Kesempatan kedua ini benar-benar aku manfaatkan dengan sebaik-baiknya dan tentu saja, lebih berhati-hati. Kejadian buruk itu mengajarkanku tentang kehati-hatian dalam mengambil keputusan. Mempertimbangkan segala baik dan buruknya dan tentu saja, bertahan pada pendirian. Hal itu tentu saja masih belum menjadi senjata tajam untukku tetap bertahan di hiruk pikuk kota keras ini. Perlu dipertajam lagi dengan berbagai pengalaman dan bimbingan. Bukan hanya itu saja, teman-temanku di kampus baru juga menerima keberadaanku dengan baik. Meskipun, ada satu atau dua momen dimana video aku sendiri jadi pembahasan, tetapi, aku dan teman-teman pun tidak menganggap itu sebagai hal yang buruk. Terkadang, malah dimanfaatkan sebagai bahan lelucon belaka.
Ah, mereka juga sadar kok kalau setiap orang pasti pernah punya kesalahan besar dalam hidupnya.
Dan, mereka tentunya sadar bahwa setiap orang bisa taubat atas dosanya dan kembali ke jalan yang benar.
Di kampus baru, aku justru memperoleh banyak kepercayaan. Aku juga turut menjadi Ketua Dewan Pers Mahasiswa di fakultas aku bernaung. Sebuah jabatan yang mungkin jika aku berada di kampus lama, pastinya akan sulit didapat karena sifat egois yang membekas di diri Tino. Ah, aku jadi ingin tahu kabarnya si Tino seperti apa. Aku sempat lupa jika dia pernah muncul dalam hidupku dan memberikan luka yang sempat sulit untuk dihapus. Aku pun juga mendapatkan beberapa teman yang sudah aku anggap sebagai sahabat, tempat berbagi dan bertukar pemikiran serta menceritakan keresahan yang ada. Dan, satu hal, di kampus baru ini, aku menjadi semakin dekat dengan Allah swt.
Salah satu dari sahabat itu adalah Syarif. Dia sendiri berasal dari Banjarnegara, sebuah kota yang cukup jauh di Provinsi Jawa Tengah. Bagiku, dia adalah orang yang selalu ceria dan sering menjadi tempat untuk meminta informasi penting tentang dunia Islam. Dia orang yang menurutku aneh, namun anehnya bukanlah hal negatif. Namun, aneh yang dapat diterima dan terus terang, dikagumi jika paham maksudnya. Hari ini, aku tersadar bahwa aku ada janji sama dia untuk meminta bimbingan materi ke Ustadz Ismail. Kita rencananya akan mampir ke rumahnya setelah sholat Ashar, namun berhubung suasana Jakarta yang macet, kami pun mencoba untuk berangkat lebih awal lagi.
Ustadz Ismail sendiri merupakan salah satu dosen favorit saya di kampus baru ini. Dia selalu menekankan kepada kita bahwa semua makhluk hidup itu terlahir di dunia ini atas tujuan tertentu. Sehingga, dia sendiri salah satu orang yang tidak suka jika ada sebutan ke sebuah makhluk sebagai makhluk tidak berguna. Bagi dia, status "makhluk tidak berguna" itu hanyalah nonsense belaka. Yang benar adalah kita saja yang belum memahami kegunaan dari makhluk tersebut. Dia juga yang mendorongku untuk memahami apa makna hidup itu sebenarnya. Ustadz Ismail memang mengingatkanku pada sosok Mak Heri.
Aku dan Syarif pun sudah bersiap-siap menuju rumah beliau. Dan, seketika, aku memperoleh telpon dari sebuah nomor yang tidak dikenal. Ternyata, nomor tersebut turut memberikan pesan singkat bagiku.
"Mas Andi! Selamat atas kesuksesanmu! Kamu membuktikan bahwa mereka salah denganmu melalui kesempatan kedua ini. Semangat!"
Aku pun mulai kebingungan apa yang dimaksud pesan singkat itu. Sepertinya, tidak mungkin pesan itu datang dari Bang Ari, orang yang menginterviewku untuk menjadi wartawan di The Indonesian Eyes. Mereka tentu saja akan mengirimkan email dan apakah mungkin mereka harus mengirimkan pesan singkat seperti ini?
Dan, kenapa juga dia paham dengan kata "Kesempatan Kedua" ini? Pastinya, dia orang yang paham denganku sebelumnya. Sangat sial aku tidak bisa membuka email kali ini karena dataku habis. Tapi, ah sudahlah, jangan pikirkan dulu deh. Ketukan di pintu sudah terdengar disertai suara ngapak a la Syarif. Aku sudah berpakaian rapi dan yak, saatnya untuk pergi!
OoOoOoOoOoOoO