Pengrajin ini, bekerja membuat kapal  berdasarkan pesanan saja. Dalam satu tahun, paling banyak mereka bisa membuat 3-4 kapal bagan saja. Kata  Zainal, upah membuat kapal lumayanlah untuk menyambung hidup. Bila tak ada pesanan, mereka  mencari nafkah dengan melaut sebagai nelayan , tukang bangunan, berkebun.
Zainal  menghentikan pekerjaanya , ini jam istirahat tengah hari.  Para pekerja pulang , untuk  makan siang ke rumah mereka  yang tak jauh dari  sana.
Mengelo Pukek Di Pasar Bengkulu
Dari kejauhan ,  barisan  prahu-perahu cadik  diayun gelombang. Pak Edison, sekarang sudah jarang melaut. Dilarang istri dan anak-anaknya,  karena  faktor umur. Meski terlihat sehat walafiat,  Oktober  2018  nanti  ia  akan berumur 70 tahun.
Sekarang  bapak 4 anak ini,  mengisi hari-harinya  dengan membuat  atau memperbaiki  pukat/jaring Dalam logat Bengkulu,  pukat disebut pukek
Tangan-tanganya  Pak Edison  terampil  sekali, menyelipkan dan  menarik  Cuban ( jarum jaring)  diantara simpul-simpul senar plastik. Cuba , plastik  runcing dengan kaitan  tempat mengulung  nylon  dapat dibeli ditoko peralatan  pancing  seharga Rp. 7.000.
Sambil  terus bekerja,  ia  bercerita  tentang  kehidupan nelayan  tradisional  yang sulit.  Kapal-kapal Cadik dengan peralatan ala kadarnya , bukan lawan  tanding  kapal besar  dengan pukat harimau.
 Hasil tangkapan  yang  tak seberapa,  biasanya langsung dijual sendiri. Cukup pasang meja, lalu ikan disusun di depan rumah mereka. Bila  tak laku dijual segar, ikan diasinkan.Â
Penghasilan yang kadang bahkan tidak cukup, untuk membeli beras. Karena itu, sekarang banyak anak-anak muda yang  lebih memilih bekerja sebagai kuli bangunan  atau  jadi karyawan  wahana rekreasi.
Â