Pengalaman menggunakan jasa transportasi yang dipesan dengan cara daring, pernah juga aku lakukan. Memang secara kepraktisan, memesan taksi menggunakan aplikasi ini memudahkan. Terlebih lagi, aktivitas manusia saat ini lebih banyak dilakukan dengan gawai mereka.
Data di tahun 2014, jumlah pengguna Internet di Indonesia menunjukkan angka 88,1 juta pengguna. 85% diantaranya menggunakan Internet melalui gawai yang dimilikinya. (Sumber: Pengguna Internet Indonesia Tembus 88,1) .
Melihat tren di tahun tersebut, dapatkah Kompasianers membandingkan peningkatannya di tahun 2015 atau 2016 ini?
Artinya, penggerak bisnis digital, yang mengandalkan Internet, memandang ini adalah “ladang subur” bagi kemajuan dan pertumbuhan bisnisnya. Dengan skema bisnis yang membutuhkan modal tertentu, mereka bisa mengukur keuntungan yang maha dahsyat dalam waktu yang cepat.
Sudut pandang inilah yang bisa jadi digunakan para Chief Executive Officer (CEO) Startup Digital Business dari perusahaan penyedia aplikasi jasa transportasi umum untuk melirik Indonesia dan membangun dinasti taksi berbasis aplikasi. Hal yang menarik adalah karena ini semua cocok dengan tren masyarakat Indonesia kebanyakan yang bersifat konsumtif. Dalam arti, orang Indonesia butuh segalanya serba cepat, instan, murah, dan kekinian.
Maka dari itu, ketika aplikasi untuk memesan layanan transportasi secara daring muncul di tengah kegalauan orang Indonesia –khususnya di Ibu Kota Jakarta-, ini seolah menjadi “buruan” baru yang harus dicoba oleh mereka. Mental latah yang juga dimiliki orang Indonesia ini membuat bisnis digital milik para CEO tadi tumbuh subur.
Namun, meski demikian, respon para konsumen yang menggunakan aplikasi untuk memesan transportasi ini malah positif. Beberapa pertimbangan yang dipilih adalah karena harga yang lebih murah, cepat, instan, dan kekinian. Pola yang sama yang diinginkan semua orang, di Jabodetabek.
Sebenarnya pernyataan di atas lebih kepada pengalaman pribadiku menggunakan aplikasi seperti Grabtaxi, Grabcar, dan Go-Jek. Namun aku pun yakin banyak Kompasianers dan pembaca lain yang mengamininya.
Sikap Pesimistis Pengemudi Taksi Konvensional
Menilik respon pengguna yang positif itu, kemudian banyak orang yang terbuka untuk ambil bagian mencicipi ‘potongan besar’ dari keuntungan bisnis digital di sektor aplikasi jasa transportasi umum. Mereka bergabung dengan brand seperti Uber dan Grab. Bahkan beberapa pengemudi yang sudah menjadi pengemudi taksi di brand taksi tertentu.
Namun, ternyata perilaku ini malah mendapat pandangan sinis dari sekelompok pengemudi taksi yang tidak membuka pikirannya. Pandangan sinis itu muncul karena mereka menutup dirinya dari hal baru yang berkembang dengan cepat, Internet. Mungkin pula bisa disebut, kelompok ini begitu defensif terhadap hal baru yang mengubah kebiasaan mereka sebelumnya. Kelompok ini kemudian akan disebut sebagai Pengemudi Taksi Konvensional.
Namun kemudian, bagaimanakah aplikasi untuk memesan taksi ini berpengaruh terhadap kebiasaan para pengemudi taksi konvensional?