[caption caption="Ilustrasi Taksi. (Foto: Donie Hulalata)"][/caption]Semangat Pagi! Apakah Kompasianers sudah naik taksi pagi ini? Kita sama-sama mengetahui bahwa kemarin Selasa (22/03), ratusan mobil taksi terparkir memenuhi seisi ruas Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Rupanya mobil-mobil taksi itu diparkirkan oleh para pengemudinya, sementara mereka berunjuk rasa menolak keberadaan taksi berbasis aplikasi daring / Online. (Baca artikel berita terkait, pada tautan berikut: Demo Tolak Taksi Online). Menyimak peristiwa tersebut, setidaknya ada tiga hal yang ingin disampaikan berdasarkan pengalaman, pengamatan, dan pengetahuan yang aku miliki. Diantaranya adalah konsep taksi berbasis aplikasi, respon pasar terhadap penggunaan aplikasi tersebut, dan sikap permisif pengemudi taksi konvensional.
Konsep Taksi Berbasis Aplikasi
Kita tidak perlu heran bahwa teknologi informasi dan komunikasi (TIK) saat ini semakin tumbuh dan berkembang. Mewabah di setiap lini kehidupan manusia sejak 10-20 tahun terakhir. Termasuk di sektor transportasi seperti saat ini.
Karena dengan hal itu, kini seseorang yang memiliki gawai (gadget) berupa ponsel pintar dapat menentukan jenis tranportasi apa yang akan digunakannya. Ini bisa terjadi jika seseorang mengunduh aplikasi penyedia layanan transportasi tersebut.
Aplikasi penyedia layanan transportasi ini dibuat oleh perusahaan baru yang mengandalkan internet sebagai “lahan bermain”-nya. Dalam tren bahasa kekinian, ini biasa disebut Startup Digital Business. Lahirnya Startup Digital Business ini tidak lain karena wabah perkembangan TIK yang tadi disebutkan di atas, juga karena inovasi yang lahir sebagai solusi dari permasalahan transportasi khususnya yang terjadi di Jabodetabek.
Bisa jadi, berdasarkan contoh kecil kasus tersebut, Startup Digital Business di sektor layanan jasa transportasi macam Uber, Grab, Go-Jek, dan lain-lain, ini adalah solusi-solusi yang nyata untuk menjawab permasalahan transportasi tersebut. Ingat, dalam halaman penjelasan tentang perusahaannya, secara umum Uber, Grab dan Go-Jek menyebut diri mereka adalah perusahaan penyedia aplikasi jasa transportasi umum, bukan perusahaan penyedia jasa transportasi umum.
Menyoroti transportasi umum yang ada di Jabodetabek, secara luas jenisnya terbagi menjadi transportasi umum roda dua, roda empat, dan roda lebih dari empat. Mulai dari sini, taksi biasanya menggunakan mobil jenis sedan yang rodanya empat buah. Taksi merupakan mobil yang digunakan untuk mengangkut penumpang. Armada taksi di Indonesia, khususnya di Jabodetabek, terdiri dari berbagai perusahaan dengan brand masing-masing. Sebut saja Blue Bird Group, Express Taxi, Taksiku, dan lain-lain. Masing-masing brand tersebut memiliki identitasnya sendiri yang berbeda satu sama lain. Namun perusahaan mereka (perusahaan taksi) digolongkan sebagai perusahaan transportasi umum.
Jika ingin menggunakan taksi sebagai transportasi umum yang ingin kita gunakan, cara yang biasa dilakukan adalah dengan langsung memanggil taksi yang melintas di sekitar kita. Jika memang taksi tersebut tidak ada penumpang, maka kita dapat langsung menaikinya. Namun cara yang lainnya adalah dengan memesan taksi menggunakan jaringan telepon. Kita dapat menelpon layanan konsumen perusahaan taksi untuk memesan taksi.
Dalam perjalanan, mobil taksi sudah dilengkapi argometer. Ini adalah alat yang dapat mengalkulasikan jarak yang ditempuh dengan tarif yang sudah ditentukan perusahaan dan distandardisasikan pemerintah. Sebagai pengguna layanan transportasi tersebut, kita dapat mengetahui berapa biaya yang dikeluarkan ketika sudah di dalam taksi dan melihat argometer saat sudah sampai di tempat tujuan.
Namun, fakta yang mengherankan cukup sering terjadi. Ini adalah terdapatnya beberapa oknum pengemudi taksi yang suka “nembak” tarif tanpa menggunakan argometer. Alasan yang kerap dimunculkan antara lain karena macet, tarif yang biasa dikeluarkan, dan lain-lain.
Sebagai seorang konsumen, praktik ini tentu tidak memenuhi asas keterbukaan. Karena hanya ditentukan oleh satu pihak saja, si pengemudi taksi. Padahal sebagai konsumen, kita tentu akan lebih puas ketika mengetahui biaya yang dikeluarkan berdasrkan perhitungan yang jelas dan akurat. Bukan asal sebut seperti yang dilakukan banyak oknum tersebut. (Disclaimer: Tidak berarti semua supir taksi di Jabodetabek melakukan “nembak tarif”. Biasa terjadi di kawasan Bandara, Stasiun, Terminal, dan tempat-tempat lain yang menjadi tempat mangkal oknum ‘nembak’ tersebut).
Nah, di sinilah kehadiran Startup Digital Business menjadi sebuah solusi yang inovatif. Proses bisnis yang dilakukan Startup Digital tersebut sebenarnya memangkas tahapan pemesanan taksi yang dilakukan oleh konsumen. Melalui sebuah aplikasi yang dibuat oleh Startup Digital itu, konsumen dapat memesan taksi langsung kepada pengemudi taksi, dengan catatan si pengemudi taksi sudah bergabung untuk menjadi mitra dari perusahaan Startup Digital tadi.