan kami. Perempuan berkaca mata dengan tubuh agak tambun, serta rambut keriting panjang mirip kayak Indomie setengah matang. Penampilannya pun semakin mencolok dengan kaos biru muda bergambar Doraemon yang ia kenakan. Nama perempuan itu ialah, Sari. Seorang perempuan yang gak biasa, karena ia mengaku sebagai kekasih dari Doraemon. Semua benda yang bernuansa Doraemon dia punya semua, mulai dari; alat tulis, baju, bahkan hingga alat ajaib Doraemon yakni, Pintu ke Mantan Saja. Ya, ini merupakan salah satu alat ajaib Doraemon yang bikin gak bisa move on.
"Hallloooo, kaliannn semuaaaa..." Ujar Sari dengan nada khasnya yang centil dan berisik.
"Bisa gak sih, gusah pake TOA, Sari!" Ajeng mendadak kesal dan langsung memasang kuda-kuda ke arah Sari.
"Iiih, emang kenapa? Kan suara gue seksi," kata Sari lagi.
"Iya, suaramu seksi dan bergelombang, kayak rambutmu itu," kata gue meledek.
"Emang rambut gue, KENAPA?!" kata Sari dengan nada meninggi dan mendadak rambutnya mengeluarkan api. Gue ngeri, dia akan berubah menjadi super saiya.
Bicara soal rambut, gue jadi membayangkan, kalau misalkan rambut Sari bisa dipakai untuk berteduh, mungkin orang 1 RT bisa masuk dan neduh di dalam rambutnya. Sari memang tipe orang yang sangat ramah, tapi dia paling sensiitif kalau disinggung masalah rambut. Terakhir, ada teman yang menyinggung masalah rambutnya, ia langsung ditelan hidup-hidup tanpa dikunyah sama Sari. Maka dari itu, sebelum ditelan sama Sari, gue sudah melindungi diri gue, dengan melilitkan kawat berduri di seluruh tubuh.
"Sari, udah di sini aja temenin aku, biar gak kayak obat nyamuk," ujar gue.
"Lagian sih lo, udah tau mereka pacaran, malah sekelompok sama mereka," kata Sari meledek.
"Kan aku belum punya teman, jadi aku bingung mau sekelompokan sama siapa," ujar gue lagi.
"Kalau bisa sih, jangan cuma nyari teman, tapi pacar. Biar kuliahnya bisa semangat, Don," ujar Fajar menyeletuk.
"Nah iya, bener tuh, Don. Gue setuju banget," kata Sari ikut menimpali ucapan Fajar.
"Pacar? Aku belum siap, hehe. Sudah, sudah, lanjutin kerja kelompok aja dulu." Gue berusaha mengalihkan pembicaraan.
Satu tugas kerja kelompok, akhirnya terselesaikan juga. Setidaknya, sekarang gue bisa sedikit bernapas sejenak, karena tugas lainnya masih menunggu. Menjadi Mahasiswa itu ternyata tidak seenak yang gue bayangkan, karena setiap hari gue harus dikejar oleh deadline tugas.
Kali ini, gue kembali harus mengerjakan tugas kelompok di kampus, tepatnya di perpustakaan kampus. Berbeda dengan sebelumnya, kalau kemarin gue menjadi obat nyamuk, sekarang gue seolah menjadi raja sehari karena ditemani 2 orang cantik. Mereka berdua yang gue maksud adalah, Harti dan Khilda.
Harti seorang perempuan cantik berambut ikal lebat, lengkap dengan behel gigi warna-warni, mirip kayak pager di taman kanak-kanak. Selain itu, Harti memiliki kulit yang sangat putih sekali. Harti ini merupakan penggemar berat dari Justin Bieber, hampir setiap hari dia nge-tweet dan selalu dimention ke Justin Bieber. Berharap, tweet tersebut akan di re-tweet oleh Justin Bieber. Andai gue penggemar Justin Bieber, gue pasti juga akan mengirim tweet ke Justin Bieber, bilang kayak gini, "Bang Justin, kapan-kapan main ke Indonesia dong, biar bisa duet bareng sama Kangen Band di Dahsyat."
Hampir sama dengan Harti, Khilda juga merupakan perempuan yang sangat cantik, dia juga memiliki rambut agak bergelombang di bagian bawah, tapi bedanya, Khilda gak setinggi Harti. Bisa dibilang sih, Khilda itu mungil-mungil manis gitu, mirip kayak martabak mini di pinggir jalan.
Harti dan Khilda, mereka berdua merupakan sahabat dekat dan memiliki hobi yang sama yakni menari Saman. Mereka juga tergabung di dalam sebuah UKM kampus bernama, BLDC (Budi Luhur Dance Club). Sebagai sepasang sahabat, kedekatan mereka itu begitu luar biasa sekali. Di mana dan kapan pun ada Khilda pasti di sana juga ada Harti, dan begitu sebaliknya. Ya, bisa dibilang, mereka mirip kayak duo cacing di film Larva. Sedangkan gue? Di mana dan kapan pun ada kesepian, pasti di sana selalu ada gue. Sedih.
Di perpustakaan, gue duduk bertiga dengan Harti dan Khilda, gue duduk sendiri dan mereka berdua duduk di hadapan gue.
"Don, lo keren dah, gue suka liat penampilan lo, Beda." Kata Harti sambil tersenyum lebar memandang gue.
"Hah? Beda gimana maksudnya?" tanya gue memasang wajah bingung.
"Gue senang aja liat lo, penampilannya rapih gitu, setiap hari pakai batik sama kemeja setiap hari ke kampus. Suka gue ngeliat cowo kaya lo, keren, hehe," ujar Harti kembali memuji gue.
"Iya Don, lo tuh ganteng tau, mirip artis korea favorit gue, hehe," Khilda ikut menimpali ucapan Harti dengan melemparkan senyuman manis ke arah gue.
"Aahh, bisa aja kalian ini. Kan, aku jadi malu, hehe," ujar gue mendadak tersipu malu, sambil gigitin kabel mouse laptop.
"Gapapa mirip artis korea, asalkan jangan mirip Justin Bieber aja. Nanti gue jadi males buat nge-fans sama Justin Bieber lagi, kalo dia mirip sama lo, hehe." Kata Harti meledek gue.
Di tengah serunya obrolan kami, mendadak Harti mengangkat telepon dan kemudian pergi meninggalkan kami. Bukan, dia bukan pergi untuk menghadiri acara pengajian dari Justin Bieber, tapi dia mau bertemu dengan temannya sebentar.
Kini, di perpustakaan hanya sisa gue dan Khilda saja. Kami pun melanjutkan obrolan yang sempat berhenti sejenak, karena menunggu Harti mengangkat telpon.
"Kenapa lo gak nyari pacar, Don? Padahal, lo kan baik, pasti banyak yang mau," tiba-tiba Khilda mendekatkan diri ke meja dan memandang gue dengan tatapan tajam.
"Err~ aku belum siap, Khil," jawab gue gugup.
"Kenapa gak siap, Don?" tanya Khilda lagi.
Setelah pertanyaan terakhir dari Khilda, gue pun berusaha menjelaskan kepada Khilda, alasan kenapa gue bilang belum siap. Ya, karena gue jujur, kalau gue belum bisa move on dari gebetan gue di SMA dulu. Seumur-umur sih, gue memang belum pernah pacaran sama sekali. Di saat orang lain, sudah pernah merasakan dipeluk sama cewek, gue hanya bisa pelukan sama kucing. Itupun, setelah gue peluk, kucing tersebut langsung positif terkena flu babi.
Terakhir, di penghujung SMA gue memang sempat hampir punya pacar, namun hubungan kami saat itu hanya sebatas suka sama suka saja, alias belum sampai ke tahap yang lebih serius. Dia adalah adik dari teman kelas gue dulu di SMA. Nama perempuan itu, Fani.
Banyak teman yang bilang, kalau urusan pelajaran gue memang nomor 1, tapi untuk urusan cinta, gue pribadi mengakui, kalau gue itu payah. Hati gue terlalu sensitif untuk ukuran seorang cowok. Tidak jarang, ketika hujan datang, gue selalu terdiam sejenak, sambil berpikir, "Lagi sedih gini, kayaknya enak kalau bisa main hujan-hujanan. Siapa tau, kalau aku nangis di bawah hujan, mereka gak akan ada yang tau, kalau aku lagi sedih."
Sebagai seorang cowok, terkadang gue merasa malu dengan diri gue sendiri, karena gue terlalu gampang sedih untuk urusan cinta. Hanya saja, memang hal tersebut gak pernah gue tunjukkan di kehidupan sehari-hari gue. Namun, ketika gue sudah menyendiri, maka di saat itu lah, perasaan gue mendadak sangat sensitif. Ya, bisa dikatakan, gue ini merupakan tipe cowok yang perasa. Cowok yang selalu dan terlalu menggunakan perasaan dalam melalukan segala hal.
Semenjak meninggalkan Surabaya, gue gak pernah melepaskan rutinitas gue setiap malam sebelum tidur, yakni stalking sosial media Fani. Bahkan, tidak jarang juga, untuk menambah suasana haru, gue juga memutar lagu Geisha, Lumpuhkan Ingatanku. Bisa dibilang, apa yang gue lakukan itu memang sebuah kegiatan yang dianggap oleh sebagian orang, memalukan. Tapi gue gak peduli, karena bagi gue, hal tersebut merupakan hal yang wajar, karena gue masih rindu dia. Mungkin suatu saat, gue akan melupakannya, namun gue belum tahu, kapan hal itu akan terjadi. Gue hanya butuh waktu. Hanya itu saja.
"Lo harus bisa move on, Don. Mau sampai kapan lo mikirin dia mulu, dia aja gak pernah mikirin lo sama sekali," kata Khilda berusaha menyemangati gue.
"Iya sih, tapi susah, Khil," kata gue.
"Lo buang-buang waktu tau, Don, kalau masih mikirin dia mulu, banyak yang lebih baik dari dia kok," ujar Khilda sambil melemparkan senyuman tipis ke arah gue.
"Semoga aja sih, benar kayak gitu," jawab gue seadanya.
"Memang sejauh kuliah ini, gak ada cewe yang lo suka di kampus?" Khilda kembali mendekatkan diri ke meja dan menatap gue dengan tatapan tajam.
"Gak tau, Khil, hehe," kata gue enggan menjawab.
"Yaudah, kalo lo malu, tulis aja di kertas ini, lo gak perlu sebut nama deh." Khilda tiba-tiba membuka lembaran tengah dari binder gue.
Lalu, gue pun mengambil pulpen dan menuliskan nama di dalam kertas tersebut. Ketika melihat tulisan di kertas tersebut, Khilda pun terkejut.
"Iiih, lo serius suka sama orang ini?" tanya Khilda dengan wajah terkejut.
"Iya, bisa jadi gitu, hehe," jawab gue sambil melemparkan senyuman ke arah Khilda.
"Yakali dah, kan gue suruh nulis nama orang, kenapa lo malah nulis 'Kamu' dah," ujar Khilda, agak sedikit kesal, namun salah tingkah. Lucu.
"Kalau misalnya aku beneran suka kamu, gimana? Hehe," tanya gue lagi, kali ini, gue yang mendekatkan diri ke meja dan menatap Khilda dengan tatapan tajam.
"Ahhh, jangan gitu dong, Don," jawab Khilda semakin salah tingkah.
"Bercanda Khilda, aku cuma bercanda kok, hehe." Ujar gue tertawa lepas, melihat tingkah lucu dari Khilda yang terlanjur salah tingkah.
Gue memang sempat bercanda ketika menulis di kertas tersebut. Meskipun Khilda gue akui memang cantik, namun gue sudah terlanjur menganggap dia sebagai teman yang baik dan gak mungkin untuk gue suka sama dia. Jadi, tulisan 'kamu' di kertas itu, hanya sebagian dari bahan bercandaan gue saja. Lagipula, gak mungkin cewek secantik Khilda, mau dengan cowok culun kayak gue.
Awalnya, gue berpikir setelah sedikit bercanda seperti itu, akan membuat Khilda lupa dan tidak melanjutkan perbincangan mengenai perempuan yang gue suka. Ternyata, gue salah. Dia justru semakin memaksa gue, untuk jujur dan mengakui siapa permpuan yang gue suka di kampus. Dengan memasang wajah melas, Khilda pun merayu gue untuk kesekian kalinya. Jujur, gue memang gak pernah bisa melihat dan menolak permintaan cewek, ketika dia sudah memasang mata nanar dan wajah melas. Mau gak mau, akhirnya gue mengatakan kepada Khilda, bahwa sebenarnya gue sedang dekat dengan seorang teman sekelas juga yang bernama, Diah.
Belakangan ini, gue memang sedang dekat dengan Diah. Seorang perempuan bertubuh mungil dengan rambut hitam lurus sebahu. Kedekatan gue dengan Diah, bermula saat kami mengerjakan tugas bersama. Saat itu, dia menghampiri gue saat tengah asyik duduk menyendiri di kelas. Diah bilang ke gue, kalau dia gak mengerti dengan beberapa tugas kuliah dan minta gue untuk mengajarkan dia. Namun, karena berhubung jadwal kuliah gue mengharuskan dari pagi sampai sore berada di kampus, gue merasa malas kalau harus mengajarkan Diah di hari biasa. Gue dan Diah pun sepakat memilih hari Sabtu, di mana hari itu adalah hari libur dan kami sama-sama bisa untuk bertemu.
Hari sabtu seolah menjadi rutinitas baru buat gue, yakni datang ke kampus dan belajar bareng dengan Diah. Setiap ada tugas mata kuliah apapun, kita selalu mengerjakan bareng di hari Sabtu. Semakin sering ketemu dan ngobrol bareng, gue jadi semakin kenal dengan Diah. Bahkan, gue baru tahu, kalau dia orangnya agak sedikit kudet mengenai perkembangan di sosial media.
Gue memang bukan orang yang selalu menghabiskan waktu di sosial media, tapi seenggaknya gue tahu berita apa saja yang lagi booming di sosial media. Berbeda sekali dengan Diah, yang terkesan acuh dan gak terlalu peduli dengan apa yang terjadi di dunia maya. Namun, justru ini yang membedakan Diah dengan cewek lain. Dia sangat asyik dan seru saat diajak ngobrol, kami bisa menghabiskan waktu lebih lama untuk mengobrol. Kenapa? Karena, Diah bukan tipe cewek yang suka melihat ke layar hape setiap 1 detik sekali, seperti cewek-cewek pada umumnya.
"Dono, maaf ya, kalo gue ngerepotin mulu jadinya," kata Diah, yang duduk lesehan di sebelah gue.
"Gapapa kok, sering-sering juga gapapa kok, Diah, hehe," ujar gue sambil mengetik di notebook yang gue pangku.
"Habisnya kalo belajar sendiri, gue kadang males dan gak paham, gitu," kata Diah lagi.
"Iya, memang harus belajar bareng sih, biar ada penyemangat pas lagi belajar, hehe," ujar gue sambil melemparkan senyuman ke arah Diah.
"Emang gitu ya, Don?" tanya Diah.
"Iya gitu, makanya harus sering-sering belajar bareng biar semangat, hehe."
Entah kenapa, setiap kali diajak ngerjain tugas bareng dengan Diah gue gak pernah bisa menolak. Bahkan, saat Diah gak ngajak buat ngerjain tugas, gue yang selalu menawarkan diri duluan buat ngerjain tugas bareng. Seolah, hal tersebut sudah menjadi rutinitas yang membuat gue menjadi kecanduan untuk selalu bertemu dengan Diah. Apa mungkin, gue ada perasaan dengan Diah? Entah lah.
Suatu hari, ketika sedang ngerjain tugas bareng, ada hal yang berbeda dengan Diah. Bila biasanya Diah selalu ceria, kali ini, ia nampak begitu gelisah. Seolah, ada sesuatu yang sedang menggangu pikirannya siang itu.
"Diah, kenapa? Kayaknya gelisah banget," tanya gue.
"Ini Don, dia lagi sakit, gue bingung, mau jenguk dia, tapi gue belum selesai kerjain tugas bareng sama lo," ujar Diah dengan nada panik.
"Dia siapa? Kalo memang ada yang lagi sakit, gapapa kok, jenguk aja dulu. Kerjain tugas kan bisa lain waktu," kata gue mendadak ikutan panik.
"Dia yang gue maksud itu, cowok gue, Don. Dia sakit dan sekarang minta gue buat datang ke rumahnya," jawab Dia lagi.
"Cowok? Diah sudah punya pacar?" gue terkejut dengan pernyataan dari Diah.
"Iya Don, gue udah jadian sama dia 3 tahun. Dari pas sekolah di SMK dulu," jelas Diah coba menjelaskan.
"Oh. Yaudah. Jenguk aja, dia pasti lagi butuh kamu sekarang," jawab gue, berusaha untuk meyakinkan Diah.
"Maaf ya, Dono. Lain kali, pasti kok gue bakal bisa buat kerjain tugas bareng sama lo," ujar Diah bergegas sambil memakai tas slempang dan tersenyum tipis ke arah gue.
"Iya, kapan-kapan ya, Diah, hehe." Gue pun membalas dengan senyuman tak kalah tipis.
Jujur, gue gak menyangka, kalau cewek yang gue ajak duduk lesehan berduaan setiap hari sabtu di lobby kampus, ternyata sudah punya cowok. Sebagai laki-laki, dengan sangat terhormat, gue menyatakan untuk tidak mau terbawa perasaan lagi dengan Diah. Bagi gue, sangat gak etis, ketika gue menyukai kepunyaan orang lain, apalagi gue sampai menginginkannya. Gue gak bisa membayangkan betapa kejamnya gue, kalau gue harus memaksakan perasaan gue ini terhadap seseorang, meskipun gue sadar, resikonya gue akan merusak hubungan orang lain. Ya, dengan kata lain, gue memutuskan untuk berhenti mengejar Diah, karena gue menghargai hubungannya dengan pacarnya.
Semenjak saat itu, gue tidak pernah lagi mengerjakan tugas bareng dengan Diah. Setiap kali Diah mengajak, gue selalu menolak dengan berbagai alasan. Mulai dari pulang ke rumah saudara di Tangerang, cucian di kostan lagi banyak, bahkan hingga, nolongin nenek-nenek yang lagi berantem sama kucing Anggora.
Lagipula, kalau boleh jujur, gue memang merasa kecewa, saat mengetahui Diah sudah memiliki pacar. Namun, entah kenapa, gue tidak merasa kehilangan sama sekali. Seolah, tidak ada yang berubah dan hilang dari diri gue, setelah gue dan Diah menjauh.
"Terus, ini apa namanya, Khil?" tanya gue bingung.
"Mungkin, bisa dibilang, lo terlalu maksa, Don," jawab Khilda berusaha menjelaskan.
"Maksudnya?" tanya gue lagi.
"Ya, bisa jadi lo masih belum bisa lupain, Fani, tapi lo sengaja maksain, buat cepat-cepat nemuin orang baru buat gantiin dia," kata Khilda lagi.
"Terus, aku harus gimana?" tanya gue dengan nada panik.
"Lo harus move on, Don. Cuma itu kok."
Ya, mungkin apa yang dibilang Khilda ada benarnya. Gue seolah terlalu memaksakan diri, untuk mencari pengganti Fani secepat mungkin. Bahkan, Diah yang memang dari awal niatnya hanya ingin belajar bareng dengan gue, malah justru menjauh. Hanya karena gue terlalu berkhayal dan berharap lebih dari pertemanan kami tersebut. Ternyata, gue memang belum bisa move on sepenuhnya dari sosok Fani, sekalipun gue sudah berusaha pergi ke tempat yang jauh.
"Jalanin aja dulu, Don. Lo tuh orangnya baik dan perhatian banget sama cewek, percaya sama gue, suatu saat lo pasti dapetin cewek yang baik juga kok," kata Khilda coba menghibur gue.
"Iya Khil, makasih ya. Jadi, sekarang yang harus aku lakuin, jalanin aja semuanya?" tanya gue sambil berusaha tersenyum tipis.
"Iya benar, jalanin semuanya, Don. Lo pasti bisa kok, hehe." Jawab Khilda dengan melemparkan senyuman manis, sambil menepuk-nepuk pundak gue.
Jalani saja? Ya, gue memang harus bisa menjalani semua dan mengejar impian gue. Bukan lagi bersedih dan menoleh ke belakang, melainkan gue harus bisa tersenyum secara perlahan-lahan dan terus melangkah jauh ke depan. Gue yakin, cepat atau lambat gue akan bisa move on dan meraih semua impian gue di Jakarta. Amin.
Setelah curhat panjang lebar dengan Khilda, gue pun bergegas balik ke kostan. Namun, di tengah perjalanan pulang dari kampus, gue menemukan pemandangan yang aneh. Gue melihat sesosok bertubuh besar dan tinggi dengan rambut panjang, sedang terdiam di taman tengah kampus. Ternyata, sosok itu bukanlah Undertaker yang lagi mabok lem, melainkan itu, Fajar.
"Kenapa Jar, diem aja dari tadi? Belom dapet kiriman bulanan, yak? Hehe," tanya gue dengan nada bercanda.
"Bukan itu, Don," jawab Fajar seadanya.
"Terus kenapa? Rice cooker di kostan lagi rusak?" kata gue lagi, masih dengan nada bercanda.
"Aku baru aja putus, Don." Jawab Fajar singkat.
"Oalah, putus toh," jawab gue juga dengan singkat. "Hah? Putus? Sama Ajeng? Kalian kan baru beberapa minggu jadian, masak udah putus, sih?" Ujar gue lagi bertanya dengan perasaan tidak percaya.
"Ternyata, punya pasangan yang 'sama' aja itu gak cukup, Don. Karena terlalu sama, semua jadi terasa membosankan." Kata Fajar dengan pandangan kosong, sambil memandang ke arah langit yang cerahnya sudah mulai tertutupi oleh gelap.
Gue sedikit kaget dan terkejut mendengar kalimat terakhir dari Fajar. Padahal, secara kasat mata orang awam, gue melihat mereka berdua sangat cocok sekali. Seperti yang gue pernah bilang, mereka berdua itu memiliki banyak kesamaan dalam berbagai hal. Seketika, gue mulai berpikir, mungkin apa yang dibilang Fajar itu ada benarnya juga.
Ibaratnya, terdapat 2 pasangan yang merupakan pencinta makanan. Pasangan pertama, mereka sama-sama menyukai makanan Jepang, Sushi. Sedangkan pasangan kedua, meskipun berbeda menu pilihan, namun mereka sama-sama pencinta makanan khas Indonesia. Kesukaan si cewek ialah senang sekali memakan mie ayam, sedangkan si cowok merupakan pencinta nasi goreng. Setiap kali kedua pasangan ini jalan dengan pasangan mereka masing-masing, mereka selalu memesan makanan yang sama sesuai kegemaran mereka. Tidak pernah berubah sekali pun. Hingga suatu hari, pasangan 1 dan 2 ini sama-sama makan di sebuah rumah makan yang menjual menu masakan Indonesia dan Japanese Food. Secara bersamaan pula, kedua pasangan ini bertengkar, karena mereka merasa bosan harus memakan makanan yang sama setiap hari. Secara mengejutkan, ketika kedua pasangan yang duduk di meja bersebelahan ini tengah bertengkar, muncul seorang pria tua berkata,
"Untuk kalian yang memakan Sushi, kalian harus menerima semua resikonya, karena bagaimana pun kalian itu akan selalu 'sama' dan tidak akan pernah bisa merasakan perbedaan, kecuali salah satu dari kalian mau untuk berubah. Sedangkan untuk kalian, yang memakan nasi goreng dan mie ayam, kalian tidak usah khawatir dan bertengkar lagi. Kalian bosan? Kalian cukup tukar saja, menu makanan kalian. Kenapa? Ya, supaya kalian bisa saling mencoba, untuk merasakan perbedaan rasa yang ada di antara makanan kalian."
Inti dari perumpamaan di atas sangat simpel, bahwa memiliki pasangan yang terlalu 'sama' itu ternyata membosankan. Mungkin, kalau kita memiliki kesamaan dengan pasangan dalam 1 atau 2 hal, mungkin itu akan menyenangkan. Namun, apabila dalam segala hal kita memiliki kesamaan dengan pasangan, maka itu namanya bukan pacaran, namun itu namanya, saudara kembar. Kenapa gue bilang begitu? Karena bagi gue, pasangan itu hadir untuk saling berbagi, melengkapi, dan mengisi satu sama lain, dengan hal-hal baru yang belum pernah kita ketahui sebelumnya.
Ibaratnya, seperti pasangan pertama di atas, ketika mereka sudah bosan memakan Sushi, maka mereka hanya bisa pasrah melakukan itu sebagai rutinitas semata. Sedangkan, jika pasangan kedua bosan dengan menu makanannya, mereka bisa saling bertukar makanan dan merasakan betapa nikmatnya perbedaan rasa dari makanan mereka. Sehingga, mereka bisa sama-sama tahu, bahwa perbedaan itu ada untuk saling melengkapi dan menyatukan hubungan, bukan justru untuk saling menjauhkan.
"Sudah sabar aja, Bro. Kita ini rantau, harus kuat, apalagi cuma sama patah hati gini," kata gue coba menghibur Fajar.
"Maksudnya, Don?" tanya Fajar dengan bingung.
"Kalo setiap akhir bulan, kita selalu makan Indomie aja tapi masih bisa hidup, masak cuma gara-gara patah hati doang, kita udah nyerah sih," ujar gue memotivasi dengan nada bercanda.
"Jadi aku harus kayak gimana, Don?" tanya Fajar lagi, masih dengan nada bingung.
"Kayak gimana? Simpel, cukup jalani saja semuanya. Dan inget, kita anak rantau, tujuan kita jauh-jauh ke Jakarta untuk sukses, bukan jadi gembel." Jawab gue sambil tersenyum ke arah Fajar.
"Iya Don, kita pasti bisa sukses di Jakarta ini, Don. Aku yakin, bisa!" jawab Fajar dengan penuh semangat dengan senyuman lebar di wajahnya.
"Yakin sih, yakin. Tapi gausah peluk aku kayak gini juga, dong!" ujar gue, sambil berusaha melepaskan diri dari pelukan Fajar, sembari menahan malu karena diliatin sama orang sekampus.
Ternyata, hidup itu sama saja seperti bunga, ada kalanya kita akan mekar, namun ada juga waktunya kita menjadi layu dan menunggu untuk hilang diterbangkan sang angin. Namun, bunga yang layu, tak sepenuhnya akan mati, melainkan ia juga berhak untuk mekar kembali. Ya, karena gue percaya, sama seperti bunga, semua orang itu berhak untuk bahagia.
Kini, gue ingin fokus untuk kuliah dan mengejar impian gue. Untuk sementara, gue ingin menutup pintu hati gue sejenak, sampai nanti gue menemukan sosok yang benar-benar bisa mengetuk dan membuka pintu hati gue kembali seutuhnya. Intinya, gue siap untuk menjomblo sementara, demi bisa menjadi orang sukses di Jakarta. Sebagai Mahasiswa, seharusnya gue gak boleh cengeng, apalagi hanya karena urusan hati. Sekarang, waktunya gue untuk moving on, karena masa depan yang cerah sudah menanti dan siap menyambut gue di ujung sana.
**Bagian ini sudah selesai, ya! Baca terus kelanjutan cerita dari "Mahasiswa 1/2 Abadi", lebih lengkapnya bisa di Wattpad.com :)
Follow gue di Instagram, Twitter, & Wattpad juga ->Â @dono_salimz
Jangan lupa juga kasih Comment, Voted, & masukin cerita ini ke Reading List ya, Guys! (^_^)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H