Gunuang biaso timbunan kabukik, lurah biaso timbunan aia
Lakuak biaso timbunan sampah , lauik biaso timbunan ombak
Nan hitam tahan tapo, nan putiah tahan sasah
Di sasah bahabih aia, dikikih bahabih basi
OoOoOoOoOoOoO
Kutipan akhir dari Cerpen | Nostalgia Itu Bernama Kutukan
"ANDI! LO MEMANG TERLAHIR UNTUK JADI SAMPAH! INI HADIAH UNTUK BUAT LO!"Â
Bang Haris kasih pukulan tepat di ulu hatiku. Mulutku mulai mengeluarkan darah. Ah, memang sudah saatnya untuk mati hari ini jika memang benar aku ditakdirkan untuk menjadi sampah.Â
"ALLAHU AKBAR! LA ILLA HA ILALLAH! Sudah saatnya aku menghadapmu, Tuhan."
OoOoOoOoOoOoO
"ALLAHU AKBAR!"
Aku pun terbangun setelah harus mengalami mimpi buruk itu. Memang, pada beberapa periode dimana aku sakit, akan selalu ada mimpi buruk yang menghampiriku. Mimpi itu seolah menandai bahwa kondisiku sudah membaik. Tersadar dengan semua mimpi itu, aku pun menyadari bahwa sekarang sudah pukul 13.00. Yak, aku sudah melewati waktu Zuhur dan tinggal waktu 1 jam lagi untuk bertemu seorang teman untuk nongkrong serta meminta bimbingan materi.
Sejak dikeluarkan dari kampus yang lama akibat fitnah video asusila tersebut, aku pun merasa depresi. Aku sampai terpikir bahwa apakah memang kutukan dari Bang Haris itu benar adanya atau memang ini semua hanya kebetulan saja. Ah, sepertinya benar adanya. Butuh satu minggu bagiku untuk menceritakan itu ke orangtua. Aku bercerita sangat banyak sampai air mata berlinang membanjiri bantal ketika itu. Penyesalan tentu saja menjadi menu utama selama satu minggu itu. Antara kenapa aku bodoh sampai kenapa aku masih begitu baik ke semua orang tanpa berpikir apa yang terjadi kelak. Mungkin, aku sekarang ini sedang berada dalam titik nadir kehidupan tersebut. Aku pun merenung dan bertanya pada diri sendiri.
"Apakah masih ada kesempatan kedua bagiku?"