5. Penulis Kitab Wahyu menggambarkan kota yang kudus, Yerusalem yang baru, turun dari surga, dari Allah, yang berhias bagaikan pengantin perempuan yang berdandan untuk suaminya (Why 21:2).
6. Kitab Wahyu menggambarkan seorang malaikat berkata: “Marilah ke sini, aku akan menunjukkan kepadamu pengantin perempuan mempelai Anak Domba (Why 21:9).
Tujuan dari Sakramen Perkawinan dalam Gereja Katolik:
Kebaikan Suami-istri (bonum coniugum)
Seringkali pasangan-pasangan suami-istri umat Katolik tidak sungguh memahami tujuan dari perkawinan mereka. Dalam kebaikan, tidak selalu yang dialami adalah kenyamanan, kesejahteraan dan kebahagiaan. Dalam Kitab Suci, dasar dari perkawinan yaitu kebaikan setiap pribadi karena tidak baik kalau manusia tinggal seorang diri saja (Bkd. Kej 2:18). Orang yang menerima sakramen diberi tanggungjawab untuk mengusahakan kebaikan pasangannya. Dengan tepat para Bapa Sinode menyatakan, bahwa norma moral bagi ontentiknya hubungan suami-istri terletak pada pengembangan martabat serta panggilan masing-masing pribadi, yang mencapai kepenuhan mereka melalui penyerahan diri yang setulus-tulusnya.
Sakramen Perkawinan tidak dimaksudkan untuk kepentingan suami saja atau istri saja. Masing-masing dari pasangan tidak hanya mementingkan ego pribadi. Ia tidak dapat memandang pasangannya sebagai objek pemuas nafsu, budak, musuh dan saingan. Paus Fransiskus menentang cara pandang yang salah tersebut dengan mengatakan, “Dalam kehidupan keluarga, tidak dapat berlaku logika saling menguasai dan saling berlomba untuk melihat siapa yang paling pintar atau yang paling berkuasa, karena logika semacam itu meniadakan kasih” (AL 98).[7] Hal yang mesti selalu diusahakan oleh suami-istri setelah menerima sakramen perkawinan adalah kebaikan pasangannya.
Keterbukaan pada kelahiran anak (bonum prolis)
Setiap pasangan yang melangsungkan perkawinan secara Katolik harus berjanji untuk terbuka pada kelahiran anak. Mereka tidak boleh melakukan aborsi terhadap janin yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada mereka. Bagi Gereja, tindakan aborsi adalah penolakan terhadap kehidupan dan kelahiran anak. Oleh sebab itu, penolakan terhadap kelahiran anak menjadi unsur hakiki yang menyebabkan perkawinan tidak sah.
Pendidikan anak (bonum educationis) secara Katolik.