Suamiku sangat dikenal di gereja kami. Bukan hanya karena ia seorang majelis jemaat atau pengurus di gereja. Namun juga karena ia seorang yang dikenal ramah, baik hati, dan suka peduli dengan jemaat yang sedang mengalami kesusahan hidup.
Sering sambutannya yang ramah tiap hari minggu di gereja, menolong jemaat seperti merasakan kentalnya suasana surgawi, yang lalu mendorong mereka penuh sukacita terus rindu dan ingin kembali ke rumah Tuhan saat jauh.
Â
"Oh, rupanya bersama Ben dan Nia. Mari, silahkan masuk!" sambil matanya tertuju pada semua barang bawaan kami. Tiga koper tas pakaian berukuran besar dan beberapa perlengkapan tidur, seperti tikar dan bantal.
"Silahkan duduk!" tawarnya.
"Terimakasih bu." sahutku.
Berada dalam ruang tamu rumah ini, seperti membantu menata hatiku yang sedang kalud untuk sesaat merasa tenang dan damai.
Mungkin suasana ruangan inilah sebabnya, banyak jemaat suka ke rumah ini demi berkeluh kesah soal gumulan hidupnya, sembari minta didoakan sebelum kembali pulang.
Apalah artinya dibanding rumahku. Rumah dengan semua yang ada didalamnya lebih dari cukup menjadikan hidup terasa nyaman. Namun seperti kata para berhikmat, semua itu tak kuasa menjamin bahagia hidup.
Benar saja! Hatiku kini justru terasa sesak, seakan hendak meledak. Mengingat perlakuan seorang suami, sekaligus ayah pada istri dan kedua anaknya beberapa waktu terakhir ini di rumah itu!
"Mengapa tak bersama pak Joni, bu? Ngomong-ngomong hendak berlibur kemana sore ini dengan semua bawaan itu?" pertanyaan bagus, aku menunggunya sejak tadi.