Jelang Pemilihan Presiden Amerika Serikat, tensi di kubu Partai Republik dan Demokrat semakin panas. Apalagi posisi Petahana Donald Trump semakin kritis, kubu Demokrat sendiri memanfaatkan isu keterlambatan respon Gedung Putih dalam penanganan pandemi covid19 dan ekonomi AS yang sudah mengalami resesi.
Dari masa ke masa, Pilpres AS memang selalu menyita perhatian. Bukan hanya masyarakat lokal, bahkan seluruh dunia. Â Sebagai Negara Super Power, posisi Presiden Amerika memang sangat menyita perhatian dunia.
Seluruh warga bumi, sangat menantikan siapa Presiden terpilih. Bagaimana tidak, selama mata uang dollar masih menjadi mata uang Dunia, selama perdagangan minyak dunia masih memakai dollar, posisi Presiden Amerika sangat menentukan masa depan dunia.
Tidak heran, isu yang berseliweran mencium adanya campur tangan Rusia dan China dalam pemilihan Presiden AS. Kedua rival AS ini sangat berkepentingan dengan pemilihan presiden  AS dan selalu berusaha agar Presiden AS terpilih, bersahabat dengan mereka, minimal tidak merugikan kepentingan nasional kedua negara tersebut.Â
Di masa rezim Trump saat ini, Rusia sudah merasakan pahitnya dihadiahi sanksi ekonomi, China sudah merasakan bagaimana beratnya tekanan ekonomi ketika diajak bertarung dalam perang dagang.
Tidak terkecuali  Indonesia, negara ini membutuhkan Presiden AS yang bersahabat dan tidak mencampuri kepentingan nasional Indonesia
Pemerintahan Donald Trump
Presiden yang satu ini memang kontroversial. Dia lebih sering kerkicau di Twitter alih-alih berpidato untuk memberitahukan arah kebijakannya. Warga AS dan dunia dipaksa membiasakan diri dengan segala kesablengan Si Rambut Jagung ini. Egois, intimidatif, rasis, bullyers adalah kata yang pas untuk mengambarkan Donald Trump.
Dia tidak segan-segan menekan negara lain apabila dianggap merugikan kepentingan Amerika Serikat. Rusia dikemplang, China dihajar, Iran dilinggis. Sinkron dengan arah kebijakan pemerintahannya yang terkenal dengan jargon "America First", "Make America Great Again".
Trump itu Indonesia Banget
Sesungguhnya, kalau mau jujur, warga +62 familiar  dengan karakter yang dipertontonkan Donal  Trump ini. Warga Indonesia juga sangat nasionalis, malah terkadang berlebihan sehingga memunculkan sikap seperti Trump tadi.
Masih segar di ingatan ketika Singapura, Malaysia dan China bermasalah dengan kita. Sontak jagad medsos langsung dipenuhi kata-kata rasis, bully-an dan keegoisan. Singapura itu negara kecil, berani-beraninya menghina Indonesia, kita kencingi beramai-ramai, tenggelam itu negara( emang air senimu seberapa banyak sih). Nah, kalimat "America First" apa bedanya dengan slogan "NKRI harga mati".
Partai Republik vs Partai Demokrat
Pergaulan antar negara memang seperti itu, kepentingan nasional diatas segalanya, tidak ada yang namanya sahabat sejati, gombal itu. Malah terkadang prinsip musuh dari musuhmu adalah temanku menjadi hal biasa dalam diplomasi antar negara.
Prinsip partai politik di AS memang sangat berbeda dengan partai politik yang ada di Indonesia. Karakter dan ciri khas partai disana sudah mapan, jelas dan tidak mencla-mencle. Partai Republik identik dengan ciri konservatif, ortodoks, nasionalis dan sangat mementingkan kedigdayaan AS, sebaliknya Partai Demokrat identik dengan progresif, liberal, menjunjung tinggi kebebasan demokrasi, perdamaian dan hak azasi.
Tidak heran, Presiden AS yang berasal dari Partai Demokrat akan selalu cerewet dengan isu Hak Azasi, LGBT dan kehidupan demokrasi di seluruh dunia.
Nah, belajar dari sejarah, sejatinya  kepentingan nasional Indonesia lebih terakomodasi apabila jabatan Presiden Amerika dipegang oleh Presiden yang berasal dari Partai Republik. Deretan kebijakan Richard Nixon, Gerald Ford, Ronald Reagan, George HW Bush dan Donald Trump saat ini, memang keras dan intimidatif, tetapi tidak sampai terlalu mencampuri urusan dalam negeri Indonesia.Â
Contohnya sekarang, Freeport diambil alih PT. Inalum,Trump anteng-anteng saja. Begitu juga dengan konflik di Papua, tidak terdengar Trump nyinyir mengurusi masalah hak azasi disana, malah pemerintahan Donald Trump berusaha menggandeng Indonesia dalam perselisihan di Laut China Selatan.
Memang Trump akan bereaksi keras kalau kepentingan AS terganggu. Sebagai contoh kasus, melihat neraca dagang yang minus dengan Indonesia. Pemerintahan AS langsung menawarkan penjualan pesawat tilt rotor MV-22 OSprey dan jet tempur F-16 Viper untuk menyeimbangkan neraca dagang dengan Indonesia.
Berbeda halnya, apabila membicarakan Presiden AS yang berasal dari Partai Demokrat. Sederet sejarah kelam bangsa Indonesia akan tersangkut dengan keterlibatan Presiden AS yang berasal dari Partai Demokrat.Â
Apabila mengulas sejarah kejatuhan Presiden Sekarno yang diawali dengan Pemberontakan PKI, nama John F. Kennedy,Presiden AS yang berasal dari Partai Demokrat, akan selalu disebut. Â Tidak heran, dokumen CIA (yg sudah dipublikasikan) dan sebagian pendapat para ahli sejarah menyimpulkan bahwa pemberontakan G30 S PKI adalah skenario AS menggulingkan Soekarno dengan cara kudeta merangkak.Â
Belum lagi dengan Timor-Timor-sekarang Timor Leste-, diawali tekanan Pemerintahan Jimmy Carter yang menyarankan Indonesia menginvasi Timor-timor dengan harapan pengaruh komunis disana bisa dihempang.
Kemudian diakhiri dengan tekanan Presiden Bill Clinton yang menyarankan Indonesia mengakomodasi keinginan rakyat Timor-Timor melaksanakan jajak pendapat (yang dicurigai penuh dengan rekayasa). Dan hasilnya, kita semua sudah tahu, Indonesia harus angkat kaki dari sana. Sangat pahit, mengingat operasi Seroja mengorbankan ratusan tentara Indonesia yang gugur disana.
Belum lagi bicara kejatuhan Soeharto, IMF badan donor bentukan Amerika Serikat, dengan cerdik membuat Soeharto harus meminta pertolongan dengan syarat-syarat yang sangat memberatkan ekonomi Indonesia. Â Soeharto yang terkenal sangat kuat dan otoriter, jatuh tidak berdaya dihadapan Direktur IMF saat itu, Michel Camdessus.
Bagaimana dengan Barack Obama?Presiden yang satu ini kasusnya berbeda. Meskipun berasal dari Partai Demokrat, Â memori dan kenangan Obama semasa tinggal di Indonesia, menjadi modal berharga bagi SBY dan jajarannya dalam melakukan pendekatan terhadap beliau. Di masa pemerintahan beliau, AS lebih toleran terhadap isu hak azasi dan demokrasi.
Kesimpulannya, meskipun Donald Trump terlihat buruk dengan segala karakternya, tetapi kebijakan beliau tidak sampai mengganggu kepentingan nasional Indonesia. Seburuk-buruknya Donald Trump, lebih baik dari Joe Biden, calon Presiden Partai Demokrat.Â
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H