Nampaknya, ada upaya agar tayangan alay tetap berada di puncak rating. Jangan salahkan saya beropini, televisi menjadi pusat pembudidayaan  budaya  alay. Diharapkan nantinya, tontonan alay ini menjadi standar dalam pergaulan sehari-hari  bangsa Indonesia.
Orang -orang 'pinter' dan berkuasa di stasiun TV, tidak mau membayar biaya lebih untuk memperbanyak jumlah responden. Penambahan jumlah responden, akan memberikan gambaran yang lebih mendekati situasi nyata di lapangan. Kenyataan yang mungkin akan membuat tontonan alay tutup.Tampilan, tidak dinilai dari unsur layak-tidak tapi menghasilkan duit atau tidak. Jangan-jangan rating itu cuma kambing hitam dari kapitalis televisi rakus  menyedot untung dari murahnya biaya produksi tayangan alay.Â
Percuma dong, kita kasak-kusuk soal tayangan yang tidak mendidik. Bila, awalnya perkara yaitu responden rating  tidak pernah jadi target bahasan.
Ingin tayangan yang lebih baik, bukan dengan menganti chanel TV. Tapi 'memaksa' pemerintah  campur tangan. Benahi, alasan apa yang bikin tontonan begitu  bisa nongol di TV***donapalembang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H