Aku saat itu hanyalah seorang anak kampung yang merantau demi tujuan memperoleh ilmu, namun, jalan yang kulalui di tahun pertama saja sudah cukup berat seperti ini. Aku pun mulai patah semangat dan merasa bahwa jalan ini perlahan-lahan tertutup untukku. Balik ke kampung terkesan sangat memalukan bagiku. Apalagi, Amak pun cerita jika sekampung pun sudah mulai paham dengan fitnah asusila tersebut. Ini memang titik nadir bukan hanya untukku, namun juga keluargaku sendiri. Aku bingung apa yang harus kulakukan lagi untuk bisa bertahan hidup. Aku pernah membaca beberapa cerita motivasi tentang seorang yang mencapai titik rendah dan kembali bangkit. Sayangnya, aku tidak yakin bisa mengulang satu dari sekian cerita yang tercatat itu. Aku merasa tidak punya apa-apa lagi, bahkan bakat terbaikku juga yang membuatku terjatuh. Ya, seandainya aku tidak menulis artikel yang lebih keren dari punya Tino tersebut, mungkin aku akan menjalani masa 4 tahun kuliah dengan nyaman tanpa intrik-intrik seperti ini.
Ah, Tuhan. Apakah memang harus kuakhiri saja hidup ini? Toh, percuma juga jika aku bertahan lama di sini dengan segala anggapan bahwa aku adalah orang yang sudah bermaksiat. Aku mulai merasa sejak video asusila itu menyebar, setiap aku berjalan, orang mulai memandangku dengan tatapan sinis. Kemanapun, entah itu ke pasar ataupun juga ke masjid. Seolah, sudah ada tato yang melekat bahwa aku pernah menjadi actor sebuah video asusila. Bukan sebagai actor film laga Hollywood, FTV romansa di stasiun televisi, atau film horror yang merajalela. Hanyalah sebuah video yang sangat tercela.
OoOoOoOoOoOoO
"Assalamu'alaikum, Andi. Iko Mak Heri. Baa kaba kini? Ambo danga dari Amak katonyo Andi diberhentikan yo dari kuliah? Tabah se yo, Ndi. Jakarta memang kareh nyo. Ndak taka kampuang do. Ambo alah pulo marasoan betapa kerasnya kota Jakarta ko. Oh yo, bantuaknyo ambo butuh bantuan Andi saketek dulu, dima Andi tinggal? Sekalian ambo silaturahmi pulo ka kamanakan wak ciek lu."
Pesan singkat dari Mak Heri itu sedikit menyegarkan di tengah suasana hati yang sedang hampa ini. Mak Heri sendiri adalah saudara kandung ibuku yang sekarang sudah sukses berkarir di kota Jakarta.Â
Pada awalnya, Amak dan Apak memintaku untuk tinggal di tempat beliau, namun, karena keinginanku untuk tinggal mandiri. Akhirnya, aku memilih untuk mencari kosan yang berada di dekat kampus. Meskipun, aku masih mendapatkan duit dari orangtua untuk hidup hingga saat aku harus berada dalam posisi terendah ini. Mak Heri sendiri merupakan orang yang sangat baik sebelum dia berkarir di Jakarta, sewaktu pulang kampung, dia sering sekali memberikan uang ke setiap keponakannya. Bahkan sampai aku SMA pun, dia masih memberi duit. Dia merupakan orang yang mendorongku untuk mencoba berkarir di tempat jauh, terutama atas dasar kesuksesan yang dia alami sekarang ini.
Membaca pesan singkat tersebut membuatku bertanya, apakah yang membuat Mak Heri tiba-tiba meminta bantuan padaku? Apa karena atas dasar kasihan saja terhadap situasiku yang lagi hancur seperti ini? Atau apakah ada alasan lainnya? Hanya Tuhan dan waktu yang tahu.
OoOoOoOoOoOoO
"Andi, baa kaba kini? Ndeh, alah batambah gadang anak Amak kini yo?"
"Yo, lai taka iko se lah, Mak. Kini sadang dalam kondisi randah taka iko, Mak. Ambo kanai fitnah pulo di siko."
"Andi, basaba se lah kini lai. Ambo alah danga carito dari Amak, emang parah bana tu orang. Intinyo kini ko, yo awak tetaplah bertahan di niat awal. Di siko niatnyo mau nyari ilmu kan? Prosesnyo emang tergantuang dek awak ma. Baa awak ka nilai prosesnyo tu? Ntah rancak atau indaknyo."