Mohon tunggu...
Don Eskapete
Don Eskapete Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger

who am i?

Selanjutnya

Tutup

Fiksi Islami

Angklung Ramadhan

30 Mei 2018   11:51 Diperbarui: 30 Mei 2018   18:20 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: pikiran rakyat

Bel tanda pulang sekolah berbunyi. Murid-murid SD Negeri Sekongkang pun berhambur keluar kelas. Namun di salah satu ruang kelas terlihat beberapa anak yang masih tinggal. Mereka sedang membicarakan sesuatu.

"Teman-teman, pentas seni Ramadhan tinggal dua minggu lagi. Ada ide kelas kita mau bikin apa?" tanya Dzul si ketua kelas.

Tidak ada satu pun jawaban dari teman-temannya. Hanya suara tik tok tik tok jarum jam dinding terdengar.

"Ayo dong, waktunya mepet nih," lanjut Dzul.

"Emmm... Gimana kalo kamu deklamasi puisi kayak tahun kemarin, Dzul?" usul Dimas.

"Iya, bikin deklamasi lagi," timpal Subhan.

"Ah kagak lah. Ntar penonton bosan lihat itu lagi itu lagi," tolak Dzul.

"Trus apa dong?" Beni tidak mau ketinggalan.

Sejenak suasana kelas hening. Hanya suara tik tok tik tok jarum jam dinding terdengar.

"Eh, tunggu. Toro kok nggak kelihatan. Ke mana dia?" tanya Dzul.

Semua saling pandang, tak ada jawaban. Hanya suara tik tok tik tok jarum jam dinding terdengar. 

"Ya sudah. Nggak ada ide nih kayaknya. Kita pulang saja sekarang, besok kita bahas lagi setelah bubar sekolah," kata Singgih dengan suara beratnya. "Jangan lupa ajak Gryzka, Rahma, Ilmi dan teman-teman lainnya, ya!"

***

Bel tanda pulang sekolah berbunyi. Sebagian besar murid-murid SD Negeri Sekongkang berhambur keluar kelas. Di salah satu ruang kelas terlihat beberapa anak yang masih tinggal. Mereka sedang membicarakan sesuatu.

"Terima kasih kawan-kawan sudah mau kumpul di sini," kata Dzul memulai pembicaraan. "Seperti diskusi kemarin, kita perlu ide mau tampilin apa di pentas seni Ramadhan nanti."

"Aku ada ide. Kita bikin band musik. Nanti bawain lagu-lagu islami," usul Subhan.

"Iya, keren tuh," timpal Gryzka. "Siapa yang bisa nyanyi, main gitar, drum dan kibod?"

"Aku bisa nyanyi," jawab Rahma.

"Aku juga vokal. Nanti duet sama Rahma," lanjut Subhan.

"Sama, aku nyanyi," Dimas tak mau ketinggalan.

"Oke oke. Semua kayaknya pengen jadi vokalis. Nah yang drum, kibod, gitar siapa?" tanya Dzul.

Semua saling pandang, tak ada jawaban. Hanya suara tik tok tik tok jarum jam dinding terdengar.

"Maaf, teman-teman. Saya ijin pulang dulu, ada perlu," tiba-tiba Toro yang dari tadi diam, membuka suara.

Toro langsung pergi begitu saja, tanpa menunggu jawaban teman-temannya.

"Eh, Toro. Mau kemana?" tanya Singgih.

Namun Toro tidak mendengar apa kata Singgih. Dia sudah ngacir meninggalkan kelas.

"Wah si Toro aku perhatiin beberapa hari ini suka pulang cepat. Kenapa ya?" tanya Singgih.

"Ya sudah, teman-teman. Kita tunda dulu pertemuan ini. Sebentar lagi maghrib, cari takjil dulu buat buka puasa. Nanti kita lanjutin lagi," kata Ilmi.

"Ada pasar kaget di perempatan desa. Ke sana yuk!" usul Beni.

"Yuk," sahut teman-temannya serempak.

***

Anak- anak SD Negeri Sekongkang itu beriringan menuju perempatan desa. Mereka berjalan sambil ngobrol sana sini. Sesekali terdengar tawa memecah.

"Eh, teman-teman. Lihat tuh," kata Subhan sambil tangannya menunjuk ke satu arahm

"Ada apa?" tanya Rahma. "Itu kayaknya Toro. Ada apa dia di sini ya?" 

Mereka bergegas menuju ke tempat tersebut.

"Hai, Toro. Kok ada di sini?" tanya Dzul.

"Eh, teman-teman. Iya, aku lagi bantu bapak ibuku di sini," jawab Toro.

"Ini angklung kan?" Dimas ganti bertanya.

"Iya, ini angklung," jawab Toro lagi. Dipegangnya salah satu alat musik dari bambu itu, lalu digoyangnya perlahan. Terdengarlah bunyi khas yang enak didengar. 

"Tiap sore aku ke sini, makanya nggak bisa ikut kumpul lama-lama sama kalian di kelas," lanjut Toro. "Ibuku ada si sana, jualan takjil. Aku di sini mencoba jualan angklung-angklung ini. Nanti bapak sebentar lagi menyusul ke sini."

"Wah, bagus banget dong ini," kata Subhan. "Kamu sudah bisa belajar berwirausaha dari kecil. Belajar mandiri."

"Iya, lumayan bisa buat nambah uang beli buku dan jajan," kata Toro sambil tertawa kecil.

Tak lama kemudian datang seorang laki-laki dewasa. Laki-laki itu mengenakan peci hitam, baju lengan pendek berwarna putih dan celana hitam.

"Teman-teman, perkenalkan. Ini bapakku," kata Toro memperkenalkan laki-laki itu.

"Halo, Oom..." sapa mereka.

"Halo semua. Apa kabar?"

"Baik, Oom," jawab mereka.

"Tumben pada ke sini. Ada perlu apa nih?"

"Kami lagi cari takjil buat buka nanti, Oom. Rupanya Toro ada di sini, jadi kami mampir," jawab Ilmi.

"Ooo begitu."

"Teman-teman, aku ada usul. Gimana kalo kita main angklung buat pentas nanti?" tanya Dzul.

"Wah, boleh juga. Usul bagus tuh," jawab Rahma.

"Iya, iya. Aku setuju," timpal Ilmi.

"Ada pentas seni apa ya?" tanya si Oom, bapaknya Toro.

"Gini, Oom. Minggu depan ada pentas seni Ramadhan. Dari kemarin kami bingung mau tampilin apa. Pas hari ini kami lihat angklung- angklung ini, muncul ide buat main angklung aja nanti," kata Dzul.

"Oh, bagus itu. Ini pentas seni sekalian bisa menjaga budaya nasional kita. Kalo perlu bantuan, Oom bisa ajarin main angklung."

"Boleh, Oom."

"Baik, gimana kalo besok malam kalian ke rumah. Abis sholat tarawih ya..."

***

Malam, jam 8. Dzul, Toro, dan teman-teman yang lain sedang berkumpul untuk belajar angklung. Tak ketinggalan Pak Rubi, ayahnya Toro ada di situ.

"Selamat malam, anak-anak."

"Selamat malam, Oom."

"O, ya. Coba Oom hitung dulu berapa yang datang malam ini. Satu, dua... Ada empat belas. Sudah cukup buat kelompok musik angklung. Kalian boleh pinjam angklung-angklung ini," kata Pak Rubi.

Dzul, Toro dan teman-temannya memerhatikan penjelasan Pak Rubi dengan serius.

"Baik, sekarang kita bagi masing-masing alat. Tujuh orang pegang angklung dengan nada rendah. Tujuh lagi yang nada tinggi."

Dzul, Toro dan teman-temannya pun mengambil masing-masing satu angklung.

"Ada yang punya ide mau bawain lagu apa nanti?" tanya Pak Rubi.

"Manuk Dadali aja, Oom. Secara angklung kan asalnya dari Sunda," usul Dimas.

"Lagunya Via Vallen atau Nella Kharisma aja. Lagi ngehits tuh," usul Singgih.

Semua anak mengajukan usul masing-masing. Mulai dari lagu daerah, lagu perjuangan, pop, hingga dangdut.

"Gini aja," kata Pak Rubi. "Kan acaranya dalam rangka bulan Ramadhan. Jadi lebih cocok pilih lagu-lagu islami. Gimana kalo kita pilih lagu islami modern, Oom ada usul Insha Allah lagunya Maher. Setuju?"

"Wah, lagu bagus. Aku setuju," jawab Gryzka.

"Setuju setuju...," timpal yang lain.

Akhirnya lagu Insha Allah yang dipopulerkan oleh Maher Zain terpilih secara musyawarah mufakat. Dengan penuh kesabaran Pak Rubi melatih anak-anak memainkan lagu itu dengan angklung. Dzul, Toro dan teman-temannya begitu antusias dan gembira belajar angklung.

***

Malam pentas seni Ramadhan pun tiba. Halaman sekolah SD Negeri Sekongkang dipenuhi warga. Sebuah panggung sederhana menjadi tempat menampilkan pertunjukan dari warga. Ada yang membaca puisi, bermain rebana, hingga tarian tradisional Indonesia.

Tiba saatnya penampilan dari SD Negeri Sekongkang. Dzul, Toro, Singgih, Subhan, Dimas, Beni, Rahma, Gryzka, Ilmi, dan teman-teman yang lain naik ke panggung. Empat belas anak dengan empat belas angklung ada di tangan mereka.

Mereka mulai memainkan lagu Insha Allah. Dengan lembut dimainkannya bait pertama dan refrein lagu itu. Para penonton dengan khidmat mendengarkan penampilan tersebut. Suara angklung yang khas itu berhasil membuat mereka larut dalam setiap nada indah yang terdengar.

Masuk ke bait kedua, nada dasar dinaikkan satu oktaf yang membuat penonton semakin terpukau. Ketika memasuki refrein, penonton ikut menyanyikan lirik lagu.

"Insha Allah, Insha Allah. Insha Allah ada jalan. Insha Allah, Insha Allah. Insha Allah ada jalan.."

Ketika refrein diulang, penonton semakin bersemangat ikut bernyanyi. Seakan sebuah paduan suara dari penonton, diiringi alunan angklung. Dan begitu penampilan berakhir, tepuk tangan serta sorak-sorai penonton terdengar begitu keras seperti tidak mau berhenti.

Satu per satu para penampil turun dari panggung. Mereka tak menyangka akan menyajikan penampilan yang menarik malam itu. Nampak semuanya tertawa gembira, sambil sesekali meloncat kecil. Mata mereka penuh dengan cahaya sukacita.

"Alhamdulillah, semua berjalan lancar. Semua penonton suka," kata Dzul.

"Alhamdulillah...," sahut teman-teman lainnya.

Dan Ramadhan tahun ini akan selalu diingat oleh mereka. Ramadhan yang penuh sukacita, Ramadhan yang penuh berkah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Fiksi Islami Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun