Ayah Rabi’ah menerima uang emas tersebut dan membeli sesuatu yang di anggap perlu.
Ketika Rabi’ah menanjak besar, sedang ayah bundanya telah meninggal dunia, bencana kelaparan melanda kota Bashrah. Ia terpisah dari kakak kakak perempuannya. Suatu hari ketika Rabi’ah keluar rumah, ia terlihat oleh seorang penjahat yang segera menangkapnya kemudian menjualnya dengan harga enam dirham. Orang yang membeli dirinya menyuruh Rabi’ah mengerjakan pekerjaan pekerjaan berat.
Pada suatu hari ketika ia berjalan jalan, seseorang yang tak di kenal datang menghampirinya. Rabi’ah melarikan diri, tiba tiba ia jatuh tergelincir sehingga tangannya terkilir.
Ia menangis sambal mengantuk antukkan kepalanya ke tanah : “ Ya Allah, aku adalah orang asing di negeri ini, tidak mempunyai ayah bunda, seorang tawanan tak berdaya, sedang tanganku cidera. Namun semua itu tidak membuatku bersedih hati. Satu satunya yang ku harapkan adalah dapat memenuhi kehendak-Mu dan mengetahui apakah Engkau berkenan atau tidak. “
Rabi’ah, janganlah engkau berduka, “ sebuah suara berkata kepadanya. “ Esok lusa engkau akan di muliakan sehingga malaikat malaikat iri kepadamu. “
Rabi’ah kembali ke rumah majikannya. Di siang hari ia berpuasa dan mengabdi kepada Allah, sedang di malam hari ia berdo’a kepada Allah sambal terus berdiri sepanjang malam.
Pada suatu malam majikannya terjaga dari tidur, dan lewat jendela terlihat olehnya Rabi’ah sedang bersujud dan berdo’a kepada Allah.
 “ Ya Allah, Engkau tahu bahwa hasrat hati saya hanyalah untuk dapat memenuhi perintah-Mu, dan mengabdi kepada-Mu. Jika aku dapat mengubah nasib aku ini, niscaya aku tidak akan beristirahat barang sebentar pun dari mengabdi kepada-Mu. Tetapi Engkau telah menyerahkan diriku ke bawah kekuasaan seorang hamba-Mu. “ demikianlah kata kata yang terucap dalam do’a Rabi’ah.
Sepasang mata si majikan terbelalak lebar, bukan hanya karena mendengar do’a Rabi’ah. Tapi karena ia melihat suatu keajaiban sebuah lentera/lampu tanpa rantai tergantung di atas kepala Rabi’ah sementara cahaya itu menerangi seluruh rumah. Menyaksikan hal ini si majikan merasa takut. Ia segera beranjak ke kamar tidurnya dan duduk merenung hingga fajar tiba. Ketika hari telah terang ia memanggil Rabi’ah, bersikap lembut kepadanya kemudian membebaskannya.
Rabi’ah berkata, “ Izinkanlah aku pergi. “
Majikannya memberi izin. Rabi’ah lalu berangkat ke padang pasir. Menempuh perjalanan jauh menuju tempat sepi untuk berkhalwat mengabdi dan mendekatkan diri kepada Allah dengan tekun melaksanakan ibadah. Beberapa lama kemudian ia berniat hendak menunaikan ibadah haji. Maka berangkatlah ia menempuh padang pasir kembali. Barang perbekalannya di buntal di atas punggung keledai. Ia berangkat bersama rombongan. Tetapi begitu sampai di tengah tengah padang pasir keledai itu mati.