Namun, lambat laun, di saat aku mulai kurang fokus lagi dalam berkarya, aku merasa mereka pun menjauh. Dan, aku berpikir, apakah mereka mau berteman denganku hanya karena karya bagus saja. Ketika aku tidak merilis apapun, atau karyaku buruk, yang terjadi hanyalah mereka mengacuhiku dan mungkin mencemooh di belakangku.
"Alah, Farhan udah ga relevan lagi tulisannya, makin ke sini makin jelek. Penulis yang terkenal cuma karena satu tema doang, ibarat one-hit wonder gitu."
Berpuas dengan kegalauan itu, aku mulai menatap kembali si pembungkus permen itu. Atas dasar delusi, aku namakan dia Hana. Aku pun langsung berkata layaknya orang gila
"Entah kenapa aku kasihan ya liat kamu, sudah berjasa menutupi permen biar ga masuk angin. Pas permennya dimakan, kamu malah dibuang. Kamu ikhlas ga sih sebenarnya jadi pembungkus? Udah bagus-bagus dibikin untuk menarik perhatian, ujung-ujungnya bakal dibuang juga ke tong sampah"
Tiba-tiba, suara sendu yang muncul tadi mendadak hilang, entah karena ucapanku tadi atau bagaimna. Tapi, aku pun mulai takut, apakah salah satu dari mereka akan merespon pembicaraan randomku itu. Atau, apakah itu yang menyebabkan suara sendu tersebut muncul. Aku pun coba menghiburnya dengan bercerita,
"Entah kenapa kamu tiba-tiba diam, tapi aku sebenarnya punya paham dengan apa yang kamu rasakan. Aku sendiri sedang berada pada posisi itu kok, saat aku di atas, aku dipuja-puja, saat sedang berada di bawah, tak berguna, tak berarti apa-apa, mereka pun lambat laun meninggalkanku, membuangku di tong sampah. Sebenarnya, aku ga tega membuangmu ke tong sampah, tapi aku terpaksa melakukan ini, ibuku pasti akan marah jika kamu dibiarkan terus-menerus di sini. Padahal, rupamu menawan loh, sayang kalo harus dibuang sebenarnya. Tapi, pasti akan jadi sampah dan tidak mengenakkan jika dilihat, ah kenapa harus kayak gini sih."
Dari pembicaraan satu arah tadi, aku kembali berpikir tentang satu hal, apakah yang dirasakan pembungkus permen itu hanya terjadi pada diriku saja. Apa juga terjadi pada orang lain di sekitarku. Jika iya, sampai sekarang, ibuku masih sering kontak-kontakan dengan teman SMP ataupun SMA, entah itu di sosial media, ataupun sampai telpon-telponan dengan pembahasan yang cukup rumit, seperti drama di grup Facebook atau wacana reunian yang pastinya, hanyalah bersifat wacana. Ya, WACANA FOREVER. Tapi, tentu saja, ibuku masih dihargai karena dia berhasil membesarkan seorang anak yang menurut mereka itu ganteng dan pintar karena kuliah kedokteran, ataupun segala piala yang pernah disumbangkan olehku. Tentu, itu sudah jadi pameran wajib untuk ibuku. Dan, ya hanya ibuku. Bapakku bukanlah orang yang suka pamer-pamer kesuksesan.
Yes, he never sits down, but he is still always humble.
Jika iya, kenapa di beberapa grup alumni masih ramai sekali orang-orang yang memamerkan kesuksesannya dan dikreditkan ke teman-teman sekolahnya. Bahkan, mereka kerap berkumpul ria, reunian dengan penuh canda tawa, dan beberapa dari mereka mungkin lupa kalau aku pernah menghiasi hidup mereka. Ah, entahlah. Namun, aku mulai berpikir lagi sembari melihat si pembungkus permen itu. Apakah memang ini makna sebenarnya dari pertemanan itu?
Ketika dia punya sesuatu yang berguna, orang akan ramai berbondong-bondong mendekatinya, hingga mungkin berdesakan mereka untuk sekedar mengantri. Namun, saat sudah bosan dan tidak ada gunanya lagi, mereka akan menjauh, semakin jauh, kemudian hilang tanpa jejak lagi.
Apakah benar persahabatan itu benar adanya? Atau hanya muncul karena masing-masing punya kelebihan saja?