Dalam beberapa tahun terakhir, persoalan Jabatan Fungsional Aparatur Sipil Negara (ASN) Medik Veteriner tampaknya belum menemukan solusinya. Pasalnya, Medik veteriner masih dianggap sebagai jabatan bukan profesi dokter hewan.Â
Oleh sebab itu, wajar jika muncul desakan dari Komunitas Asosiasi Dokter Hewan Pemerintah Republik Indonesia untuk mengganti nama Jabatan Fungsional Medik Veteriner menjadi Jabatan fungsional Dokter Hewan saja.
Mengacu pada Surat Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor B/22/M.SM.02.00/2024 tanggal 8 Januari 2024 perihal Penetapan Hasil Evaluasi Jabatan di Lingkungan Instansi Daerah, medik veteriner yang merupakan jabatan fungsional untuk profesi dokter hewan menempati kelas jabatan lebih rendah dari pada kelas jabatan dokter lainnya.
Baca juga: Nasib Jabatan Fungsional Medik Veteriner
Untuk Medik Veteriner Ahli Pertama misalnya, hanya menempati kelas Jabatan 8, demikian juga Medik Veteriner Ahli Muda hanya kelas jabatan 9 dan Medik Veteriner Ahli Madya hanya kelas jabatan 11 serta Medik Veteriner Ahli Utama hanya 13.
Padahal, disatu sisi, pada jabatan dengan latar pendidikan yang sama (Dokter hewan karantina), kelas Jabatan Fungsional Dokter Hewan Karantina justru berada di atas Jabatan Medik Veteriner. Sebagai contoh, Dokter Hewan Karantina ahli muda berada pada kelas Jabatan 10 dan Dokter Hewan Karantina ahli Madya kelas jabatannya 12.Â
Belum lagi, jika dibandingkan dengan jabatan Penyuluh Pertanian, kelas jabatan penyuluh pertanian juga memiliki kelas jabatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan medik veteriner.
Akibatnya, wajar jika terjadi kecemburuan sosial atas kesenjangan ini.
Lantas, kenapa bisa demikian?
Sesuai dengan Peraturan Menteri PANRB Nomor 34 Tahun 2011 tentang Pedoman Evaluasi Jabatan dan Peraturan Menteri PANRB Nomor 39 Tahun 2013 tentang Penetapan Kelas Jabatan di Lingkungan Instansi Pemerintah, usulan evaluasi kelas jabatan diusulkan oleh instansi pembina. Jika tidak ada usulan, maka dianggap tidak ada perubahan.
Oleh sebab itu, tanpa harus menyalahkan pihak lain, tampaknya Instansi Pembina Jabatan Fungsional Medik Veteriner yakni Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) harus berupaya lebih optimal menjalankan amanahnya sebagai pembina medik veteriner se Indonesia. Baik medik veteriner di instansi pusat, maupun medik veteriner di instansi pemerintahan daerah.
Apalagi, dalam aturan tersebut terdapat klausul apabila di kemudian hari ditemukan kekeliruan dalam persetujuan penetapan hasil evaluasi jabatan maka akan dilakukan perbaikan sebagaimana mestinya. Artinya, peluang untuk mengkoreksi dan merevisi masih terbuka lebar.
Revisi Jabatan Medik Veteriner
Jabatan fungsional adalah sebuah posisi dalam birokrasi pemerintahan yang memiliki tugas dan fungsi khusus yang berbeda dari jabatan struktural.
Di Indonesia, jabatan fungsional medik veteriner merupakan salah satu jabatan fungsional yang dipegang oleh para profesional di bidang kedokteran hewan.
Namun, muncul wacana untuk merevisi jabatan ini menjadi "jabatan fungsional dokter hewan" demi efisiensi, akurasi, dan relevansi terhadap kebutuhan zaman.
Revisi ini tidak hanya menyederhanakan nomenklatur, tetapi juga bertujuan untuk menyelaraskan peran dokter hewan dalam masyarakat dengan perkembangan ilmu pengetahuan, regulasi, dan kebutuhan pelayanan publik serta penghargaan terhadap dokter hewan yang mengabdi sebagai aparatur pemerintah. Berikut adalah enam alasan mengapa jabatan medik veteriner perlu direvisi.
Pertama, Ketidaksesuaian Istilah "Medik Veteriner" dengan Perkembangan Global.
Istilah "medik veteriner" yang digunakan dalam jabatan ini kurang populer secara internasional dan sering kali menimbulkan ambiguitas. Dalam banyak negara, profesi ini dikenal dengan istilah "veterinarian" atau "doctor of veterinary medicine" (dokter hewan). Penyelarasan terminologi menjadi "dokter hewan" akan meningkatkan visibilitas dan pemahaman masyarakat terhadap profesi ini, terutama dalam konteks kerjasama internasional.
Selain itu, istilah "medik" lebih sering dikaitkan dengan profesi kedokteran manusia, yang dapat membingungkan masyarakat umum. Penggunaan istilah "dokter hewan" akan lebih spesifik, relevan, dan mudah dipahami oleh semua kalangan, baik dalam negeri maupun internasional. Bahkan, medik veteriner juga bukan merupakan Bahasa Indonesia yang baku, terbukti dalam KBBI edisi V, istilah medik veteriner tidak ditemukan.
Kedua, Efisiensi dan Simplifikasi Nomenklatur Jabatan.
Dalam birokrasi, penyederhanaan nomenklatur jabatan dapat meningkatkan efisiensi administrasi. Nama jabatan yang terlalu teknis atau panjang sering kali mempersulit pengelolaan data kepegawaian, terutama dalam sistem yang berbasis teknologi. Dengan mengganti istilah "medik veteriner" menjadi "dokter hewan," sistem administrasi akan lebih sederhana dan efisien.
Selain itu, nomenklatur yang lebih sederhana dapat mempermudah komunikasi lintas sektor, terutama dengan instansi atau organisasi yang tidak terbiasa dengan istilah teknis. Hal ini penting mengingat dokter hewan sering terlibat dalam kerjasama lintas sektor, seperti dengan dinas kesehatan, dinas pertanian, dinas ketahanan pangan, dinas perikanan, konservasi satwa liar hingga lembaga penelitian dan instansi lainnya
Ketiga, Kesesuaian dengan Lingkup Kerja dan Kompetensi Dokter Hewan.
Dokter hewan memiliki lingkup kerja yang sangat luas, mulai dari kesehatan hewan, kesehatan masyarakat veteriner (zoonosis), pengawasan keamanan pangan asal hewan, hingga penelitian di bidang biomedis. Lingkup ini mencerminkan kompetensi mereka yang tidak hanya terbatas pada aspek medis, tetapi juga mencakup aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Istilah "medik veteriner" cenderung mempersempit pemahaman publik tentang profesi ini sebagai profesi medis semata. Padahal, dokter hewan juga memiliki peran penting dalam sektor lain seperti agribisnis, konservasi satwa liar, dan keamanan pangan. Revisi nomenklatur menjadi "dokter hewan" akan lebih mencerminkan cakupan luas dari profesi ini, sehingga meningkatkan penghargaan terhadap kontribusi dokter hewan di masyarakat.
Keempat, Adaptasi terhadap Kebijakan Nasional dan Internasional.
Indonesia telah meratifikasi berbagai perjanjian internasional yang terkait dengan kesehatan hewan dan keamanan pangan, seperti perjanjian dengan Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE). Dalam dokumen-dokumen tersebut, profesi ini secara tegas disebut sebagai "veterinarian" atau "animal health professional."
Revisi jabatan fungsional menjadi "dokter hewan" akan menyelaraskan istilah ini dengan kebijakan internasional, sehingga memudahkan komunikasi dan pelaporan di tingkat global. Hal ini juga penting untuk memperkuat posisi Indonesia dalam forum internasional yang membahas isu-isu terkait kesehatan hewan, zoonosis, dan perdagangan hewan.
Kelima, Memperkuat Identitas Profesi Dokter Hewan.
Dokter hewan adalah profesi yang diakui secara legal di Indonesia melalui Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang diperbarui dengan Undang-Undang No. 41 Tahun 2014. Dalam undang-undang ini, istilah "dokter hewan" digunakan secara konsisten untuk menggambarkan profesional di bidang kedokteran hewan.
Revisi nomenklatur ini akan memperkuat identitas profesi dokter hewan sesuai dengan landasan hukum yang ada. Hal ini penting untuk menghindari kebingungan di kalangan masyarakat, terutama terkait legalitas dan kewenangan profesi ini dalam menangani kasus-kasus kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner.
Keenam, Dampak Positif terhadap Pengembangan Karir.
Revisi ini juga berpotensi memberikan dampak positif terhadap pengembangan karir para dokter hewan. Nama jabatan yang lebih jelas dan sesuai dengan profesi akan meningkatkan kepercayaan diri dan pengakuan profesional, baik di tingkat nasional maupun internasional. Selain itu, hal ini dapat mendorong lebih banyak lulusan kedokteran hewan untuk memilih jalur karir di sektor publik, sehingga membantu memenuhi kebutuhan tenaga ahli di bidang ini.
Dengan demikian, revisi jabatan fungsional dari "medik veteriner" menjadi "dokter hewan" bukan hanya soal perubahan nomenklatur semata, tetapi juga menyangkut efisiensi, relevansi, dan penguatan identitas profesi. Perubahan ini akan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap profesi dokter hewan, menyederhanakan administrasi birokrasi, serta menyesuaikan dengan standar internasional.
Sebagai profesi yang memiliki peran strategis dalam kesehatan hewan, kesehatan masyarakat, dan ketahanan pangan, dokter hewan perlu mendapatkan pengakuan yang layak melalui nomenklatur jabatan yang mencerminkan kontribusinya secara utuh. Revisi ini diharapkan dapat menjadi langkah awal dalam memperkuat sistem pelayanan publik dan mendukung pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Semoga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H