Pertentangan dari banyak ahli mengenai apakah Pemeriksaan Bukti permulaan merupakan bagian dari Penyidikan Pidana Perpajakan atau merupakan bagian dari Pemeriksaan Pajak sudah semakin meruncing. Banyak kasus yang terjadi diduga akibat kesewenang-wenangan petugas pajak.
Bila dirunut kebelakang maka Indonesia menggunakan sistem perpajakan yang dinilai sendiri (self assessment) yang mengandalkan kepatuhan sukarela oleh wajib pajak. Dengan kata lain, wajib pajak harus menghitung sendiri, membayar, dan melaporkan sendiri jumlah kewajiban pajak.Â
Saat ini, masih banyak pembuat kebijakan di seluruh dunia tertarik pada cara mengurangi pajak dan memaksimalkan kepatuhan terhadap undang-undang perpajakan. Karena pajak penghasilan individu merupakan sumber utama pendapatan bagi pemerintah, ketidakpatuhan memiliki dampak ekonomi yang signifikan (Muslichah, 2015).Â
Wajib Pajak yang terdapat indikasi bahwa tidak melaksanakan kewajiban perpajakan dengan benar, akan diuji kepatuhan Wajib Pajak, dan dilakukan pemeriksaan sebagai perwujudan dari penegakan hukum tersebut.
Menurut Pasal 1 angka 26 UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan bahwa Bukti Permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Pada angka 27 dipertegas dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.
Tindak pidana di bidang perpajakan terindikasi karena adanya bukti permulaan, persyaratan dinyatakannya bukti permulaan adalah adanya unsur pidana dan dua alat bukti yang telah sesuai aturan perpajakan. Saat bukti permulaan dirasa telah memenuhi syarat dari perpajakan selanjutnya akan dibuat Surat Perintah Penyidikan (Sprindik). Setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Perintah Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
Pada tahun 2014 dikeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 239/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan.Â
Pada Pasal 5 Ayat (1) menjelaskan bahwa pemeriksa bukti permulaan melaksanakan pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal penyampaian surat pemberitahuan pemeriksaan bukti permulaan sampai dengan tanggal laporan pemeriksaan bukti permulaan.Â
Pada pasal 5 Ayat (4) menyatakan bahwa kepala unit pemeriksaan bukti permulaan dapat memberikan perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak berakhinya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada Ayat (1).
Hasil pemeriksaan bukti permulaan ada dua kemungkinan yakni pertama terdapat cukup bukti permulaaan dan dugaaan bahwa wajib pajak sedang dan telah melakukan tindak pidana maka dapat diteruskan penyidikan.Â
Unsur-unsur pidana harus memenuhi isi pasal 38 dan 39 KUP. Kedua, tidak terdapat cukup bukti permulaan dan dugaan yang kuat bahwa wajib pajak  sedang/telah melakukan pidana perpajakan/salah satu unsur tindak pidana  perpajakan pasal 38 dan 39 KUP tidak terpenuhi sehingga tidak dilanjutkan  penyidikan, konsekuensinya berupa tindak lanjut penetapan pajak yang mungkin masih terutang dan sanksi administrasinya.