Mohon tunggu...
Farhandika Mursyid
Farhandika Mursyid Mohon Tunggu... Dokter - Seorang dokter yang hanya doyan menulis dari pikiran yang sumpek ini.

Penulis Buku "Ketika Di Dalam Penjara : Cerita dan Fakta tentang Kecanduan Pornografi" (2017), seorang pembelajar murni, seorang penggemar beberapa budaya Jepang, penulis artikel random, pencari jati diri, dan masih jomblo. Find me at ketikanfarhan(dot)com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Petuah Si Pembungkus Permen

23 April 2018   05:00 Diperbarui: 23 April 2018   22:58 2731
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi | Sumber foto : aliexpress.com

Di satu pagi yang tenang, aku mulai diri termenung menatap laptop di kamarku. Menunggu alarm yang ada di teleponku berbunyi untuk mengingatkanku akan jadwal olahraga pagi yang menyebalkan itu, jika tidak karena lemak di tubuhku yang menumpuk, mungkin aku abaikan saja alarm itu. Pagi itu, aku sedang kehabisan inspirasi untuk mengarang cerita setelah cerita yang sebelumnya aku terbitkan terpaksa aku tarik karena alasan pribadi. Ya, susah memang menghadap orang yang mudah tersinggung atas karya sastra. Marahnya bisa berjam-jam bahkan mungkin berhari-hari dan bisa menular ke yang lainnya juga. Infeksius.

Seharusnya, hari ini aku mulai diriku dengan belajar beberapa materi untuk Uji Kompetensi namun aku harus membiarkan Inersia bekerja lagi pada diriku. Aku mulai baca dan catat satu persatu materi yang perlu dihafal, kemudian beberapa selang setelahnya, aku mulai tergoda dengan beberapa media. Entah itu foto cewek Jepang yang selalu mengisi kolom like Twitter, kabar pertandingan bola basket, atau melihat cerita teman di Instagram. Aku terkadang iri melihat betapa produktifnya mereka di kala aku masih merenung pesimis akan nasibku kelak.

Inersia menyerangku lebih dalam kali ini. Padahal, sudah tiga hari ini, aku tidak mandi wajib. Bahkan, kata "Aishiteru, Farhan-san" yang aku tulis disertai foto artis (bukan film biru) Jepang favoritku pun belum cukup untuk melawan Inersia itu. Aku coba raih toples plastik yang ada di meja itu. Saat habis, ibuku sering isi beberapa macam cemilan di situ, entah itu kue, wafer, ataupun permen. 

Bentuk toplesnya yang tidak transparan membuatku tidak bisa melihat isinya langsung. Sudah satu minggu tidak aku buka toples itu, sehingga aku lupa isinya apa. Dan, aku temukan ada empat permen kopi tersisa di toples itu. Aku pun menyambutnya dengan antusias meski sebenarnya, aku selalu pusing setelah mengonsumsi kopi dalam format apapun. Tapi, kali ini aku coba berdamai dengan itu dan menikmati apa yang ada karena hanya itulah yang tersisa.

Aku nikmati satu persatu, aku buka bungkusnya dengan mengucap rasa syukur. Beberapa hari ini, ibuku tidak membeli snack karena kepeduliannya akan program penurunan beratku. Sehingga, tentu menikmati satu permen kopi saja tanpa pengawasan Ibu menjadi kenikmatan disertai dosa tersendiri bagiku. Aku makan secara lahap sambil ku mainkan di lidahku, menikmati aroma kopi yang mencumbui langit-langit mulutku. 

Ah, enaknya. Bahkan, efek samping pusing pun aku abaikan sementara karena orgasme yang aku dapatkan dari kopi ini, untung saja tidak basah celanaku dibuatnya. Aku coba pertahankan permen itu supaya tidak sampai ke kerongkongan, hingga aku mulai sadar bahwa permennya sudah menipis dan perpisahan itupun harus terjadi.

Satu persatu permen kopi yang ada, aku nikmati dengan proses dan kenikmatan yang sama. Alhamdulillah, kali ini tidak ada yang bobol sebelum waktunya ke kerongkongan. Jika itu terjadi, akan muncul rasa kesal di hati, hampir mirip dengan ejakulasi dini. Dan, saat permen terakhir habis, aku dikejutkan akan sebuah suara desus-desus yang muncul, selidik punya selidik, ternyata suara itu berasal dari gosip yang muncul dari para pembungkus permen. 

Suara yang terdengar hanyalah bisik-bisik belaka, ya tidak beda jauh dengan suara krusuk-krusuk yang dialami pada televisi rusak di rumah, atau mungkin bahasanya tidak dimengerti oleh kita umat manusia. Namun, dari intonasi, aku dapatkan sepertinya percakapan yang dibikin cukup sendu

"Guys, cowok itu sudah menghabiskan permen kita ini? Gawat ini. Pasti kita akan berakhir di tong sampah ini mah."

"Iya, untung cowok itu belum buang kami, gimana kalo dia langsung buang? Aduuh, jangan dong."

"Ya Tuhan, entah apakah takdir kita sudah kayak gini? Aku benci gabung di sana, gelap dan bau lagi, aku ga mau disentuh sama lalat-lalat itu."

Sontak, mendengarkan desus-desus sendu dari pembungkus itu, aku pun ambil salah satu dari mereka, aku coba ajak bicara dia dari hati ke hati. Namun, pasti dia akan diam dan menganggapku gila, apalagi jika aku katakan langsung, mungkin ibuku turut menganggapku gila juga. Benar-benar sebuah representasi dari jomblo kronis yang ada di muka bumi, pajang foto cewek di dinding kamar, dan berbicara dengan pembungkus permen. Sepertinya, aku sudah putus asa sekali dengan harapan cinta yang tak kunjung datang, setelah 9 kali mencoba nyatakan cinta, tak ada yang berakhir bahagia. Usaha yang sangat tidak efektif. Namun, kali ini, aku terpaksa menjadi gila hanya karena sebuah pembungkus permen. Aku pun melihat pembungkus permen, aku jamahi seluruh tubuhnya dan tiba-tiba terheran dengan sendu yang dirasakannya.

"Kamu tadi kok ngomong sedih gitu? Kamu ngomong apaan sih emang?"

Tentu, pembungkus tadi tidak membalas ucapanku. Jika iya, mungkin aku sudah akan kabur dan langsung membuangnya ke tong sampah. Entah setan apa yang masuk ke pembungkus tadi sehingga dia berani merespon pertanyaanku. Meskipun, aku masih belum percaya akan segala hal yang berbau setan, tapi itu bukanlah pertanda bahwa aku berani, aku lebih memilih untuk tidak percaya, dan berpura-pura mengabaikan segala teori yang membuktikan keberadaan setan itu meskipun buktinya ada.

Sedikit demi sedikit, aku coba amati lagi pembungkus permen, dan entah kenapa, tiba-tiba aku teringat dimana salah satu teman terbaikku melupakan aku sendiri. Seorang teman itu sudah menjadi seorang selebgram, punya ribuan atau malah puluh ribuan pengikut di sana, sering sekali mempromosikan barang di akun tersebut. Ah, dia memang sudah terkenal, sudah kerja juga di Kementerian, dan memang dasarnya cantik, bahkan sebelum jadi selebgram pun sudah cantik dan disukai banyak cowok di lingkaranku, ibarat figur sosok seorang cewek idola kebanyakan orang. 

Kulit yang putih ibarat salju, muka yang imut ibarat bakpao, dan postur tubuh yang tinggi, namun bukanlah serupa tiang yang tanpa isi, namun sedikit proporsional. Ya, tidak jauh sama foto cewek yang terpajang di dinding kamar yang masih merayuku meskipun itu hanya mimpi. Awalnya, kami sempat berhubung baik, meskipun tidak sampai dekat. Dan, sekarang, ketika aku hanya berniat mengucapkan salam saja saat dia siaran langsung, dia tidak menjawab, justru lebih fokus untuk bercerita dan merespon penggemarnya yang justru muncul di bawahku. 

Aku hanya berprasangka mungkin ucapanku itu hanya tenggelam diantara beberapa ucapan yang berbahaya, namun sisi panikku justru berpikir mungkin dia sudah lupa akan teman yang lama. Lagian, aku bukanlah teman yang layak dikenang untuk dia, siapalah aku, orang yang mukanya pas-pasan dengan tubuh yang selalu memuai secara tiga dimensi.

Dari situ pula, aku berpikir tentang kata persahabatan. Selama 22 tahun aku hidup di dunia, begitu banyak teman yang silih berganti datang melihat mukaku, mengenal segala tingkah lakuku, entah itu dari dunia nyata ataupun hanya sekedar bertemu di sosial media menanyakan kabar tentang para artis Jepang yang hanya menjadi bahan delusi pertanda kejombloan kami semata. 

Namun, dari semua orang yang kukenal, mereka hanya mengenalku karena kemampuan yang aku punya, entah itu kehebatanku dalam merangkai kata-kata artikel, atau dalam beropini. Mereka menyaluti semua kalimat yang aku keluarkan, ibarat Kendrick Lamar saat rilis albumnya yang sampai dipuja-puja hingga memenangkan Pulitzer. Atau mereka menyaluti "kepintaran"ku hanya karena aku berstatus sebagai mahasiswa kedokteran, sebuah jabatan yang aslinya tidak sekeren yang mereka bayangkan.

Sejak kapan ada dokter yang hobi ngidol JKT48 meskipun tidak pernah nonton konsernya sama sekali.

Sejak kapan ada calon dokter yang doyan koleksi album hip-hop di saat hampir seluruh teman sefakultasnya lebih memilih lagu klasik, jazz ataupun pop.

Tentu, sebuah hal yang bagi lingkaran mereka sangatlah unik untuk dijadikan teman, ibaratnya mencari sekuntum mawar merah di pegunungan yang terjal. Setiap karya yang aku keluarkan, pasti beramai-ramai "like" diberikan, terkadang sampai ada yang turut menyebarkan ke seluruh media.

Namun, lambat laun, di saat aku mulai kurang fokus lagi dalam berkarya, aku merasa mereka pun menjauh. Dan, aku berpikir, apakah mereka mau berteman denganku hanya karena karya bagus saja. Ketika aku tidak merilis apapun, atau karyaku buruk, yang terjadi hanyalah mereka mengacuhiku dan mungkin mencemooh di belakangku.

"Alah, Farhan udah ga relevan lagi tulisannya, makin ke sini makin jelek. Penulis yang terkenal cuma karena satu tema doang, ibarat one-hit wonder gitu."

Berpuas dengan kegalauan itu, aku mulai menatap kembali si pembungkus permen itu. Atas dasar delusi, aku namakan dia Hana. Aku pun langsung berkata layaknya orang gila

"Entah kenapa aku kasihan ya liat kamu, sudah berjasa menutupi permen biar ga masuk angin. Pas permennya dimakan, kamu malah dibuang. Kamu ikhlas ga sih sebenarnya jadi pembungkus? Udah bagus-bagus dibikin untuk menarik perhatian, ujung-ujungnya bakal dibuang juga ke tong sampah"

Tiba-tiba, suara sendu yang muncul tadi mendadak hilang, entah karena ucapanku tadi atau bagaimna. Tapi, aku pun mulai takut, apakah salah satu dari mereka akan merespon pembicaraan randomku itu. Atau, apakah itu yang menyebabkan suara sendu tersebut muncul. Aku pun coba menghiburnya dengan bercerita,

"Entah kenapa kamu tiba-tiba diam, tapi aku sebenarnya punya paham dengan apa yang kamu rasakan. Aku sendiri sedang berada pada posisi itu kok, saat aku di atas, aku dipuja-puja, saat sedang berada di bawah, tak berguna, tak berarti apa-apa, mereka pun lambat laun meninggalkanku, membuangku di tong sampah. Sebenarnya, aku ga tega membuangmu ke tong sampah, tapi aku terpaksa melakukan ini, ibuku pasti akan marah jika kamu dibiarkan terus-menerus di sini. Padahal, rupamu menawan loh, sayang kalo harus dibuang sebenarnya. Tapi, pasti akan jadi sampah dan tidak mengenakkan jika dilihat, ah kenapa harus kayak gini sih."

Dari pembicaraan satu arah tadi, aku kembali berpikir tentang satu hal, apakah yang dirasakan pembungkus permen itu hanya terjadi pada diriku saja. Apa juga terjadi pada orang lain di sekitarku. Jika iya, sampai sekarang, ibuku masih sering kontak-kontakan dengan teman SMP ataupun SMA, entah itu di sosial media, ataupun sampai telpon-telponan dengan pembahasan yang cukup rumit, seperti drama di grup Facebook atau wacana reunian yang pastinya, hanyalah bersifat wacana. Ya, WACANA FOREVER. Tapi, tentu saja, ibuku masih dihargai karena dia berhasil membesarkan seorang anak yang menurut mereka itu ganteng dan pintar karena kuliah kedokteran, ataupun segala piala yang pernah disumbangkan olehku. Tentu, itu sudah jadi pameran wajib untuk ibuku. Dan, ya hanya ibuku. Bapakku bukanlah orang yang suka pamer-pamer kesuksesan.

Yes, he never sits down, but he is still always humble.

Jika iya, kenapa di beberapa grup alumni masih ramai sekali orang-orang yang memamerkan kesuksesannya dan dikreditkan ke teman-teman sekolahnya. Bahkan, mereka kerap berkumpul ria, reunian dengan penuh canda tawa, dan beberapa dari mereka mungkin lupa kalau aku pernah menghiasi hidup mereka. Ah, entahlah. Namun, aku mulai berpikir lagi sembari melihat si pembungkus permen itu. Apakah memang ini makna sebenarnya dari pertemanan itu?

Ketika dia punya sesuatu yang berguna, orang akan ramai berbondong-bondong mendekatinya, hingga mungkin berdesakan mereka untuk sekedar mengantri. Namun, saat sudah bosan dan tidak ada gunanya lagi, mereka akan menjauh, semakin jauh, kemudian hilang tanpa jejak lagi.

Apakah benar persahabatan itu benar adanya? Atau hanya muncul karena masing-masing punya kelebihan saja?

Bagaimana jika orang itu benar-benar tidak ada kelebihan yang dapat digunakan selama hidupnya, apakah dia punya teman yang baik di hidupnya, atau mungkin dia akan hidup tanpa teman?

Jika memang seperti itu, apakah dia bisa bertahan hidup di dunia ini jika tidak punya kelebihan?

Ah, entahlah, sampai sekarang untukku sendiri, aku masih mencari apa kelebihan yang ada di diriku, apa sebenarnya tujuan aku untuk hidup di dunia ini. Dan, entah kenapa aku baru mencari itu di saat aku sudah berusia 22 tahun, aku masih mengikuti arus dan perintah yang ada, tidak berani untuk melawan semuanya dan mencoba jalan baru yang tidak ramai namun menantang.

Dan, semakin berjalannya waktu ini, jika aku tidak tahu jalan mana yang harus akau ambil meskipun aku ganteng ataupun bertubuh atletis atau bisa memecahkan soal matematika S3 dalam waktu satu menit, aku bisa saja akan berakhir di tong sampah, bersama dengan pembungkus permen itu, bercumbu dengan lalat dan ulat dan menginap di tumpukan yang bahkan orang-orang tidak mau dekati aku kelak,.

Sebuah akhir yang menjijikkan dan mengenaskan untuk setiap orang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun