Mohon tunggu...
Doni Rahma
Doni Rahma Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Panggil saja oey

akun ini hanya menyalurkan apa yang ada di otak saya. kemudian merangkainya menjadi frasa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Krisis Air: Ketidakadilan & Beban Ganda Perempuan

2 Desember 2024   16:39 Diperbarui: 2 Desember 2024   21:24 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Menyelamatkan air adalah menyelamatkan kehidupan dan dunia. Air berdampak pada setiap lini kehidupan manusia: kesehatan dan harapan hidup, penanggulangan kemiskinan, pemberdayaan perempuan, ketahanan pangan, dan ketahanan energi (Utusan Khusus PBB Khusus Air, Retno Marsudi). 

Penggalan kalimat tersebut tertuang dalam kolom opini koran Kompas edisi 1 November 2024 bersamaan dengan dimulainya tugas beliau sebagai utusan khusus PBB. Pernyataan tersebut menurut saya memiliki dua arti. Pertama, bahwa air memiliki peran penting dalam keberlangsungan umat manusia didunia. 

Kedua, krisis air yang melanda dunia hari ini perlu segera untuk ditangani. Air adalah kompenen utama dalam kehidupan sehingga sangat relevan apabila pendapat Retno Marsudi menganai krisis air perlu mendapat atensi lebih wabilkhusus untuk para pemangku kebijakan dan kepala negara.

Dalam Persepktif telogis air digunakan hampir diseluruh praktek ritual keagamaan. Agama islam menggunakan air sebagai media penyuci diri baik itu dari hadas besar ataupun hadas kecil. Kemudian agama kristen air juga digunakan sebagai media pembaptisan serta dalam agama hindu para umatnya menyakini bahwa air sebagai salah satu unsur alam sehingga dianggap suci. 

Lalu jika topiknya bergeser dari teologis ke biologis kita pun bisa melihat bahwa tubuh manusia 70% penyusunya adalah air. Bagaimanapun bentuknya baik itu berupa urusan teologis, biologis hingga domestik selama kehidupan umat manusia masih ada di dunia ini maka air terus akan dibutuhkan sampai kapanpun.

Semakin pesatnya pertumbuhan umat manusia dalam kurun waktu beberapa puluh tahun ini tidak dapat dipungkiri turut berkolerasi dengan semakin meningkatnya kebutuhan air terlebih di Indonesia sendiri. 

Kebutuhan air Indonesia menurut laporan Asian Developemnt Bank 2016 rata-rata orang indonesia yang tinggal di perkotaan adalah 120 liter/hari sedangkan untuk di desa berada dikisaran 80 liter/hari. Penggunaan air tersebut diproyeksikan akan terus meningkat hingga tahun 2030 mendatang. 

Tingginya penggunaan air ini menyebabkan terjadinya eksploitasi besar-besar besaran terhadap berbagai sumber air baik dipermukaan (Surface Water) ataupun yang ada di dalam bawah tanah (Underground Water). Diberbagai kota-kota besar di Indonesia karena kebutuhan air bersih yang sangat besar banyak masyarakat pun kemudian membuat sumur sebagai salah satu solusi untuk mendapatkan air bersih. Lalu pertanyaannya apakah air akan terus ada?

KETERSEDIAAN AIR TERANCAM

Ketersediaan air bersih hari ini semakin sulit untuk didapatkan sebagaimana dari dampak buruk dari aktivas manusia itu sendiri (antropogenik). Pertama, aktivitas manusia seperti adanya kegiatan industrialiasasi selain memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara tetapi disisi lain juga memiliki dampak negatif. 

Dengan semakain majunya tingkat industrialisasi ditandai menjamurnya pabrik-pabrik ternyata berdampak negatif saling bersinggungan satu sama lain. Seperti contoh pembuangan limbah sisa produksi seringkali langsung dialirkan menuju sungaki begitu saja tanpa proses pengolalahan terlebih dahulu. 

Dari hasil Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 dari 111 sungai yang diindetifikasi sebagain besar sudah tercemar karena pembuangan limbah industri.

Kedua, Perubahan Lanskap wilayah yakni dengan semakin meluasnya kota menyebabkan beban air diperkotaan meningkat. Aktivas domestik seperti MCK, Membuang sampah, Mencuci seringkali dilakukan di bantaran sungai. Hal ini karena masyarakar kelas bawah tidak punya pilihan lain selain menggunakan air sungai sebagai bagian dari keseharian. 

Selain akses air bersih yang mahal seringkali sistem perpipaan air bersih tidak sampai di daerah perkampungan kelas bawah di kota. Menurut laporan UN water yang dikutip dari UNICEF pada tahun 2022 sebanyak 3,5 milliar orang belum mendapatkan akses air bersih yang layak. Untuk di Indonesia sendiri laporan yang dikeluarkan oleh BPS menyebutkan 91,72% rumah tangga di Indonesia sudah mendapatkan akses air bersih.

Ketiga, Krisis iklim. Semakin menghangatnya bumi dan tidak menentunya cuaca membuat ketersediaan air semakin menipis. Manusia membuat siklus cuaca menjadi tidak menentu. 

Deforestasi hutan besar-besaran dan pelepasan karbondioksida ke atmosfer memperbesar kemungkinan bumi ini mengalami perubahan iklim dengan mempercepat krisis air. Musim kemarau berkepanjangan serta musim penghujan yang sebentar menyebabkan berbagai bencana diberbagai wialayah. 

Tentunya jika berbicara di daerah yang terkena bencana permasalahan yang tidak jauh dari hal tersebut adalah akses air bersih seperti halnya sanitasi. UNISDR (United Nation Officier for Disaster Risk Redction) dalam laporannya pada tahun 2015 menyebutkan bahwa tantangan terhadap ketersediaan air adalah 90% berkaitan dengan bencana seperti kekeringan dan banjir.

AIR & INTERSEKSIONALITAS PEREMPUAN

Krisis air yang melanda dunia hari ini menjadi persoalan amat sangat dekat dengan perempuan. Peran perempuan dalam keluarga sebagai pelaksana urusan domestik seperti kegiatan memasak, mencuci dan mandi tentunya sangat didukung dengan ketersediaan air bersih. Apabila krisis air terjadi maka perempuan lah yang pertama terlibat dalam upaya pemenuhan air bersih untuk keluarga. Bagi mereka, perempuan, air bersih adalah hal yang utama agar proses domestik tetap jalan. 

Namun, Seringkali ketika krisis air datang para perempuan harus menempuh jarak berkilo-kilometer untuk mendapatkan air bersih atau jika tidak merekalah garda terdepan untuk mengantri jikalau terdapat bantuan air datang. 

Dalam laporan UNICEF pada tahun 2015 mengatakan bahwa 8 dari 10 kebutuhan air dalam keluarga diserahkan kepada perempuan dan anak perempuan dewasa sedangkan 19,5% sisanya dikumpulkan oleh laki-laki (Indraswari, 2021). Data tersebut menujukkan bahwa perempuan memiliki beban lebih ketika krisis air melanda.

Ketidakseteraan jender buah dari sosial budaya yang dibentuk masyarakat membuat posisi perempuan semakin menderita. Pelanggengan budaya patriarki sebagai adat dan budaya diberbagai negara termasuk di Indonesia merupakan salah satu faktor mengapa terjadi ketimpangan beban dan pembagian peran yang dialami oleh perempuan. 

Di berbagai daerah di indonesia misalnya perempuan tidak dilibatkan dalam berbagai langkah pengambilan keputusan dalam rumah tangga. Dalam tingkat yang lebih tinggi pun juga sama perempuan belum sepenuhnya dilibatkan dalam pengambilan keputusan terhadap solusi penyediaan air bersih. Belum adanya keterlibatan suara perempuan dalam upaya untuk mengatur dan mengolala air juga dikarenakan adanya nilai-nilai tradisonal yang menghambat (Indraswari, 2021).

Meskipun upaya penyediaan air bersih terus diupayakan oleh perempuan untuk memenuhi kebutuha rumah tangga sebagaimana beban tambahan yang diberikan kepada meraka. Namun akses terhadap air bersih tidak selamanaya bersahabat. Diberbagai negara-negara besar di dunia akses air bersih sebagai hak dasar umat manusia yang telah diakui oleh PBB tidak selamanya masyarakat dapatkan. 

Selain Ketimpangan jender permasalahan perbedaan kelas sosial juga turut menentukan akses terhadap air bersih. Di Dhaka, Bangladesh perempuan dengan kelas sosial menengah keatas tidak perlu mengeluarkan tenaga ekstra untuk mendapatkan akses bersih. Permerintah sudah menyiapkan jaringan perpipaan sehingga meraka tidak perlu menuntut lebih atas hak meraka terhadap air. 

Sedangkan untuk perempuan kelas bawah harus bekerja lebih keras untuk mendapatkan akses air bersih. Negara juga turut memvalidasi hal tersebut dengan hanya memandang hak perempuan kelas menengah keatas (Sultana, 2020).

Peningkatan laju urbanisasi yang tinggi dengan dasar untuk mencari kehidupan yang layak kadangkala menjadi dorongan masyarakat desa datang ke kota-kota besar. Bagi mereka yang punya keahlian dan sukses niscaya akan mendapat kehidupan baik. Namun, selebihnya lagi berakhir tinggal di pemukiman kumuh. Di kota-kota besar untuk mendaparkan akses air bersih masyarakat harus membeli terlebih dahalu. Bagi perempuan yang tinggal dikota pilihannya hanya ada dua membeli air dengan harga mahal atau menggunakan air yang terkontaminasi (Sultana, 2020).

Krisis air telah membuka tabir bahwa perempuan lah yang pertama kali terdampak jika kelangkaan air melanda. Perempuan mengalami berbagai ketidakadilan baik peran, status, dan kelas di dalam masyarakat. Krisis air juga mengancam perempuan terhadap kesehatan reproduksi meraka. Krisis air juga menyebabkan perempuan rawan tertular berbagai penyakit menular akibat buruknya sanitasi. 

Pemangku kebijakan dan tentunya kepala negara harus segara hadir untuk terus berupaya menciptakan penyediaan air bersih. Kendala perempuan seringakali tidak terekspos sejalan dengan masih langgengnnya budaya patriarki. Air adalah Hak dasar semua lapisan masyarakat tidak peduli orang itu miskin-kaya, perempuan/laki-laki atau apapun itu.

DAFTAR PUSTAKA

Asian Developement Bank. (2016). Indonesia Country Water Assessment. https://www.adb.org/sites/default/files/institutional-document/183339/ino-water-assessment.pdf.

BPS. (2023a). Persentase Rumah Tangga yang Memiliki Akses terhadap Sumber Air Minum Layak Menurut Provinsi (Persen), 2021-2023.

BPS. (2023b). Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 2023. https://www.bps.go.id/id/publication/2023/11/30/d3456ff24f1d2f2cfd0ccbb0/statistik-lingkungan-hidup-indonesia-2023.html

Indraswari, D. L. (2021, October 23). Perempuan dalam Pusaran Krisis Air. Https://Www.Kompas.Id/Baca/Riset/2021/09/23/Perempuan-Dalam-Pusaran-Krisis-Air.

Marsudi, R. (2024, November 1). Krisis Air. Kompas. https://www.kompas.id/baca/opini/2024/10/31/krisis-air-dunia?open_from=Search_Result_Page

Sultana, F. (2020). Embodied Intersectionalities of Urban Citizenship: Water, Infrastructure, and Gender in the Global South. Annals of the American Association of Geographers, 110(5), 1407–1424. https://doi.org/10.1080/24694452.2020.1715193

UN Water. (n.d.). Water. Https://Www.Un.Org/En/Global-Issues/Water.

UNISDR. (2015). The Human Cost of Weather Related Disaster 1995-2015. https://www.unisdr.org/2015/docs/climatechange/COP21_WeatherDisastersReport_2015_FINAL.pdf

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun