Ketua tim penyidik dugaan korupsi PT. Mobile-8, Ali Nurdin kala itu menyebut PT. DNK tidak mampu membeli barang dan jasa telekomunikasi milik PT Mobile-8. Alhasil, transaksi direkayasa dan seolah-olah terjadi aktivitas perdagangan dengan membuat invoice sebagai fakturnya. PT. Mobile-8 diduga memalsukan bukti transaksi dengan PT. DNK senilai Rp80 miliar. Setelah diajukan, permohonan restitusi pajak pun dikabulkan oleh Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Masuk Bursa Jakarta pada 2009. Padahal bukti transaksi yang menjadi dasar pengajuan restitusi tersebut merupakan barang palsu yang dibuat sendiri oleh PT. Mobile-8.
Melihat pada banyaknya penyimpangan pada praktik pajak maka DJP harus lebih berhati-hati begitupula dengan Wajib Pajak harus cermat jangan sampai untuk meringankan pajak dilakukan tax evasion yang akan merugikan negara hingga harus dilakukan pemeriksaan.
Upaya untuk menindaklanjuti suatu perbuatan yang dilakukan Wajib Pajak berupa menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap akan ditindaklanjuti dengan pemeriksaan (surat ketetapan pajak) atau pemeriksaan bukti permulaan (pemidanaan).Â
Upaya tindak lanjut suatu perbuatan melanggar hukum tersebut merupakan tindak pidana atau adminsitrasi, hal ini bukanlah merupakan hal yang mudah. Tentu, yang paling menentukan bagaimana kita menindaklanjuti perbuatan tersebut sangatlah ditentukan oleh bagaimana cara berhukum (pajak). Tujuan pajak penerimaan negara merupakan faktor yang sangat penting untuk membawa ke arah mana suatu perbuatan itu harus ditindaklanjuti.
Ketika Pemeriksaan Bukti Permulaan hingga dilakukannya tindak lanjut atas Surat Perintah Penyidikan akan diketahui bahwa pelanggaran tersebut termasuk melakukan tindak pidana yang harus masuk hingga ranah penuntut umum atau hanya administrasi hanya dengan sanksi administrasi biasa dapat ditertibkan. Kadangkala kasus seperti ini telah daluwarsa susah untuk teindentifikasi harus ada IDLP yang kuat jika akan melakukan Pemeriksaan Bukti permulaan yang sudah daluwarsa, harus ada indikasi tindak pidana di bidang perpajakan agar daluwarsa dapat mengikuti Pasal 40 UU KUP mengenai daluwarsa hingga 10 tahun.
Jika hasil penuntutan tindak pidana Wajib Pajak terbukti melakukan tindak pidana maka ada dua hal yang berkaitan dengan daluwarsa. Pertama, jika dalam proses pemeriksaan bukti permulaan terbukti Wajib Pajak melakukan tindak pidana perpajakan karena kealpaan yang pertama kali maka pemeriksaan bukti permulaan dapat dihentikan dan diterbitkan SKPKB Pasal 13A Undang-Undang KUP. Artinya, berbeda dengan daluwarsa penerbitan SKPKB Pasal 13 Undang-Undang KUP yang daluwarsa dalam jangka waktu lima tahun, maka penerbitan SKPKB Pasal 13A Undang-Undang KUP bisa lebih dari lima tahun karena mengikuti daluwarsa penuntutan tidak pidana perpajakan.Â
Kedua, pemeriksaan bukti permulaan dalam rangka penuntutan tindak pidana perpajakan diteruskan ke persidangan, hasil sidang ada dua kemungkinan, Wajib Pajak tidak terbukti melakukan tindak pidana perpajakan atau Wajib Pajak terbukti melakukan tindak pidana perpajakan berupa kealpaan yang bukan pertama kali atau karena kesengajaan. Wajib Pajak yang terbukti melakukan tindak pidana perpajakan akan dikenakan sanksi pidana perpajakan, selain itu juga akan diterbitkan SKPKB atau SKPKBT dengan sanksi administrasi berupa bunga 48%.
Pemerintah tidak bisa langsung menemukan kesalahan atau kecurangan WP karena banyaknya WP dan DJP harus berpacu dengan waktu. Dibutuhkannya banyak tenaga kerja, tetapi hal ini akan menambah pengeluaran negara. Jika ada program yang membantu kinerja DJP untuk mendeteksi adanya kecurangan misalnya saja seperti applikasi yang mengkoordinir setiap laporan SPT atau saja DJP membuat aturan bahwa setiap WP Badan harus membuat TP Doc dan melaporkannya kepada DJP. Hal tersebut akan memperketat kepatuhan kepada setiap WP.
==dokday 26 Jan 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H