Mohon tunggu...
Dominikus Waruwu
Dominikus Waruwu Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Saya suka menghabiskan waktu luang dengan membaca buku, menonton film, berolahraga, menulis dan belajar musik. Saya ingin membuat hari-hari saya terisi dengan berbagai aktivitas yang bermanfaat dan menyenangkan supaya hidup menjadi maksimal.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sakramen Perkawinan dalam Gereja Katolik

1 Juni 2024   14:07 Diperbarui: 7 Juni 2024   10:56 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi (7 Juni 2024).

Pengantar

Sakramen perkawinan merupakan salah satu dari tujuh sakramen dalam Gereja Katolik: Sakramen Baptis, Sakramen Tobat, Sakramen Ekaristi, Sakramen Krisma, Sakramen Imamat, dan Sakramen Pengurapan Orang Sakit. Pada hakekatnya, sakramen-sakramen dimaksudkan untuk menguduskan manusia, membangun Tubuh Kristus, dan akhirnya mempersembahkan ibadat kepada Allah. Seperti sakramen-sakramen yang lain, Sakramen Perkawinan menjadi sarana yang dengannya rahmat yang dari Allah dinyatakan melalui tanda yang diterimakan, yang membantu penerimanya berkembang dalam kekudusan.

Pembahasan

            Gereja Katolik telah membuat pengertian hakikat dan tujuan perkawinan, sebagaimana tertulis dalam Kitab Hukum Kanonik: “Perjanjian (feodus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen”.

Melalui perjanjian perkawinan, suami-istri membentuk dan memasuki sebuah lembaga yang yang memberikan tempat kepada mereka untuk hidup sebagai pasangan yang sah seturut tata hidup sosial atau masyarakat luas. Gereja juga menunjukkan implikasi pernjanjian pribadi yaitu kesejahteraan suami-istri dan sosial yaitu keterbukaan pada kelahiran dan bertanggungjawab pada pendidikan anak. Hal yang lebih penting bagi Gereja adalah penekanan pada perkawinan itu bukan hanya fakta manusiawi dan sosial, tetapi lebih dari itu perkawinan adalah kenyataan religius.

Maurice Eminyan dalam bukunya yang berjudul Teologi Keluarga menegaskan kembali pernyataan Paus Yohanes Paulus II terkait martabat perkawinan, “Seksualitas yang bagi pria maupun wanita merupakan upaya untuk saling menyerahkan diri melalui tindakan yang khas dan eksklusif bagi suami-istri, sama sekali tidak melului bersifat biologis melainkan menyangkut kenyataan pribadi manusia yang paling inti. Seksualitas hanya diwujudkan secara sungguh manusiawi, bila merupakan suatu unsur integral dalam cinta kasih, yang bila pria dan wanita saling menyerahkan diri sepenuhnya seumur hidup.”

 Gereja Katolik meyakini dan mengajarkan bahwa Allah sendiri yang menciptakan lembaga perkawinan dan Ia sendiri yang menentukan unsur-unsur dan sifat hakiki perkawinan itu. Tuhan yang menghendaki perkawinan sehingga perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita yang sama-sama dibaptis adalah perkawinan sakramental. Setelah dilahirkan kembali melalui pembaptisan dan dipersatukan dengan Kristus, bagi mereka perkawinan menjadi tanda nyata kehadiran Tuhan di tengah-tengah dunia dalam ikatan cinta perkawinan.

 Dasar Biblis Sakramen Perkawinan

 a. Perjanjian Lama

 1. Dalam tata ciptaan, Allah menciptakan manusia sebagai laki-laki (Adam) dan perempuan (Hawa) menurut citra-Nya (Kej 1:26-27).

 2. Persatuan laki-laki dan perempuan telah direncanakan oleh Allah sejak awal mula. Melalui perkawinan, Allah menghendaki supaya manusia ikut dalam karya bersama demi tanggung jawab untuk ciptaan: “Allah memberkati mereka dan berkata kepada mereka: beranak-cuculah dan bertambah banyaklah; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi” (Kej 1:28).

 3. Ia menghendaki manusia memiliki teman hidup. Tuhan Allah berkata, “Tidak baiklah bagi pria untuk tinggal seorang diri. Aku akan menciptakan baginya pembantu yang sepadan dengan dia” (Kej. 2:18).

 4. Adam mengungkapkan kegembiraan atas kehadiran teman hidup yang diberikan oleh Allah dengan berseru: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku” (Kej. 2:23).

 5. Pasangan suami-istri bukan lagi dua, tetapi menjadi satu daging. Hal ini dikatakan dalam Kitab Kejadian: “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kej 2:24).

 6. Allah menghendaki setiap pasangan suami-istri berjuan untuk setia dalam perkawinan, sebab Ia membenci perceraian (Mal 2:15,16).

 

b. Perjanjian Baru

1. Yesus menegaskan bentuk perkawinan yang dikehendaki oleh Allah: “Laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya dan menjadi satu daging” (Mat 19:5)

 2. Ia juga menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan yang telah oleh Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia (lih. Mat 19:6, Mrk 10:7-9).

 3. Pada awal hidup-Nya di muka umum Yesus melakukan mukjizat-Nya yang pertama pada suatu pesta perkawinan (Yoh 2:1-11). Gereja menganggap kehadiran Yesus pada pesta perkawinan di Kana adalah suatu hal yang penting. Ia melihat di dalamnya suatu penegasan bahwa Perkawinan adalah sesuatu yang baik dan pernyataan bahwa di mulai saat itu Perkawinan adalah sautu tanda kehadiran Kristus yang berdaya guna.

 4. Yesus menyempurnakan nilai perkawinan dengan mengangkatnya menjadi gambaran akan hubungan kasih-Nya dengan Gereja-Nya (Ef 5:3-32)

 5. Penulis Kitab Wahyu menggambarkan kota yang kudus, Yerusalem yang baru, turun dari surga, dari Allah, yang berhias bagaikan pengantin perempuan yang berdandan untuk suaminya (Why 21:2).

6. Kitab Wahyu menggambarkan seorang malaikat berkata: “Marilah ke sini, aku akan menunjukkan kepadamu pengantin perempuan mempelai Anak Domba (Why 21:9).

 Tujuan dari Sakramen Perkawinan dalam Gereja Katolik:

 Kebaikan Suami-istri (bonum coniugum)

 Seringkali pasangan-pasangan suami-istri umat Katolik tidak sungguh memahami tujuan dari perkawinan mereka. Dalam kebaikan, tidak selalu yang dialami adalah kenyamanan, kesejahteraan dan kebahagiaan. Dalam Kitab Suci, dasar dari perkawinan yaitu kebaikan setiap pribadi karena tidak baik kalau manusia tinggal seorang diri saja (Bkd. Kej 2:18). Orang yang menerima sakramen diberi tanggungjawab untuk mengusahakan kebaikan pasangannya. Dengan tepat para Bapa Sinode menyatakan, bahwa norma moral bagi ontentiknya hubungan suami-istri terletak pada pengembangan martabat serta panggilan masing-masing pribadi, yang mencapai kepenuhan mereka melalui penyerahan diri yang setulus-tulusnya.

 Sakramen Perkawinan tidak dimaksudkan untuk kepentingan suami saja atau istri saja. Masing-masing dari pasangan tidak hanya mementingkan ego pribadi. Ia tidak dapat memandang pasangannya sebagai objek pemuas nafsu, budak, musuh dan saingan. Paus Fransiskus menentang cara pandang yang salah tersebut dengan mengatakan, “Dalam kehidupan keluarga, tidak dapat berlaku logika saling menguasai dan saling berlomba untuk melihat siapa yang paling pintar atau yang paling berkuasa, karena logika semacam itu meniadakan kasih” (AL 98).[7] Hal yang mesti selalu diusahakan oleh suami-istri setelah menerima sakramen perkawinan adalah kebaikan pasangannya.

 

Keterbukaan pada kelahiran anak (bonum prolis)

 Setiap pasangan yang melangsungkan perkawinan secara Katolik harus berjanji untuk terbuka pada kelahiran anak. Mereka tidak boleh melakukan aborsi terhadap janin yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada mereka. Bagi Gereja, tindakan aborsi adalah penolakan terhadap kehidupan dan kelahiran anak. Oleh sebab itu, penolakan terhadap kelahiran anak menjadi unsur hakiki yang menyebabkan perkawinan tidak sah.

 

Pendidikan anak (bonum educationis) secara Katolik.

Suami dan istri mempunyai kewajiban yang sama dalam menumbuh-kembangkan anak-anak mereka, baik fisik maupun spiritual. Kedua orangtua memberikan teladan yang maksimal dalam menghayati keimanannya. Dengan demikian, dalam masa pertumbuhannya, anak akan meniru contoh beriman yang mereka alami dan lihat dalam keluarga terutama dari ayah dan ibu mereka.

 

Ciri-ciri Hakiki Sakramen Perkawinan

 

  • Unitas (Kesatuan seumur hidup, monogami)

 Perkawinan monogami adalah bentuk perkawinan yang diadakan antara satu pria dengan satu wanita. Dalam pemahaman Gereja Katolik, perkawinan ini mensyarakatkan pemberian cinta yang utuh dan tak terbagi secara timbal balik bagi bagi suami-istri. Selain itu, perkawinan ini mencerminkan prinsip kesetaraan martabat antara pria dan wanita (bdk. Kej 1:26-30, 2:18-25). Gereja menolak perkawinan poliandri (satu perempuan dengan dua atau lebih laki-laki) atau poligami (satu laki-laki dengan dua atau lebih perempuan, baik secara hukum maupun moral.[10] Yesus menegaskan sifat unitas perkawinan ini dalam percakapan dengan orang-orang yang mencobai Dia: “Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan istrimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian (Mat 19:8).

 

  • Indissolubilitas (sifat tak dapat diputuskan atau terceraikan)

Gereja Katolik tidak mengenal kata cerai bagi pasangan yang telah melakukan sakramen perkawinan yang sah - tanpa halangan. Dalam janji perkawinan, mempelai berjanji: ".... Saya berjanji untuk setia mencintai dan mengabdikan diri kepadamu, dalam untung dan malang, diwaktu sahat dan sakit. Saya mau mengasihi dan menghormati engkau sepangjang hidup saya".[11] Dengannya, perkawinan suami-istri yang telah diangkat pada martabat sakramen bercirikan kesetiaan seumur hidup. Sebagaiman cinta kasih Allah kepada umat-Nya adalah kekal abadi, demikian juga hendaknya cinta kasih antara suami-istri. Sifat tak terceraikan diri mengadung makna yang sangat dalam yaitu perjuangan unutk memupuk kesetiaan terhadap pasangan dalam semua aspek kehidupan (Bdk. Mat 5:31-32; 19:1-12, Mrk 10:6-9).  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun