Kemarin malam, 13 Juli 2022 pk 19:30 WIB, terbitlah laporan yang ditunggu-tunggu banyak pelaku pasar dan ekonomi di Amerika Serikat -- juga di dunia: laporan Consumer Price Indeks, CPI. Apa itu CPI? Ini adalah laporan yang menyatakan besaran INFLASI yang terjadi di bulan sebelumnya, bulan Juni.Â
Perlu diketahui, bahwa laporan untuk bulan Mei cukup mengejutkan dan mengkhawatirkan, karena inflasi di Amerika Serikat terukur 8,6% year-on-year, dihitung setahun sebelumnya. Sangat, sangat tinggi. Bagaimana dengan bulan Juni?
Laporan inflasi berkaitan juga dengan laporan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat yang negatif di kuartal pertama 2022. Seperti apa kuartal kedua 2022? Kalau masih negatif juga, maka berarti Amerika Serikat secara teknis telah masuk dalam kondisi resesi -- demikianlah resesi dilihat dengan penurunan pertumbuhan ekonomi selama dua kuartal berturut-turut.
Kondisi inflasi tinggi membawa rasa takut besar datangnya hyper-inflasi, suatu kondisi di mana harga barang menjadi sangat, sangat tinggi sehingga tidak lagi dapat terjangkau oleh rakyat Amerika Serikat. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Saya sudah menulis ulasan tentang Quatitative Easing. Silakan disimak kembali. Pada hakekatnya, kita semua tahu bahwa ini adalah langkah pencetakan uang secara elektronik, bukan cetak uang kertas, yang digunakan untuk pembelian aset dan membuat ada dorongan ekonomi yang terus berjalan. Jumlah QE sudah mencapai $9 triliun membebani neraca The Fed.
Jika uang sejumlah ini kembali ke Amerika Serikat, maka ada bahaya kelimpahan uang sementara di sisi penyediaan barang dan jasa tidak banyak yang tersedia. Akibatnya, terjadi bisa terjadi inflasi. Maka, The Fed harus membuat kebijakan moneter untuk menyerap kembali uang yang mereka cetak.
QE berakhir tahun 2014, dan seharusnya di tahun 2015 dan seterusnya, uang dollar dinormalisasi. Tapi terjadilah pergantian kepemimpinan The Fed. Jerome Powell menduduki ketua The Fed, jadi Chairman. Powell meredam laju dari normalisasi yang baru mulai tahun 2017. Di tahun 2018, normalisasi dilakukan sangat perlahan-lahan. Kondisi ekonomi dalam negeri Amerika Serikat dianggap belum siap dengan pengetatan likuiditas.
Kemudian, Covid terjadi dan membuat kebijakan lockdown diterapkan. Untuk kehidupan rakyat, Pemerintah Amerka Serikat mengeluarkan kebijakan bantuan langsung tunai -- praktis bagi-bagi duit kepada rakyat Amerika.Â
Orang yang menganggur pun mendapat uang dalam jumlah lumayan. Tapi sepanjang waktu Covid rakyat tidak leluasa berbelanja. Belum lagi ada kehebohan kewajiban vaksinasi, yang ditolak sebagian orang. Kita tahu, secara jumlah korban, paling banyak korban ada di Amerika Serikat.
Badai Covid tidak berlangsung terus -- akhirnya, di tahun 2021 akhir jumlah pasien Covid berkurang. Rakyat bisa bernafas lega lagi. Mereka bisa pergi ke toko lagi, dan selama ini mereka menyimpan uang stimulus yang diberikan Pemerintah. Buat apa uang, jika tidak dipakai berbelanja?
Maka, orang-orang di akhir 2021 terus berbelanja. Toko-toko kebanjiran pembeli. Banyak orang yang gembira dengan keadaan itu, percaya bahwa perekonomian sudah kembali bergerak. Keuntungan penjual meningkat. Semua lelah tapi senang bukan main. Stok-stok habis. Retailer merasakan pundi-pundi mereka kembali.
Jadi, retailer terus memesan lebih banyak stok ke grosir, yang turut bergembira. Para grosir terus memesan lebih banyak lagi ke pabrik. Dan pabrik terus memesan lebih banyak bahan baku, merekrut lebih banyak pegawai. Ini adalah masa pemulihan ekonomi, siapa yang lambat bisa ketinggalan! Orang Amerika harus berani berbisnis, harus siap mengambil risiko!
Tetapi di saat yang sama, terjadi Great Resignation, banyak sekali orang yang berhenti bekerja karena alasan kesehatan dan keamanan. Di tahun 2021, menurut Departemen Tenaga Kerja di Amerika Serikat, ada 47 juta orang mengundurkan diri dari tempat kerjanya.Â
Banyak yang berhenti karena tidak puas dengan upah yang menurun selama Covid, mengalami kondisi kerja yang tidak enak, dan harus mengurus keluarga dengan anak kecil. Banyak yang memilih untuk mulai menjalankan usaha kecil sendiri.
Hilangnya angkatan kerja ini membuat pergerakan bisnis perusahaan melambat, selain itu keuntungan perusahaan tidak terus tersalurkan sebagai gaji dan bonus bagi pekerja.Â
Lonjakan di pasar tidak mendorong perputaran uang secara keseluruhan. Orang yang menghabiskan uang bantuannya, tidak lantas mendapat penghasilan pengganti. Jadi setelah mereka habis berbelanja, mereka tidak mampu berbelanja lebih banyak lagi.
Sementara itu, kondisi global seperti perang Rusia-Ukraina membuat meningkatnya harga minyak bumi, gas alam, dan semua produk turunannya.Â
Ini bukan inflasi yang terjadi karena banyaknya permintaan dibandingkan penawaran, melainkan inflasi karena tekanan biaya dan rantai pasokan yang terganggu oleh Pandemi dan konflik. Dengan naiknya harga-harga, maka rakyat yang mulai kehabisan uang kini membatasi pembelian pada hal-hal yang pokok dibutuhkan untuk hidup.
Bagaimana dengan stok dan orderan dari retailer dan grosir yang terlalu bergairah dengan penjualan heboh lalu? Ternyata, pembeli menghilang. Stok menumpuk di gudang, jumlahnya meningkat tajam.Â
Sebagian stok itu dibiayai oleh modal sendiri, jadi ya bisa menunggu dijual perlahan-lahan. Sebagian lainnya, stok dibiayai oleh hutang, dan ini jadi masalah karena saat hutang jatuh tempo, tidak ada cukup uang. Ini, namanya Bullwhip Effect, belajar dari Prof Michael J. Burry.
Begini, kalau masih ada pembeli di pasar, maka penjual bisa menarik pembeli dengan berbagai promosi, misalnya memberikan diskon. Tetapi kalau tidak ada pembeli, buat apa memberikan diskon? Yang tersisa adalah orang-orang yang masih punya uang dan masih berniat membeli.Â
Kepada pembeli seperti itu, apakah perlu memberikan diskon? Tidak, para penjual membutuhkan lebih banyak uang. Maka, sebaliknya dari memberi diskon, mereka justru menaikkan harga.
Logikanya sederhana: kalau memang jumlah transaksi menjadi sedikit sekali, ambillah lebih banyak keuntungan dari setiap transaksi. Apalagi, memang terjadi inflasi di mana-mana, beli bensin saja tambah mahal. Kenaikan harga menjadi sangat wajar terjadi, bukan?
Begitulah, memasuki tahun 2022, inflasi meluncur naik, dan naik, dan naik.
Berapa inflasi bulan Juni year-on-year 2022? Laporan menyatakan kenaikan 9,1%. Kalau dihitung inflasi bulanan, terjadi inflasi sebesar 1,1% Angka ini jauh di atas ekspektasi ekonomi di angka 8,8%. Semua pihak terhenyak. Buset amat! 9,1% itu tinggi sekali!
Kembali ada bayangan hyper-inflation. Kini The Fed harus mengambil sikap mengetatkan likuiditas, supaya tidak terjadi keruntuhan akibat inflasi tinggi. Sebelum ini, di duga The Fed akan menaikkan suku bunga 75 bps. Kini ekspektasinya, The Fed menaikkan suku bunga 100 bps. Supaya uang dollar terserap balik oleh The Fed, suatu langkah sesuai textbook tentang bagaimana mengatasi inflasi.
Secara mendasar, permasalahannya berawal dari uang dollar yang dicetak dalam jumlah amat sangat banyak tanpa dasar ekonomi yang memadai. The Fed berharap uang itu bisa mendorong produktivitas, tetapi realita lapangan menunjukkan produktivitas usaha di Amerika Serikat tidak bergerak. Orang berbelanja karena mereka mendapatkan stimulus, bukan karena mempunyai penghasilan.
Sementara itu, uang dollar mengalir kembali dan terus masuk ke dalam mekanisme investasi, berakhir di surat berharga yang dikeluarkan The Fed, bukan mengalir ke ekonomi riil.Â
Bagaimana The Fed bisa membayar bunga? Tentunya dengan mencetak uang lagi begitu saja. Ini menjadi investasi yang semu, karena return diperoleh secara semu. Hanya bayangan, hanya gelembung saja, nampak besar tapi bisa pecah setiap saat.
Ketika uang semu, permintaan pun semu; orang hanya membelanjakan uang bantuannya saja. Catatan peningkatan di retailer menjadi semu. Distribusi oleh grosir semu, demikian juga aktivitas pabrikan adalah sesuatu yang semu, sebenarnya tidak ada di sana, tetapi terjadi karena ada uang yang dicetak begitu saja terus dibagi-bagikan supaya semua rakyat bahagia.
Kalau tidak ada usaha dari rakyat sendiri untuk berproduksi, untuk menghasilkan sesuatu, semua pembelanjaan itu semu, seperti gelembung. Dan sekarang, inflasi sudah 9,1%. Tiba-tiba semua sadar harus mengantisipasi untuk berbelanja hanya kebutuhan pokok, kalau inflasi masih tinggi dalam waktu-waktu mendatang. Tidak ada lagi pembelanjaan.
Bagaimana retailer bisa bertahan tanpa pembeli? Bisa, caranya mengubah barang jualan menjadi hanya barang kebutuhan pokok yang bagaimanapun masih ada pembelinya. Bagaimana dengan grosir dan pabrikan? Mereka harus memangkas kerugian, dengan berhenti. Artinya, mem-PHK karyawan, mengembalikan barang untuk mengurangi hutang. Membiarkan aset diambil untuk menutupi hutang.
Terjadilah penurunan permintaan akan bahan-bahan, harga komoditi turun. Harga pasar berjangka minyak bumi terus turun. Produktivitas terbenam jatuh, dan rasanya bisa dipastikan Amerika Serikat masuk dalam kondisi resesi. Kita lihat laporan PDB nanti di akhir bulan Juli.
Yang jadi beban adalah soal hutang. Jika perekonomian menjadi selambat itu, otomatis terjadi penurunan pajak dan Amerika Serikat bermasalah membayar biaya-biaya. Hutang publik Amerika Serikat sudah lebih dari dua kali lipat produksi domestik bruto, yang nilainya terus menurun. Tidak punya produktivitas saja sudah susah, tapi sekarang mereka harus bayar hutang.
Negaranya begitu juga rakyatnya, harus bayar hutang. Kalau tidak bayar hutang, maka mobil mereka diambil lagi -- terjadilah penarikan mobil dalam jumlah besar. Kalau tidak bayar hutang, rumah mereka diambil lagi, lantas mau tinggal di mana? Untuk bisa produktif, orang paling sedikit harus punya tempat tinggal. Bagaimana bisa menyediakan tempat tinggal?
Untuk segala sesuatu, dibutuhkan biaya. Memang jalanan tersedia dengan mulus, namun butuh supir dan truk untuk mengirim barang, entah membeli bahan atau menjual barang. Tanpa transportasi, orang hanya berjualan ke sekitarnya yang dekat saja, dan di sana tidak ada banyak uang. Ekonomi modern bisa mencapai skalanya karena luasnya distribusi dan kecanggihan transaksi. Kini, biaya untuk ekspedisi meningkat tinggi, bagaimana bisa bertransaksi?
Ada petani dan hasil bumi, tetapi mereka tidak bisa mengirimkan barang. Para pembeli keberatan dengan ongkos kirim yang meningkat tinggi. Ada pabrikan yang harus tutup karena tidak ada bahan baku tersedia. Orang akan berusaha memperoleh dana, dan di tengah kondisi ini tidak lagi memberikan diskon. Kalau mau beli, silakan beli dengan harga yang naik terus. Percuma memberi diskon, karena toh jumlah pembeli tidak akan bertambah.
Di sisi lain, ketika uang dollar mengalir ke Amerika Serikat, nilai dollar mengalami apresiasi nilai amat tinggi. Dengan kata lain, semua barang dari Amerika Serikat menjadi sangat mahal. Di dunia ini, siapa yang mau berbelanja sesuatu dari Amerika Serikat? Terlalu mahal, tidak kompetitif.
Karena mata uang US Dollar adalah mata uang cadangan devisa, kenaikan nilai USD juga membuat naik semua hutang yang dibuat dalam mata uang USD, padahal produktivitas yang muncul di tiap negara berangkat dari mata uang masing-masing. Negara-negara bermasalah untuk membayar hutangnya, baik pokok maupun bunga, karena dalam mata uang USD. Saya merasakan sendiri kesusahan ini di tahun 1998.
Tapi sekali lagi, The Fed mau menahan inflasi, jadi mereka menaikkan suku bunga walaupun itu berarti menarik likuiditas mengering, membuat produktivitas dalam negeri sangat-sangat tertekan, hutang rakyat meningkat (pernah merasakan ambil KPR, tapi kemudian suku bunganya dinaikkan oleh bank? Menyusahkan) dan membuat resesi semakin dalam. Apakah inflasi akan menurun?
Tidak, karena orang butuh uang, mereka akan menjual apapun yang sedikit masih mereka pegang, dengan harga lebih tinggi lagi. Sementara investasi, siapa yang masih berinvestasi? Mereka jual saham untuk menarik uang tunai dari sana. Pasar modal Amerika Serikat runtuh.
Saat pasar riil runtuh dan pasar modal juga runtuh, yang muncul bukan lagi sekedar resesi yang diduga minimal 18 bulan, melain kan suatu kondisi yang disebut Depresi ekonomi. Terakhir ada Great Depression adalah di tahun 1929. Akankah dunia kembali melihat Depresi terjadi?
Bagaimana dengan Indonesia?
Untuk beberapa hal, kita bisa bersyukur karena Indonesia semakin mandiri. Kita tidak berbelanja impor bahan pangan lagi. Kita semakin mandiri mengelola tambang-tambang kita. Kita membangun wilayah Indonesia lebih merata, membuka banyak lahan, ruang untuk pertumbuhan dalam jangka panjang, 20, 30 tahun ke depan. Indonesia tidak terikat dengan ekonomi Amerika Serikat.
Ya, mungkin akan terjadi perubahan drastis juga. Kita tidak lagi bisa memanfaatkan Facebook ini, misalnya. Atau YouTube, atau Microsoft. Semua produk dari Amerika mungkin akan berubah dengan cara tertentu. Mungkin juga akan menjadi terlalu mahal untuk dipakai. Dunia medsos kita bergeser, dan ini membuka peluang bagi programmer Indonesia membuat pengganti produk Amerika Serikat.
Saya duga, kepercayaan dunia kepada USD runtuh, maka US Dollar tidak lagi menjadi mata uang cadangan devisa. Tapi kita lihat Eurozone juga sama berantakannya, malah lebih parah. Jadi juga tidak memakai mata uang Euro. Apa penggantinya? Entah. Mungkin dunia akan berunding dan memilih.
Mungkin, dunia menyadari bagaimana bahayanya semua terikat pada satu mata uang, oleh negara yang dianggap terlalu tinggi, super power seperti Amerika Serikat. Maka dunia mungkin akan melakukan de-globalisasi. Beberapa negara mengalami keruntuhan, dan mungkin menggabungkan diri dengan negara tetangganya. Entahlah, itu adalah solusi, bukan?
Penentunya kembali pada produktivitas, apa yang benar-benar dihasilkan, apa  yang sungguhan bernilai, bukan karena estimasi yang berlebihan, bukan karena ekspektasi tanpa dasar, hanya oleh program pemasaran yang memanipulasi.Â
Ini adalah masalah dunia saat ini, yang sangat kronis. Sangat bergantung pada propaganda dan keyakinan-keyakinan tanpa dasar, seperti kekuatan ekonomi Amerika Serikat.
Kita ada di persimpangan jalan.
14 Juli 2022
Donny A. Wiguna
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H