Banyak teman yang bilang, kalau urusan pelajaran gue memang nomor 1, tapi untuk urusan cinta, gue pribadi mengakui, kalau gue itu payah. Hati gue terlalu sensitif untuk ukuran seorang cowok. Tidak jarang, ketika hujan datang, gue selalu terdiam sejenak, sambil berpikir, "Lagi sedih gini, kayaknya enak kalau bisa main hujan-hujanan. Siapa tau, kalau aku nangis di bawah hujan, mereka gak akan ada yang tau, kalau aku lagi sedih."
Sebagai seorang cowok, terkadang gue merasa malu dengan diri gue sendiri, karena gue terlalu gampang sedih untuk urusan cinta. Hanya saja, memang hal tersebut gak pernah gue tunjukkan di kehidupan sehari-hari gue. Namun, ketika gue sudah menyendiri, maka di saat itu lah, perasaan gue mendadak sangat sensitif. Ya, bisa dikatakan, gue ini merupakan tipe cowok yang perasa. Cowok yang selalu dan terlalu menggunakan perasaan dalam melalukan segala hal.
Semenjak meninggalkan Surabaya, gue gak pernah melepaskan rutinitas gue setiap malam sebelum tidur, yakni stalking sosial media Fani. Bahkan, tidak jarang juga, untuk menambah suasana haru, gue juga memutar lagu Geisha, Lumpuhkan Ingatanku. Bisa dibilang, apa yang gue lakukan itu memang sebuah kegiatan yang dianggap oleh sebagian orang, memalukan. Tapi gue gak peduli, karena bagi gue, hal tersebut merupakan hal yang wajar, karena gue masih rindu dia. Mungkin suatu saat, gue akan melupakannya, namun gue belum tahu, kapan hal itu akan terjadi. Gue hanya butuh waktu. Hanya itu saja.
"Lo harus bisa move on, Don. Mau sampai kapan lo mikirin dia mulu, dia aja gak pernah mikirin lo sama sekali," kata Khilda berusaha menyemangati gue.
"Iya sih, tapi susah, Khil," kata gue.
"Lo buang-buang waktu tau, Don, kalau masih mikirin dia mulu, banyak yang lebih baik dari dia kok," ujar Khilda sambil melemparkan senyuman tipis ke arah gue.
"Semoga aja sih, benar kayak gitu," jawab gue seadanya.
"Memang sejauh kuliah ini, gak ada cewe yang lo suka di kampus?" Khilda kembali mendekatkan diri ke meja dan menatap gue dengan tatapan tajam.
"Gak tau, Khil, hehe," kata gue enggan menjawab.
"Yaudah, kalo lo malu, tulis aja di kertas ini, lo gak perlu sebut nama deh." Khilda tiba-tiba membuka lembaran tengah dari binder gue.
Lalu, gue pun mengambil pulpen dan menuliskan nama di dalam kertas tersebut. Ketika melihat tulisan di kertas tersebut, Khilda pun terkejut.