Umat Islam merayakan pergantian tahun baru tepat pada tanggal 1 Muharram, pada tahun ini sudah berusia 1444 Hijriyah. Berbeda halnya dengan penanggalan kalender konvensional, yang menggunakan penanggalan Masehi, maka umat Islam menggunakan penanggalan Hijriyah.Â
Jika penanggalan Masehi menggunakan perhitungan solar atau posisi matahari terhadap bumi yang dicetuskan oleh Paus Gregorius XIII, sekaligus penegas kelahiran Yesus Kristus di tahun 1 Masehi, maka penanggalan hijriyah menggunakan perhitungan lunar atau posisi bulan terhadap bumi yang diresmikan oleh Khalifah Umar bin Khattab sekaligus penanda peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad saw dari kota Mekah ke Madinah.
Beberapa alasan mengapa peristiwa kelahiran Nabi Muhammad saw tidak dijadikan sebagai awal penanggalan tahun baru Hijriyah, di antaranya:
Pertama. Pada masa sebelum kedatangan Nabi Muhammad saw, orang-orang Arab sudah mengenal bulan tetapi tidak mengenal tahun, sehingga perhitungan tahun pada masa itu hanya dihubungkan dengan peristiwa penting yang sedang terjadi.Â
Misalnya, tahun kelahiran Nabi Muhammad saw dikenal dengan tahun gajah, karena memang pada saat itu terjadi penyerbuan kota Mekah oleh pasukan bergajah yang dipimpin Abrahah. Dengan dasar sejarah di atas, sangat tidak mungkin dilakukan penanggalan tahun ketika tahun belum dijadikan ukuran matematis. Jika dipaksakan maka akan terjadi kesalahan informasi sejarah.
Selain itu, di kalangan para sahabat juga banyak yang berbeda pendapat tentang kelahiran Nabi Muhammad saw, jika hal tersebut tetap dipaksakan untuk menentukan awal bulan Muharram, maka akan terjadi perbedaan waktu di kalangan umat Islam dalam menentukan bulan Ibadah, semisal Ramadan dan penetapan hari raya.
Kedua. Sebenarnya perintah penulisan tahun Hijriyah, setelah umat Islam pindah ke Madinah telah ditetapkan oleh Nabi Muhammad saw. Beliau memerintahkan kepada Ali bin Abi Thalib untuk menuliskan tahun 5 Hijriyah di kop surat yang akan dikirimkan kepada umat Kristen di Najran.Â
Namun setelahnya, Nabi Muhammad saw tidak mewajibkan kepada umat Islam untuk selalu menuliskannya. Walaupun demikian, sikap Nabi Muhammad saw tersebut menjadi petunjuk implisit sebagai sunnah untuk diteladani. Nanti pada masa Umar bin Khattab penanggalan Hijriyah baru resmi digunakan di kalangan umat Islam.
Ketiga. Peristiwa hijrah Nabi Muhammad saw dan umat Islam dari Mekah ke Madinah sarat dengan nilai pengorbanan, perjuangan dan integritas dalam beragama. Ikhtiar, doa dan tawakkal kepada Alloh swt menjadi faktor utama penentu pengaruh dan kemenangan umat Islam sampai sekarang.Â
Ketika umat Islam tertekan bahkan hampir tidak punya ruang gerak dalam berdakwah sampai keselamatan jiwapun terancam, maka Alloh swt memerintahkan umat Islam untuk bersabar menghayati proses perjuangan dengan cara hijrah ke Madinah. Alloh swt, mengajarkan kepada umat Islam tentang pentingnya pengorbanan, perjuangan dan perdamaian dalam menyelesaikan masalah.Â
Nabi Muhammad saw sadar dan mengerti pasti Alloh swt akan memenangkan agama-Nya, tetapi Alloh swt, tidak akan memberikannya begitu saja, karena hidup ini adalah seleksi dan ujian untuk meluluskan insan yang berkualitas.Â
Proses perjuangan membebaskan kota Mekah, dijalani ketika untuk pertama kalinya Nabi Muhammad saw berhasil mendirikan rumah ibadah pertama, yaitu Mesjid Quba' sehingga umat Islam secara de facto memiliki kebebasan dalam menjalankan ibadah.Â
Nabi Muhammad saw mempersaudarakan sesama umat Islam dan membina hubungan baik (toleransi) kepada komunitas yang berbeda keyakinan, Nasrani dan Yahudi. Nabi Muhammad saw sebagai seorang pemimpin yang mampu berdiplomasi di tengah keragaman dengan berpegang teguh kepada nilai Islam dan keadilan sosial yang merata.Â
Puncaknya, umat Islam berhasil memproklamasikan kemerdekaannya sekaligus menyatakan berdirinya Negara Islam (Daulah Islamiyyah) di Madinah. Kulminasi dari kegemilangan perjuangan Nabi Muhammad saw di Madinah berlanjut dengan pembebasan Mekah (Futuhat al-Makiyah) tanpa peperangan dan semua orang berbondong-bondong untuk masuk ke dalam naungan Islam.
Menikmati Perjalanan Waktu
Secara sederhana hijrah diartikan dengan berpindah, transformasi, berubah dari kondisi yang buruk menjadi baik. Jika diikutkan dalam konteks sejarah, hijrah diartikan perpindahan Nabi Muhammad saw dan umat Islam dari Mekah ke Madinah. Perpindahan tersebut terjadi secara holistik yang bersentuhan langsung dengan sisi eksoteris sekaligus esoteris, mulai dari ruang dan waktu, jiwa dan raga, antroposentris dan teosentris.
Jika dilihat dari sudut determinasi sejarah, maka peristiwa hijrah tidak terlepas dari waktu yang di dalamnya terjadi pergumulan di antara kebaikan dan keburukan. Setelah melalui usaha, perjuangan dan pengorbanan, akhirnya takdir Alloh swt menentukan bahwa kebaikanlah yang menjadi pemenangnya.Â
Dalam situasi ini, waktu seolah-olah tidak peduli dengan hasil dan siapapun pemenangnya. Sekaligus tidak pantas juga menyalahkan waktu karena sikapnya yang tidak berpihak, apalagi sampai menyalahkan karena masa lalunya. Pergantian tahun baru Hijriyah mengajarkan kepada kita untuk menikmati bukan menghujat waktu.
Padanan kata waktu yang diungkapkan dalam Alquran ada beberapa bentuk, yaitu Ad-Dahr (waktu yang panjang, mulai dari diciptakan sampai dimusnahkan), 'Ajal (batas waktu yang telah ditentukan), Al-Waqtu (diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi waktu) dan Al-'Asr (waktu menjelang 'Asar).
Makna kata waktu adalah kesempatan atau peluang untuk menyelesaikan suatu perbuatan. Dalam konteks ini, waktu memiliki kadar atau ukuran, sehingga menuntut adanya pembagian teknis dalam pekerjaan mulai dari hitungan detik, menit, jam, hari, bulan dan tahun. Penjelasan ini terdapat dalam Q.S. Al-Hajr: 38, Q.S. Al-A'raf: 187, Q.S. An-Nisa: 103, Q.S. Al-Baqarah: 189.Â
Peristiwa hijrah mengajarkan kepada kita untuk cerdas dalam mengatur waktu, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, kontrol atau pengawasan, evaluasi dan skala prioritas agar tujuan yang diinginkan dapat tercapai. Dalam waktu ada nilai perjuangan agar diri kita semakin dekat kepada Alloh swt, memperbaiki kualitas diri setiap saat serta meningkatkan kepedulian melalui ibadah sosial dan kemanusiaan.
Hijrah bukan hanya berpindah secara fisik tetapi cara kita untuk memanage agar kita mampu menjadikan masa lalu sebagai evaluasi dalam mengubah sesuatu yang buruk menjadi baik di masa yang akan datang. Di sinilah kita dituntut untuk mengisi ruang dan waktu dengan seni memanage waktu agar hidup kita bermakna dan tidak sia-sia. Dalam sebuah pepatah dikatakan bahwa, "waktu seperti pedang, jika kamu tidak menebasnya maka dia yang akan menebasmu".
Dalam kesempatan yang berbeda waktu dikenal juga dengan istilah Al-'Asr, dapat diartikan dengan masa atau waktu dengan periodenya. Islam mengajarkan kepada kita tentang pentingnya memanage waktu, yang dituangkan dalam Q.S. Al-'Asr. Bahkan, melalui Surah ini pula kita diajarkan untuk bisa menikmati bukan menghakimi waktu, karena waktu selalu bersikap netral dan tidak memihak.Â
Saking pentingnya manusia untuk memperhatikan waktu maka Alloh swt bersumpah atas nama waktu (wal 'asr). Muhammad Asad dalam bukunya "The Message of the Quran", mengartikan kata al-'Asr dengan the flight of time (berlalunya waktu).Â
Jadi waktu yang telah berlalu tidak mungkin bisa dikembalikan lagi. Berbagai ilustrasi yang terjadi pada masa lalu memiliki konsekuensi terhadap masa depan, berarti apa yang kita lakukan pada masa lalu akan berdampak dalam kehidupan kita yang sekarang dan masa yang akan datang.
Setelah kita memahami begitu mulianya kedudukan waktu di sisi Alloh swt, maka pada ayat yang berikutnya dalam Q.S. Al-'Asr dijelaskan tentang tata cara menikmati perjalanan waktu agar kita tidak termasuk orang-orang yang rugi, yaitu:
Pertama. Mengisi waktu dengan iman dan amal soleh (Q.S. Al-'Asr: 3). Iman adalah keyakinan yang melekat dalam diri manusia. Iman bersifat abstrak karena berupa paradigma harapan yang ditegaskan dalam hati yang harus direalisasikan, apakah dalam bentuk pernyataan verbal atau perbuatan nyata.Â
Niat yang terlintas di dalam hati, jika tidak dilaksanakan maka akan sia-sia. Implikasi dari Iman adalah Ibadah dalam bentuk perbuatan atau ritual agama tertentu, seperti syahadat, solat, puasa, zakat dan haji (rukun Islam).Â
Setelah mantap dalam beriman maka eskalasi berikutnya adalah beribadah. Ibadah di sini tidak hanya diartikan secara langsung (vertical) kepada Alloh swt, tetapi harus bersentuhan (horizontal) dengan masyarakat. Bahkan, untuk mengentaskan persoalan sosial maka kita tidak cukup hanya mengandalkan dakwah verbal, tetapi harus melengkapinya dengan dakwah sosial yang bisa menyentuh dan menyelesaikan akar permasalahan.Â
Sasaran kebaikan bukan hanya ditujukan secara personal tetapi juga komunal, karena orang yang terbaik adalah orang yang mampu memberikan manfaat bagi orang lain. Jadi, Iman ibarat wadah yang harus diisi dengan berbagai amal soleh, karena Iman tanpa amal soleh akan sia-sia.
Demikian sebaliknya, amal soleh tanpa Iman juga akan sia-sia, karena tidak bermanfaat secara ketuhanan (teologis) dan akhirat (eskatologis), seperti Imannya orang kafir walaupun selama hidupnya dia banyak berbuat baik maka semuanya akan tetap sia-sia.
Kedua. Mengisi waktu dengan saling mengajak dan menjalankan kebenaran (Q.S. Al-'Asr: 3). Dalam ayat ini kebenaran yang hakiki (Al-Haqq) adalah Alloh swt. Ketika manusia letih, penat, kehilangan harapan dalam menatap kesibukan dunia.
Hidupnya dikelilingi dengan tekanan hidup, pekerjaan yang menumpuk, ekspektasi pergaulan yang memaksanya untuk berbohong tentang dirinya (hipokrit), senyum palsu yang dipaksakan di berbagai media sosial.Â
Bahkan, tidak jarang agar mendapatkan apresiasi dan tepuk tangan dari orang lain, manusia memalsukan diri dengan mengenakan topeng sosial yang silih berganti, tanpa sadar bahwa dia telah mendidik alam bawah sadarnya untuk membenci dirinya sendiri.Â
Pada tahap ini, manusia akan kehilangan jati diri dalam kehampaan spiritual. Kompensasinya, dia akan mencari ketenangan hidup dalam gaya hidup materialistis, konsumtif dan hedonis. Alih-alih menyelamatkannya, justru semakin membenamkannya dalam depresi yang tidak berkesudahan. Maka, banyak ditemukan kasus bunuh diri yang terjadi di negara Megapolitan, yang katanya hidup mereka sudah sangat artifisial.
Manusia akan tenang, jika dia mengisi waktunya untuk mengenali kembali fitrahnya. Kembali kepada Alloh swt, untuk merecharge kekosongan jiwa dan kehampaan spritualnya. Jika telah tersadar, bahwa hanya kembali kepada Alloh swt semua permasalahan hidup akan selesai, maka jiwa dan pikiran manusia akan kembali menjadi tenang.Â
Selain itu, manusia juga membutuhkan manusia lain untuk mengingatkan tentang kealpaan dan kesalahannya. Bukan karena dia tidak tau, tetapi karena memang saat itu dia sedang butuh teman berbicara untuk menasehatinya. Kebenaran itu bisa datang dari siapa saja tanpa memandang status akademis dan sosial, karena Alloh swt bisa mengirimkan hikmah kepada seseorang melalui pengalaman hidup dan lingkungan yang berada di sekitarnya.Â
Maka disinilah pentingnya bagi kita untuk mengisi waktu dengan cara belajar, beribadah, mencari lingkungan pergaulan yang baik dan mencari sahabat yang mau mengingatkan kita ketika salah.
Ketiga. Menjalani kehidupan dengan sabar (Q.S. Al-'Asr: 3). Alloh swt menegaskan bahwa menjalani hidup menuju surga penuh dengan ujian, masalah dan rintangan (QS. Al- Baqarah: 214). Hidup tanpa ujian berarti bukan hidup, karena resiko hidup adalah ujian, karena melalui ujian itulah Alloh swt menyaring mana manusia yang lulus atau tidak lulus.Â
Kesulitan-kesulitan dalam hidup manusia seperti ritme dan dinamika yang menghiasi perjalanan hidupnya. Tanpa kesulitan maka manusia tidak tau betapa nikmatnya perjuangan, maka di situ pulalah letak seni dan keindahan dalam hidup.
Dalam konteks ini, salah satu cara untuk mengentaskan kesulitan adalah dengan bersabar. Sabar bukan diartikan dengan berdiam diri, tetapi sabar diartikan sebagai kerja keras (ikhtiar) dan kejelian dalam melihat kesempatan. Pada dasarnya Alloh swt menjanjikan kepada manusia bahwa di balik kesulitan maka dia akan mendapatkan kemudahan-kemudahan (Q.S. Al-Insyirah: 5-6), jika dia mau bekerja.Â
Bahkan ketika manusia telah selesai dari pekerjaannya maka dia harus menyibukkan dirinya dengan pekerjaan yang lain (Q.S. Al-Insyirah: 7). Tetap diingat bahwa tujuan utama dari pekerjaan tersebut bukan hanya untuk kepentingan dunia saja tetapi untuk akhirat, karena semua manusia akan dikembalikan kepada Alloh swt dan dimintai pertanggungjawaban terhadap segala sesuatu yang pernah diperbuatnya (Q.S. Al-Insyirah: 8).
Jadi, cara menikmati waktu adalah dengan menyibukkan diri kita dengan bekerja. Bekerja bukan hanya untuk memenuhi sisi humanisasi, sekedar untuk memenuhi kebutuhan makan. Bekerja sebagai keharusan bukan tujuan, karena bekerja juga harus memenuhi sisi transendensi, bekerja sambil menyandarkan harapan kepada Alloh swt.
Semoga kita mampu menikmati waktu dan menjadikan tahun baru Hijriyah sebagai momentum untuk menjadi pribadi yang lebih baik setiap saat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H