Mohon tunggu...
Doni Bastian
Doni Bastian Mohon Tunggu... Penulis - SEO Specialist - Konsultan Pemeliharaan Ikan Koi

Sekadar berbagi cerita..

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kisah Antara Gus Miftah, Deddy Corbuzer dan Penjual Es Teh

15 Desember 2024   18:53 Diperbarui: 15 Desember 2024   18:53 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tentu belum hilang dari ingatan tatkala terjadi momen mengharukan saat Deddy Corbuzier melafalkan dua kalimat Syahadat di depan Gus Miftah. Yang menarik disini bukan karena keduanya adalah figur terkenal, tapi bagaimana Gus Miftah berhasil menggugurkan keyakinan Deddy terhadap agama yang telah lama dipeluknya dan kemudian dengan suka rela berpindah menjadi pemeluk Islam.

Fragmen 1

Semua orang tahu, bahwa Deddy adalah seorang yang berpikir logis. Dalam menyelesaikan semua masalah, Deddy selalu mengedepankan logika berpikir yang sehat, termasuk ketika memutuskan untuk berpindah keyakinan agamanya.

Tak banyak orang yang mau dan mampu mengalahkan keyakinan dengan logika. Biasanya, seseorang jika sudah memiliki keyakinan terhadap agama tertentu, maka dengan cara papapun dan sampai kapanpun, dia tak akan mau melepas keyakinannya itu. Namun tidak bagi Deddy. 

Mungkin, Deddy sebelumnya sempat merenungi keyakinannya sendiri yang makin lama makin gamang. Apalagi setelah bertemu dengan Gus Miftah. Seolah Gus Miftah berhasil membuka tabir yang selama ini menutupi dirinya untuk menemukan jalan kebenaran, setidaknya untuk mewakili cara berpikir yang masuk akal.

Gus Miftah, sebagai pendakwah, tentu telah meraih poin positif karena keberhasilannya dalam mengajak Deddy untuk pindah agama. Namun ada yang lebih penting bahwa Gus Miftah ternyata memiliki kemampuan berpikir yang selaras dengan akal sehat. Buktinya ? Ya Deddy sendirilah. Orang cerdas sekaliber Deddy pun dapat ditaklukkannya.  

Fragmen 2

Fragmen di atas sudah jelas mewakili kesimpulan bahwa Gus Miftah bukanlah orang bodoh. Meskipun Gus Miftah masih jauh kualitasnya jika di bandingkan dengan 'kiai alim' lainnya, namun sama sekali bukan berarti dia tak bisa jadi pendakwah kondang. Membaca Qur'an saja mungkin Gus Miftah masih harus banyak belajar, apalagi menterjemahkan 'kitab kuning', masih jauh lah..

Berbekal kemampuannya dalam mengolah kata ketika berceramah, yang selalu dibungkus dengan dagelan lucu, membuat semua jamaahnya tak lagi mempersoalkan kealimannya. Ketenaran Gus Miftah sebagai penveramah makin tak terbendung. Jadwal job manggung makin padat dan tentu membuatnya makin punya banyak uang. 

Tapi sayang dengan banyaknya uang, bukan membuat karirnya makin terang, tapi justru malah jadi sandungan. Karena kebiasaannya melucu di depan jemaahnya, Gus Miftah seseungguhnya sudah berkali-kali membuat kasus penghinaan atau menistakan orang lain, dengan dalih bercanda di berbagai kesempatan termasuk diluar acara ceramahnya.

Definisi 'bercanda' yang diyakini Gus Miftah bisa jadi berbeda dengan yang disepakati oleh banyak orang. Hingga kasus terakhir yang melumpuhkan dirinya saat melepaskan guyonan bernada menghina kepada si Penjual Es Teh. Publikpun kembali meradang untuk kali ini. Gus Miftah harus rela menerima sanksi sosial dan derasnya cacian dari para netizen yang tak bisa menerima definisi 'bercanda' ala Gus Miftah itu. 

Jika ditelaah lebih lanjut, ada dua fragmen yang berbeda dari kasus Gus Miftah di atas. Memang keduanya tidak saling berhubungan, namun apakah kedua fragmen tersebut dapat dihubung-hubungkan?

Bila mau bercermin, tak ada perlunya mencari-cari kesalahan orang. Siapapun dan dari latarbelakang apapun, tentu bisa saja berbuat salah. Termasuk saya dan anda sendiri.

Namun yang bisa dipetik hikmahnya, bahwa seseorang yang cerdas secara intelektual, belum tentu memiliki kecerdasan emosional dan sosial. Begitu banyak orang cerdas tapi tak mampu mengarahkan kecerdasannya untuk kebaikan. Bahkan penjahat kelas kakap, termasuk para koruptor, terdiri dari orang-orang yang cerdas.

Ternyata kecerdasan intelektual tidak berbanding lurus dengan kecerdasan sosial. Begitulah yang terjadi di dunia ini. Apapun bisa saja terjadi.

Kadang saya sempat berpikir, apakah saya lebih baik jadi orang bodoh saja, daripada saya jadi orang pinter tapi menyakiti hati orang lain.. 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun