Tuhan pada Yuyun
Teologi konon adalah ngomong (logos) tentang sang tuhan (teos). Sejak manusia merasakan ada Tuhan yang menakjubkan sekaligus menggetarkan mereka (fascinosum et tremendum) itu, sejak itu pula tak terhitung banyaknya omongan yang lalu diomongkan kembali, sebagian ditulis ulang, sebagian diulang-ulang saja oleh penulis yang berbeda. Entah dengan laklak ataupun papyrus Biblos, atau coretan di gua tua yang basah dan gelap bertemankan obor mengukir di batu yang keras. Terkumpul sepanjang sejarah peradaban manusia. Kemungkinan jumlah lembarnya lebih banyak dari total populasi jiwa yang pernah menghirup oksigen di jagat ini.
Demikianlah ia menjadi buku besar teologi.Â
Di tangan para rabbi ia menjadi shibbolet bagi mereka yang pantas "duduk di bawah pohon ara" dan "mana yang akan dilempar ke dalam api yang menyala-nyala". Para rahib dan arahat mencoba menjadikannya tuntutan bagi setiap pengikut yang konon ingin menemukan diri dalam pencerahan budhi (bodhi). Kitab itu juga diyakini bisa membimbing manusia menyadari kesatuan athman dan brahma. Belakangan ia dipeluk dan dijadikan bantal empuk yang nyaman sebagai bacaan sebelum tidur oleh para Kristen yang merasa diri mesti menjadi orang saleh. Tak kurang pula ia dijadikan tuntutan hidup bahkan sains oleh teman-teman Muslim yang merindukan turunnya hidayah pada setiap ibadah sholatnya.
Dan masih ada ribuan lagi golongan orang yang mencoba memposisikan diri terhadap Tuhan, si tremendum et fascinosum itu.
Kini tahun 2016 orang semakin kritis. Di zaman dimana pluralisme kini semakin diterima dan di-aku-i sebagai bagian dari gaya hidup, maka tidak mustahil bahwa seorang ateis, agnostik dan orang beragama bisa bercengkerama bersama. Entah itu ketika berbicara tentang sains, ngulik-ngulik remah-remah coretan tentang sejarah komunis yang kabur atau dikaburkan, atau bahkan tentang pantat biduan yang memang terlalu montok untuk tidak mendapat perhatian. Entah itu ketika menemukan diri sebagai bagian dari solidaritas besar dengan lilin di tangan dan memegang poster bertuliskan dukungan penuh cinta terhadap dik Yuyun, ataupun ketika saling beringas menunjukkan taringnya dalam debat dan dialog yang seakan tiada henti-hentinya selama ada secangkir kopi dan sekarung kuota internet.
Satu post scriptum disematkan pada setiap buku dan tulisan teologi yang mencoba menjelaskan siapa itu Tuhan dan apa karakteristiknya:
Teologi itu buatan manusia, gambaran tentang Tuhan yang sejatinya adalah cerminan atau proyeksi manusia atas diri dan masyarakatnya.Â
Saya tidak akan membahas tentang Yuyun, hukuman mati atau seumur hidup terhadap pelaku pemerkosaan atas Yuyun, KPAI, ataupun teori-teori tentang pemajuan-perlindungan-penegakan HAM yang setiap waktu siap untuk meramaikan lini masa setiap kali insiden 'kecil' di daerah terpencil yang mendekatkan setiap orang dengan Yuyun. Setiap tahun ada ribuan sarjana Hukum yang siap menjadi pengamat dan memberikan annotasi mereka terhadap kasus serupa, entah itu dalam dagelan pengacara-hakim-terdakwa, atau memang benar mengadili dan memberikan diri pada keadilan publik yang beradab.
Pakailah Sandal Kalau Bertemu Tuhan
A: Masak kamu tidak menghargai rumah Tuhan, memakai sandal ke gereja.
B: Tuhan Yesus sendiri kemana-mana selalu memakai sandal. Saya cuma meniru Yesus. Apakah dia tidak boleh masuk ke gereja ini?
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!