Manajemen Investasi sebagai bagian dari manajemen keuangan adalah matakuliah yang paling mudah. Rumusnya jelas dan aplikasinya nyata. Dengan menggunakan perhitungan single Index model (SIM), capital asset pricing model (CAPM) dan arbitrage pricing theory (APT) kita dapat melakukan evaluasi kinerja saham terbaik IDX 2020.
Dampak pandemic terhadap kinerja saham IDX 2020 ternyata cukup signifikan. IHSG per 30 Desember 2019 sebesar 6.283,37 sempat menyentuh level terendahnya di 3.937,63 pada 23 Maret 2020. Namun IHSG dapat berangsur pulih dan ditutup per 30 Desember 2020 pada 5.979,07.Â
Secara keseluruhan, return IHSG 2020 sebesar 8,58% lebih tinggi daripada tingkat bunga deposito rata-rata 2020 yang hanya sebesar 5,2%. Stdev IDX ternyata hanya 557 yang berarti IDX tidak banyak mengalami gejolak harga yang signifikan.Â
Penurunan maupun kenaikan IHSG tahun 2020 terjadi secara wajar dan berangsur. Hasil perhitungan expected return dengan APT yang mempergunakan variable tingkat inflasi bulanan, tingkat bunga deposito rata-rata dan kenaikan/penurunan kurs US$ bulanan diperoleh 5,22 yang menunjukkan bahwa investasi dalam saham tetap lebih baik dibandingkan dengan menyimpannya dalam deposito.
Bila dilihat dari saham yang ada dalam LQ30 ternyata tidak jauh berbeda. Dengan mempergunakan data harga saham LQ30 dari 30 Desember 2019 sampai dengan 30 Desember 2020 dikalkulasikan dengan metode SIM maupun CAPM diperoleh saham yang memiliki return terbaik adalah GGRM, BBCA, UNTR dan INTP. Adapun analisanya adalah sebagai berikut.
Pertama adalah GGRM. Harga saham GGRM per 30 Desember 2019 sebesar 53.000 dan per 30 Desember 2020 sebesar 41.000 dan sempat turun mencapai 40.450 sehingga diperoleh return dengan SIM sebesar 10,75 jauh lebih tinggi dibandingkan bunga deposito yang hanya 5,2% per tahun.Â
Kinerja perusahaan sepanjang tahun 2020 memang cukup baik. Pada tanggal 24 Agustus 2020 emiten mengumumkan membukukan kenaikan signifikan pada pos kas dan setara kas seiring dengan relaksasi penundaan pembayaran cukai oleh Kementerian Keuangan.Â
Total kas dan setara kas akhir Juni 2020 perseroan mencatatkan kenaikan signifikan, yaitu 302,15 persen secara tahunan menjadi Rp8,25 triliun dibandingkan dengan posisi akhir Desember 2019 sebesar Rp3,57 triliun.
Dengan stdev 5.109 dan Beta 3,78 menunjukkan bahwa GGRM adalah perusahaan yang memiliki risiko relative rendah. Meskipun Tan Siok Tjien, istri dari pendiri PT Gudang Garam Tbk Surya Wonowidjojo tutup usia di umur 91 tahun pada hari Minggu, 25 Oktober Sepeninggal suaminya, Tjoa Jien Hwie alias Surya Wonowidjojo, pada tahun 1985 mendiang Tan Siok Tjien langsung mengambil alih kepemimpinan Gudang Garam.Â
Dia dibantu anak ketiganya Susilo Wonowidjojo yang menjabat sebagai Presiden Direktur. Kini anak perempuannya Juni Setiawati Wonowidjojo menjabat sebagai Presiden Komisioner perusahaan.
Hasil perhitungan expected return dengan CAPM diperoleh 17,94 menunjukkan harapan market yang tinggi terhadap GGRM sebagai investasi saham yang baik.Â
Hasil perhitungan Jensen Alpha ratio sebesar 7,19 menunjukkan tanggapan positif market terhadap corporate action yang dilakukan sepanjang tahun 2020.Â
Beberapa corporate action tersebut adalah penandatanganan MOU bersama PT Angkasa Pura I (Persero) untuk pembangunan Bandara Internasional Kediri tanggal 10 Maret 2020 dengan investasi sebesar 6-9 triliun rupiah.Â
Selain itu perusahaan melebarkan bisnisnya ke pembangunan jalan tol dengan pembentukan cucu usaha PT Surya Kertaagung Toll (SKT) tanggal 6 November 2020. Modal dasar perusahaan jalan tol ini sebesar Rp 1,2 triliun.
Hasil perhitungan expected return dengan APT diperoleh 6,13 menunjukkan bahwa kinerja GGRM memang sangat baik. Namun bila dibandingkan dengan harga saham tanggal 4 Januari 2021 sebesar 41.000 menunjukkan bahwa saham GGRM masih terlalu tinggi sebesar 4.360.
Kedua adalah BBCA. Harga saham BBCA per 30 Desember 2019 sebesar 33.425 dan per 30 Desember 2020 sebesar 33.850 dan sempat turun mencapai 23.935 sehingga diperoleh return dengan SIM sebesar 10,32.Â
Nilai tertinggi nomor 2 untuk capaian return di LQ30. Meskipun kinerja perusahaan semester 1 menurun sehingga tanggal 24 Maret 2020 Fitch Turunkan Peringkat BCA dan BCA Finance Akibat Pelemahan Lingkungan Operasi.Â
Namun tanggal 26 October 2020 manajemen melaporkan perolehan laba pada kuartal III-2020 atau 9 bulan tahun ini turun 4,2% menjadi Rp 20,04 triliun.Â
Pada periode yang sama tahun lalu BCA membukukan laba bersih Rp 20,9 triliun. "Pencadangan Rp 9,1 triliun, naik dari sebelumnya Rp 5,6 triliun atau 160,6% secara year on year sejalan dengan penurunan risiko kualitas kredit,".
Dengan stdev 2.711 menunjukkan bahwa naik turun saham BBCA dapat mencapai Rp2.711,- sedangkan nilai beta 4,4 menunjukan risiko yang relative besar mengingat risiko kredit macet dunia usaha akibat pandemic.Â
Sehubungan dengan hal tersebut manajemen berupaya menunjukkan bahwa BBCA siap menghadapinya. Misalnya BBCA sudah memulai trial digital operation pada bulan Juni 2020. BCA juga berhasil naik di posisi pertama Top 10 Most Strongest Brands tahun 2020. menurut Bank Finance Banking 500 tanggal 26 Oktober 2020.
Hasil perhitungan expected return dengan CAPM diperoleh 20,03 terkonfirmasi dengan Jensen Alpha Ratio 7,19 menunjukkan bahwa market berharap dengan berinvestasi dalam saham BBCA dapat memberi keuntungan yang baik. Hal ini ditunjukan sebagai reaksi positif atas corporate action yang dilakukan misalnya tanggal 4 Desember 2020 Kerjasama Sindikasi BCA Syariah Berikan Pembiayaan 200 Miliar untuk PLN.Â
Padahal BCA tidak pernah memberi kredit kepada BUMN. Bahkan tanggal 2 Des 2020 perusahaan mengumumkan akan membagikan dividen interim tahun buku 2020 sebesar Rp98 per saham
Hasil perhitungan expected return dengan APT diperoleh nilai 5,15 bahkan lebih rendah dibandingkan bunga deposito rata-rata 5,2. Dan bila dibandingkan dengan harga saham tanggal 4 Januari 2021 sebesar 34.175 menunjukkan bahwa harga saham BBCA terlalu tinggi sebesar 4.754.
Ketiga UNTR. Harga saham UNTR per 30 Desember 2019 sebesar 21.525 dan per 30 Desember 2020 sebesar 26.600 dan sempat turun mencapai 14.250 sehingga diperoleh return dengan SIM sebesar 9,91. Sebagai anak perusahaan Astra International menunjukkan kinerja yang cukup baik dari Astra Group.Â
Padahal tanggal 6 September 2020 perusahaan mencatatkan penurunan penjualan alat berat hingga 50% akibat pandemi terutama dari sektor tambang, begitu pula untuk sektor kontraktor pertambangan juga mengalami pelemahan produksi hingga 17% (yoy).Â
Sementara untuk tambang emas mengalami sedikit gangguan operasional akibat pandemi corona Direktur Utama United Tractors, Frans Kesuma, menyebutkan bahwa korporasi melakukan revisi target perusahaan dengan penjualan alat berat 1.300 unit, penjualan batu bara mencapai 7,8 juta ton serta target produksi emas mencapai 255 ribu - 300 ribu ons.
Dengan stdev 3.418 dan nilai beta 3,93 menunjukkan risiko perusahaan yang cukup tinggi. Pandemi COVID-19 dan penurunan harga batu bara telah mempengaruhi kinerja Perseroan secara keseluruhan.Â
Sampai dengan bulan September 2020, Perseroan membukukan pendapatan bersih sebesar Rp46,5 triliun atau turun sebesar 29% dari Rp65,6 triliun pada periode yang sama tahun 2019. Sejalan dengan penurunan pendapatan bersih, laba bersih Perseroan turun 38% menjadi Rp5,3 triliun dari sebelumnya sebesar Rp8,6 triliun.Â
Masing-masing segmen usaha, yaitu: Mesin Konstruksi, Kontraktor Penambangan, Pertambangan Batu Bara, Pertambangan Emas dan Industri Konstruksi secara berturut-turut memberikan kontribusi sebesar 22%, 48%, 16%, 12% dan 2% terhadap total pendapatan bersih konsolidasian.
Hasil perhitungan expected return CAPM hanya sebesar 8,52 dengan Jensen Alpha ratio minus 1,39 menunjukkan bahwa market khawatir dengan kinerja keuangan perusahaan.Â
Hal ini terkonfirmasi dari beberapa corporate action di tahun 2020 seperti tanggal 15 Juni 2020 PT Acset Indonusa Tbk (ACST), perusahaan konstruksi milik Grup Astra, akan menggelar rights issue 15 miliar saham dengan nilai perolehan maksimal Rp1,5 triliun untuk membayar utang ke PT United Tractors Tbk (UNTR).Â
Kemudian tanggal 2 Juli 2020 perusahaan telah memperpanjang periode fasilitas pinjaman senilai Rp 300 miliar kepada PT Astra Sedaya Finance (ASF) hingga 30 Juni 2021. Pada tanggal 18 Sep 2020 perusahaan telah mengambil 1,2 juta lembar saham baru yang diterbitkan oleh PT Bumi Pertiwi (BP), dengan nilai nominal Rp300 miliar.Â
Saat ini perseroan mengendalikan 99,99% saham BP. Ini setara dengan 2 juta lembar saham senilai Rp500 miliar. Sedangkan sisanya dimiliki oleh PT United Tractors Pandu Engineering, anak perusahaan UNTR.
Hasil perhitungan expected return dengan APT diperoleh 4,62, terendah diantara emiten terbaik LQ30. Sehingga bila dibandingkan dengan harga saham tanggal 4 Januari 2021 sebesar 26.550 terlalu tinggi sebesar 3.641.
Keempat adalah INTP. Harga saham INTP per 30 Desember 2019 sebesar 19.025 dan per 30 Desember 2020 sebesar 14.500 dan sempat turun mencapai 10.650 sehingga diperoleh return dengan SIM sebesar 9,51. Hasil ini sebenarnya sudah cukup baik bila dibandingkan dengan dampak pandemic kepada dunia usaha.Â
Tanggal 10 November 2020, manajemen mengumumkan telah membukukan penjualan domestik (semen dan klinker) secara keseluruhan sebesar 12,1 juta ton sepanjang 9 bulan pertama di 2020, turun 9,7% dibanding periode yang sama tahun lalu. Volume semen domestik tercatat 11.627 ribu atau lebih rendah sebesar 7,7%, sedangkan permintaan semen domestik nasional turun sebesar 9,0%. Pangsa pasar Perusahaan meningkat dari 25,7% Hingga September 2019 menjadi 26,0% pada September 2020.
Pendapatan Bersih Perusahaan turun 10,6% menjadi Rp10.149,6 miliar dibanding September 2019 sebesar Rp11.347,9 miliar karena volume penjualan dan harga jual rata-rata yang lebih rendah.Â
Perusahaan mencatat Pendapatan Keuangan Bersih yang lebih rendah 12,6% dari Rp269,2 miliar pada September 2019 menjadi Rp235,2 miliar hingga September 2020 disebabkan oleh suku bunga yang relatif lebih rendah pada tahun 2020.
Laba Bersih hingga September 2020 turun 5,0% menjadi Rp1.116,7 miliar dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp1.175,8 miliar. Persentase penurunan ini lebih rendah dari penurunan Total Pendapatan karena penghematan biaya dan upaya efisiensi seperti yang dijelaskan sebelumnya.
Dengan stdev 2.510 dan nilai beta 4,06 menunjukkan risiko perusahaan yang tinggi terhadap perekonomian secara keseluruhan. Hal ini ditunjukkan dengan beberapa kejadian misalnya tanggal 14 May 2020 dimana Indocement mengambil keputusan untuk melakukan penyesuaian atas capex 2020 yang semula ditetapkan sebesar Rp 1,4 triliun menjadi Rp 1,1 triliun," ungkap Oey Marcos.Â
Kemudian tanggal 26 May 2020 "Perseroan hanya menjalankan 1-3 pabrik, dari 10 pabrik yang ada di Citeureup," kata Oey, dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia, Selasa (26/5/2020) Sampai dengan saat ini kontribusi pendapatan dari pabrik yang berhenti operasional adalah sebesar sekitar 25% dari total pendapatan konsolidasi tahun 2019.
Hasil perhitungan expected return CAPM hanya sebesar 18,87 dengan Jensen Alpha ratio 9,37 menunjukkan bahwa market puas dengan corporate action yang diambil perusahaan. Tanggal 28 Agustus 2020 perusahaan membagikan dividen ke pemegang saham sebesar Rp500 per saham. Tanggal 27 November 2020, Manajemen melaporkan jumlah dividen yang dibagikan setara Rp225 per saham sudah disetujui oleh Dewan Komisaris.
Hasil perhitungan expected return dengan APT diperoleh 5,50, lebih tinggi dibandingkan bunga deposito rata-rata sebesar 5,2%. Namun dengan nilai tersebut bila dibandingkan dengan harga saham tanggal 4 Januari 2021 sebesar 14.500 terlalu tinggi sebesar 2.054.
Dari hasil pembahasan atas 4 emiten tersebut ternyata meski pandemic memberikan dampak yang signifikan terhadap operasional perusahaan namun masyarakat Indonesia tetap percaya kepada bursa saham pasti mampu bertahan dan memberikan hasil yang baik terhadap investasi yang dilakukan sehingga investasi dalam bentuk saham tetap menjadi pilihan yang menarik.
- Jakarta 12012021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H