A: Bedalah. Itu kan zaman dulu. Kalau sekarang, Yesus tentu memakai sepatu.
B: Kok tahu? Bagaimana bisa yakin bahwa Yesus akan menjelma sebagai orang Jakarta, dan bukan orang di hutan Mentawai yang tidak bersepatu dan hanya memakai cawat?
A: Pokoknya anggap saja Yesus menjadi orang Jakarta.
B: Bagaimana kalau Yesus tidak punya uang untuk beli sepatu? Masih banyak orang Jakarta yang susah untuk beli sepatu, lho.
A: Intinya begini. Kalau ke gereja, orang Kristen harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Kalau kamu ke Jakarta, sesuaikan diri; pakailah pakaian Jakarta. Sesuaikan diri dengan mayoritas.
B: Kamu serius dengan pendapat itu?
A : Tentu saja serius.
B : Kalau demikian, kalau kita diajak ke Papua yg umatnya masih pakai koteka, kita harus menyesuaikan diri dengan mereka ?
A : Ah, ada2 saja. Mereka kan masih terbelakang.
B : Mungkin ada baiknya kita tidak menyombongkan diri.
Cerita imajiner di atas berlanjut dalam realitas ketika banyak orang kerap berlaku seperti si A. Buat mereka, apapun ceritanya, pokoknya pakai sepatu itu pantas untuk Tuhan.Â
Kerap lupa bahwa pantas itu relatif. Konon pula tidak seorang pun yang pantas, selain dipantaskan saja. Santo Fransiskus Asisi membuang pakaian mewah dan sepatunya dan memakai pakaian rombeng dan sandal dengan mula-mula telanjang kaki. Juga waktu dia bertemu dengan paus.Â
Para sufi juga tidak kurang yang menemukan misteri illahi dalam kasunyatan, yang sulit dipahami kaum awam seperti saya, jauh lebih sulit daripada memahami Kahlil Gibran yang mencoba menggambarkannya.
Gandhi juga membuang jas dan pakaian ala baratnya, memakai sehelai kain tenun India plus sandal. Presiden Vietnam, Ho Chi Min, hanya memakai sandal jepit ketika datang ke Istana Merdeka bertemu Soekarno. Mereka tidak dianggap menghina, malah dipuji-puji karena berani mewakili rakyat miskin.
Paling banter, dialog nyata akan semakin jelas menunjukkan dua kelompok besar. Pertama, mereka yang tidak bisa menerima keragaman status sosial dan meletakkan kemakmuran dan keberkahan sebagai parameter ber-tuhan tidaknya seseorang. Kedua, selain dari yang pertam itu.
Jika keduanya bertemu dalam dialog dan masih bisa bersikap arif, maka niscaya akan sampai pada logika sederhana:Â
Kita hanya perlu membiarkan orang lain dengan kesukaannya. Ada yang suka lain? Banyak pria memakai sepatu, tapi bercelana pendek kalau ke gereja. Mana yang lebih pantas ya, bercelana pendek, atau memakai sandal?
Buat saya pribadi, semakin sedikit gereja mengurus tata cara duniawi, akan semakin sedikit kesalahan yg dilakukannya. Dan kalau kita ingin berpihak pada orang miskin seperti diminta Bapa Suci, akan lebih baik kalau kita menyesuaikan diri dengan mereka. Semoga ada kesesuaian pendapat di antara kita.