Mohon tunggu...
Donald Haromunthe
Donald Haromunthe Mohon Tunggu... Guru - Guru Seni Budaya di SMA Budi Mulia Pematangsiantar

Saya juga menulis di donald.haromunthe.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tentang Tuhan pada Yuyun: Teologi Keju dan Nasi Aking

11 Mei 2016   18:44 Diperbarui: 11 Mei 2016   19:26 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tuhan pada Yuyun

Teologi konon adalah ngomong (logos) tentang sang tuhan (teos). Sejak manusia merasakan ada Tuhan yang menakjubkan sekaligus menggetarkan mereka (fascinosum et tremendum) itu, sejak itu pula tak terhitung banyaknya omongan yang lalu diomongkan kembali, sebagian ditulis ulang, sebagian diulang-ulang saja oleh penulis yang berbeda. Entah dengan laklak ataupun papyrus Biblos, atau coretan di gua tua yang basah dan gelap bertemankan obor mengukir di batu yang keras. Terkumpul sepanjang sejarah peradaban manusia. Kemungkinan jumlah lembarnya lebih banyak dari total populasi jiwa yang pernah menghirup oksigen di jagat ini.

Demikianlah ia menjadi buku besar teologi. 

Di tangan para rabbi ia menjadi shibbolet bagi mereka yang pantas "duduk di bawah pohon ara" dan "mana yang akan dilempar ke dalam api yang menyala-nyala". Para rahib dan arahat mencoba menjadikannya tuntutan bagi setiap pengikut yang konon ingin menemukan diri dalam pencerahan budhi (bodhi). Kitab itu juga diyakini bisa membimbing manusia menyadari kesatuan athman dan brahma. Belakangan ia dipeluk dan dijadikan bantal empuk yang nyaman sebagai bacaan sebelum tidur oleh para Kristen yang merasa diri mesti menjadi orang saleh. Tak kurang pula ia dijadikan tuntutan hidup bahkan sains oleh teman-teman Muslim yang merindukan turunnya hidayah pada setiap ibadah sholatnya.

Dan masih ada ribuan lagi golongan orang yang mencoba memposisikan diri terhadap Tuhan, si tremendum et fascinosum itu.

Kini tahun 2016 orang semakin kritis. Di zaman dimana pluralisme kini semakin diterima dan di-aku-i sebagai bagian dari gaya hidup, maka tidak mustahil bahwa seorang ateis, agnostik dan orang beragama bisa bercengkerama bersama. Entah itu ketika berbicara tentang sains, ngulik-ngulik remah-remah coretan tentang sejarah komunis yang kabur atau dikaburkan, atau bahkan tentang pantat biduan yang memang terlalu montok untuk tidak mendapat perhatian. Entah itu ketika menemukan diri sebagai bagian dari solidaritas besar dengan lilin di tangan dan memegang poster bertuliskan dukungan penuh cinta terhadap dik Yuyun, ataupun ketika saling beringas menunjukkan taringnya dalam debat dan dialog yang seakan tiada henti-hentinya selama ada secangkir kopi dan sekarung kuota internet.

Satu post scriptum disematkan pada setiap buku dan tulisan teologi yang mencoba menjelaskan siapa itu Tuhan dan apa karakteristiknya:

Teologi itu buatan manusia, gambaran tentang Tuhan yang sejatinya adalah cerminan atau proyeksi manusia atas diri dan masyarakatnya. 

Saya tidak akan membahas tentang Yuyun, hukuman mati atau seumur hidup terhadap pelaku pemerkosaan atas Yuyun, KPAI, ataupun teori-teori tentang pemajuan-perlindungan-penegakan HAM yang setiap waktu siap untuk meramaikan lini masa setiap kali insiden 'kecil' di daerah terpencil yang mendekatkan setiap orang dengan Yuyun. Setiap tahun ada ribuan sarjana Hukum yang siap menjadi pengamat dan memberikan annotasi mereka terhadap kasus serupa, entah itu dalam dagelan pengacara-hakim-terdakwa, atau memang benar mengadili dan memberikan diri pada keadilan publik yang beradab.

Pakailah Sandal Kalau Bertemu Tuhan

A: Masak kamu tidak menghargai rumah Tuhan, memakai sandal ke gereja.
B: Tuhan Yesus sendiri kemana-mana selalu memakai sandal. Saya cuma meniru Yesus. Apakah dia tidak boleh masuk ke gereja ini?

A: Bedalah. Itu kan zaman dulu. Kalau sekarang, Yesus tentu memakai sepatu.
B: Kok tahu? Bagaimana bisa yakin bahwa Yesus akan menjelma sebagai orang Jakarta, dan bukan orang di hutan Mentawai yang tidak bersepatu dan hanya memakai cawat?

A: Pokoknya anggap saja Yesus menjadi orang Jakarta.
B: Bagaimana kalau Yesus tidak punya uang untuk beli sepatu? Masih banyak orang Jakarta yang susah untuk beli sepatu, lho.

A: Intinya begini. Kalau ke gereja, orang Kristen harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Kalau kamu ke Jakarta, sesuaikan diri; pakailah pakaian Jakarta. Sesuaikan diri dengan mayoritas.
B: Kamu serius dengan pendapat itu?
A : Tentu saja serius.
B : Kalau demikian, kalau kita diajak ke Papua yg umatnya masih pakai koteka, kita harus menyesuaikan diri dengan mereka ?

A : Ah, ada2 saja. Mereka kan masih terbelakang.
B : Mungkin ada baiknya kita tidak menyombongkan diri.

Cerita imajiner di atas berlanjut dalam realitas ketika banyak orang kerap berlaku seperti si A. Buat mereka, apapun ceritanya, pokoknya pakai sepatu itu pantas untuk Tuhan. 


Kerap lupa bahwa pantas itu relatif. Konon pula tidak seorang pun yang pantas, selain dipantaskan saja. Santo Fransiskus Asisi membuang pakaian mewah dan sepatunya dan memakai pakaian rombeng dan sandal dengan mula-mula telanjang kaki. Juga waktu dia bertemu dengan paus. 

Para sufi juga tidak kurang yang menemukan misteri illahi dalam kasunyatan, yang sulit dipahami kaum awam seperti saya, jauh lebih sulit daripada memahami Kahlil Gibran yang mencoba menggambarkannya.

Gandhi juga membuang jas dan pakaian ala baratnya, memakai sehelai kain tenun India plus sandal. Presiden Vietnam, Ho Chi Min, hanya memakai sandal jepit ketika datang ke Istana Merdeka bertemu Soekarno. Mereka tidak dianggap menghina, malah dipuji-puji karena berani mewakili rakyat miskin.

Paling banter, dialog nyata akan semakin jelas menunjukkan dua kelompok besar. Pertama, mereka yang tidak bisa menerima keragaman status sosial dan meletakkan kemakmuran dan keberkahan sebagai parameter ber-tuhan tidaknya seseorang. Kedua, selain dari yang pertam itu.

Jika keduanya bertemu dalam dialog dan masih bisa bersikap arif, maka niscaya akan sampai pada logika sederhana: 

Kita hanya perlu membiarkan orang lain dengan kesukaannya. Ada yang suka lain? Banyak pria memakai sepatu, tapi bercelana pendek kalau ke gereja. Mana yang lebih pantas ya, bercelana pendek, atau memakai sandal?

Buat saya pribadi, semakin sedikit gereja mengurus tata cara duniawi, akan semakin sedikit kesalahan yg dilakukannya. Dan kalau kita ingin berpihak pada orang miskin seperti diminta Bapa Suci, akan lebih baik kalau kita menyesuaikan diri dengan mereka. Semoga ada kesesuaian pendapat di antara kita.

Lega rasanya menemukan tulisan dengan karakter yang bagi saya mestinya diminati, ditulis dan dibaca oleh semakin banyak orang Katolik, atau bahkan agnostik dan ateis sekalipun. Seperti menemukan oase di tengah gaharnya perang proxy dan hate speech baik yang tampil tegas maupun malu-malu, yang membuat orang jengah membaca koran atau menyebarkan berita sebab jerat hoax memang seperti lingkaran setan. (Hoax punya lingkaran yang bisa panjang, bisa pendek. Kerap bahkan si penebar hoax meyakini hoax yang dia tebarkan sendiri hanya karena si penutur kesekian kali menggayakan bahasanya secara berbeda dan meyakinkan. Tidak selalu jelas siapa korban dan siapa banditnya.)

Keju dan Nasi Aking

Menggambarkan seperti apa Tuhan itu ternyata tidak harus menimbulkan gaduh (yang kerap membuat orang beragama mendapat diskredit dari ateis maupun agnostik). Jika orang cukup berani menyebut bahwa BENAR cermin dari dirinya atau proyeksi masyarakat dan kelompoknya-lah yang membuatnya memahami Tuhan sebagai Maha Pemurah pemberi keju atau Maha Pemurah pencipta nasi aking. Kita tidak pernah akan benar-benar tahu apakah keju dan nasi aking itu memang diberikan oleh tuhan yang sama.

Rich and blessed

Sumber: nujofiles.wordpress.com
Sumber: nujofiles.wordpress.com
Poor and blessed

Karenanya, akan sangat fair jika masing-masing terbuka dengan kemungkinan bahwa Tuhan yang mereka yakini dan percayai bisa saja saling tertukarkan, atau malah tidak ada.

Sama seperti diminta oleh Bapa Suci Paus, Rinpoche, presiden yang mulia, tukang bakso yang baik, ataupun sintua saleh di kampung saya, akan lebih baik kalau kita menyesuaikan diri dengan mereka yang kecil. Iya. Rakyat kecil yang rentan mengalami apa yang terjadi pada Yuyun ataupun yang baru bisa makan nasi aking, tiada uang untuk pergi ke Jakarta dan melobi para wakil rakyat disana.

Dimulai dari mencoba memahami bagaimana Tuhan bisa sama-sama hadir lewat nasi aking dan keju, baik dengan lagu-lagu hillsong dan irama qasidah maupun dengan teriak keras teologi pembebasan dan asap senapan Che Guavara.

Semoga ada kesesuaian pendapat di antara kita.

Disadur seperlunya dari blog pribadi saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun