Mohon tunggu...
Dominikus Waruwu
Dominikus Waruwu Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Saya suka menghabiskan waktu luang dengan membaca buku, menonton film, berolahraga, menulis dan belajar musik. Saya ingin membuat hari-hari saya terisi dengan berbagai aktivitas yang bermanfaat dan menyenangkan supaya hidup menjadi maksimal.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sakramen Perkawinan dalam Gereja Katolik

1 Juni 2024   14:07 Diperbarui: 7 Juni 2024   10:56 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suami dan istri mempunyai kewajiban yang sama dalam menumbuh-kembangkan anak-anak mereka, baik fisik maupun spiritual. Kedua orangtua memberikan teladan yang maksimal dalam menghayati keimanannya. Dengan demikian, dalam masa pertumbuhannya, anak akan meniru contoh beriman yang mereka alami dan lihat dalam keluarga terutama dari ayah dan ibu mereka.

 

Ciri-ciri Hakiki Sakramen Perkawinan

 

  • Unitas (Kesatuan seumur hidup, monogami)

 Perkawinan monogami adalah bentuk perkawinan yang diadakan antara satu pria dengan satu wanita. Dalam pemahaman Gereja Katolik, perkawinan ini mensyarakatkan pemberian cinta yang utuh dan tak terbagi secara timbal balik bagi bagi suami-istri. Selain itu, perkawinan ini mencerminkan prinsip kesetaraan martabat antara pria dan wanita (bdk. Kej 1:26-30, 2:18-25). Gereja menolak perkawinan poliandri (satu perempuan dengan dua atau lebih laki-laki) atau poligami (satu laki-laki dengan dua atau lebih perempuan, baik secara hukum maupun moral.[10] Yesus menegaskan sifat unitas perkawinan ini dalam percakapan dengan orang-orang yang mencobai Dia: “Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan istrimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian (Mat 19:8).

 

  • Indissolubilitas (sifat tak dapat diputuskan atau terceraikan)

Gereja Katolik tidak mengenal kata cerai bagi pasangan yang telah melakukan sakramen perkawinan yang sah - tanpa halangan. Dalam janji perkawinan, mempelai berjanji: ".... Saya berjanji untuk setia mencintai dan mengabdikan diri kepadamu, dalam untung dan malang, diwaktu sahat dan sakit. Saya mau mengasihi dan menghormati engkau sepangjang hidup saya".[11] Dengannya, perkawinan suami-istri yang telah diangkat pada martabat sakramen bercirikan kesetiaan seumur hidup. Sebagaiman cinta kasih Allah kepada umat-Nya adalah kekal abadi, demikian juga hendaknya cinta kasih antara suami-istri. Sifat tak terceraikan diri mengadung makna yang sangat dalam yaitu perjuangan unutk memupuk kesetiaan terhadap pasangan dalam semua aspek kehidupan (Bdk. Mat 5:31-32; 19:1-12, Mrk 10:6-9).  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun