"Anak tak tahu diri, masa orang tua ditempatkan tinggal di panti jompo?"
Pernyataan itu terlontar dari mulut salah seorang rekan, setelah mendengar rencana seorang rekan lain di gereja yang hendak memondokkan orang tuanya di sebuah panti werda atau panti jompo.
Pernyataan seperti ini bukan hal yang baru. Bisa dimaklumi itu sebuah pernyataan khas dalam konteks budaya kita, budaya Timur yang belum terbiasa menempatkan orang tua menghabiskan masa tuanya tinggal di panti werda.
Banyak yang merasa tabu dan tak pantas melakukannya. Ada juga yang secara diam-diam melakukannya, tak ingin diketahui orang lain selain keluarga karena merasa malu. Ya, malu dianggap anak yang tak tahu balas budi pada orang tua.
Apakah harus demikian? Sebegitu tabukah keberadaan panti werda? Atau, jangan-jangan dengan banyaknya panti werda yang dapat dijumpai saat ini, menandai keberadaannya sebagai pilihan tepat bagi para lansia menjalani hari tua?
Menjawab pertanyaan ini mungkin bisa dilakukan dengan melihat dari sisi yang berbeda yaitu dari pengalaman para lansia yang tinggal di panti werda. Menengok pengalaman dan manfaat yang dirasakan mereka saat tinggal di panti werda.
Beberapa tahun lalu saya berkesempatan mengunjungi sebuah panti werda di derah Lembang, Bandung, Jawa Barat, bernama Yayasan Rumah Orang Tua Tuna Netra Ebenhaezer.
Kisah kegiatan saya di panti werda itu sempat saya ceritakan di artikel Kompasiana saya, ditayang tanggal 24/11/2023, berjudul, "Lagu Als U In Nood Verkeert dalam Kisah Oma Sumiatun dan Puisinya." Jangan lupa dikujungi ya, hehe.
Apa yang ditemukan saat kunjungan itu selain oma Sumiatun dengan kisahnya, tentu kisahan para lansia soal bagaimana pengalaman mereka tinggal di panti werda, dan informasi yang didapat dari pengurus panti werda.
Beberapa kisah bisa dikisahkan seperti berikut.