"Sabar ... sabar saja pak Jojon! Anggaplah masalah itu penderitaan atau salib yang harus bapak pikul. Jangan lupa, sabar ya! Tuhan pasti akan menolong."
Tak henti-hentinya nasihat pak pendeta menguasai ruang kepala Jojon. Meski tahu  bahwa masalahnya tak langsung angkat kaki pergi menghilang setelah terima nasihat itu. Namun malam itu ketika langkah kaki Jojon di ayun menjauhi pekarangan rumah pak pendeta, saat sinar bulan purnama, jalan berbatu krikil kecil, berteman pohon-pohon Mahoni di sisi kiri dan kanan jalan, jadi saksi Jojon membatin berulang-ulang kali, sesekali disertai suara setengah berbisik terdengar ...
"Saya mesti begitu! ... Saya mesti begitu! ... Saya mesti begitu!"
***
Saminggu sudah waktu berlalu sejak malam bertamu ke rumah pak pendeta. Berulang kali sudah Jojon mencoba menahan emosi yang hampir meledak, sabar menghadapi istrinya, Jujun, yang saban hari macam anjing gila, tak berhenti marah-marah. Apalagi kalau sudah berstyle tolak pinggang. Mata melotot. Mulut menganga lebar seperti ikan kerapuh lapar. Lalu ngomel tak b'renti-b'renti, tak ubahnya suara gemuruh guntur berulang kali berupaya mengalahkan cepatnya lari sang kilat.
Namun kali ini ada yang tak biasa dengan Jojon. Hampir setiap kali Jujun marah-marah, Jojon berusaha tenang. Menyambut dengan sikap dingin, sambil bernyanyi. Berulang kali Jujun marah, berulang kali pula Jojon menanggapi dengan menyanyikan lagu yang sama, semacam anak play group yang asyik belajar manyanyikan sebuah lagu baru.
"Papa kenapa? Sedikit-sedikit nyanyi ... sedikit-sedikit nyanyi! Macam suara bagus ajah. Udah pa! Pusing dengarnya, nanti ...
"Nanti apa?! ... Mama 'tu yang kenapa?! ... Marah-marah yang nggak karuan saban hari. Macam ...." Jojon menyahut dengan suara menggelegar, segelegar-gelegarnya. Hilang kesabarannya.
Tiba-tiba seperti suara ombak air laut menarik diri mundur kembali ke laut, sehabis pecah berantakkan pada dinding batu karang tepi pantai, suara Jojon terdengar surut. Sejenak diam. Lalu tiba-tiba dengan setengah suara kembali terdengar ....
"Pikullah salibmu serta pandang tetap, hingga dapatlah mahkota suka senang!" Jojon kembali bernyanyi, setelah tiba-tiba ia teringat nasihat pak Pendeta tempo malam itu.
"Kamu ini sudah gila ya pa? Ya Tuhan ... memang kamu sudah sinting pa! Sebentar-sebentar nyanyi pikul salib ... pikul salib! Papa kira aku ini prajurit Romawi yang mau salibkan papa ya?!" Jujun murka, semurka-murkanya.
Namun Jojon dengan tenang kembali mengangkat suaranya yang tak terlalu bagus rupanya itu, kembali bernyanyi ...
"Pikullah salibmu serta pandang tetap, hingga dapatlah mahkota suka senang!"
***
"Pak pandeta, tolong bicara dan nasihati suami saya Jojon!" Jujun mengatur rapi, manis tuturnya dua hari lewat setelah kejadian suara guntur berjuang kalahkan laju lari sang kilat , saat berkunjung di rumah pak pendeta.
"Ada apa lagi dengan pak Jojon, bu Jujun?"
"Bapak pendeta, sudah beberapa waktu ini suami saya Jojon seperti orang aneh. Tiap kali saya marah dia suka balas dengan menyanyikan lagu pikullah salib, berulang kali begitu! Saya jadi takut kalau ...."
"Takut apa bu Jujun?" pak pandeta menyambar, secepat kilat.
"Saya takut jangan-jangan Jojon suami saya itu sudah gila, pak pendeta!"
Dengan senyum penuh sewajahnya, ingat kejadian malam Jojon datang mengadukan kelakuan tak bagus istrinya, suka marah-marah yang tak b'renti-b'renti dari mulai matahari nongol sampai kembali kabur, di rumah. Pak pendeta lalu mengurai,
"Oh ... begitu! Tenang saja bu Jujun, ibu tak perlu takut! Pak Jojon tidak sedang aneh apalagi gila, beliau sedang dalam proses belajar sekaligus mengajar itu ...
"Belajar, mengajar, apa maksudnya pak Pendeta?" Jujun menyelah dengan wajah bingung.
"Maksudnya, pak Jojon sedang belajar jadi orang ya sabar! Sekalian beliau sedang mengajar ibu Jujun supaya jadi istri yang baik, ramah, tak suka marah-marah!" tanggap pendeta dengan slow.
Seketika Jujun terpaku. Wajahnya ditekuk malu, persis wajah kucing British Shorthair, si jenis terkenal berbulu panjang itu, yang tak sengaja basah kuyub terkena siraman air bekas cucian piring kotor.
Melihat Jujun yang malu-malu kucing itu, pak pendeta berusaha menahan pecah tawanya ... sesekali ia teringat wajah muram, sedih Jojon malam itu, kala memohon nasihatnya bagaimana hadapi sang istri. Lalu di hatinya membatin ...
"Luar biasa pak Jojon. Ia tak hanya menerima dan menghayati nasihat itu dengan baik, namun juga kreatif membumikannya."
Selesai![]
***
Pesan moral cerita: Ada banyak "Jujun-Jujun" yang sedang menantikan "Jojon-Jojon" yang kreatif, membumi! Haha.
Cihanjuang, 08'05'2024.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H