Mohon tunggu...
dodo hawe
dodo hawe Mohon Tunggu... -

Dodohawe, menjalani hidup biasa-biasa saja, orangnya biasa-biasa saja. Menjalani hidup normal apa adanya, yang penting dalam segala tindakan banyak manfaat untuk kehidupan bersama, untuk kemajuan agama dan bangsa...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Peneliti Malaysia Mencuri Naskah Kuno

27 Agustus 2009   18:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:47 1638
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tulisan ini sebenarnya merupakan tulisan lama karya M Agung Riyadi, Fachrul Rasyid HF (Kuala Lumpur), dan Luzi Diamanda (Pekanbaru) yang dimuat Gatra Nomor 6 dan beredar pada Kamis, 20 Desember 2007. Sengaja saya posting untuk memberikan gambaran kepada kita semua akan niat kurang baik dari Malaysia yang hendak menguasai budaya Indonesia.

Menurut hasil reportase Gatra ini, sebenarnya sejak lama Malaysia sudah berkeinginan menguasai budaya kita, salah satunya budaya Melayu yang sebenarnya berasal dari Indonesia. Banyak orang Malaysia sendiri mengakui bahwa nenek moyang mereka sebenarnya berasal dari Indonesia.

Namun mereka rupanya hendak memutar balikan fakta, seakan-akan budaya Melayu berasal dari Malaysia. Berikut reportasi Gatra untuk dapat kita cermati bersama-sama:

Bak agen rahasia, para peneliti Malaysia belakangan ini bergentayangan di pelbagai pelosok Nusantara. Mereka berburu naskah Melayu klasik untuk diboyong ke negaranya. Bila naskah yang dikendaki tak bisa dibeli, mereka memotretnya.

Laku lancung orang Malay yang mengaku sebagai bangsa serumpun itu terungkap dalam Rapat Kerja Asosiasi Budaya Tulis (ATL) di Jakarta, 10-11 Desember lalu. Ditengarai, ratusan naskah Melayu klasik dari Indonesia kini terbang ke Malaysia.

“Naskah-naskah tersebut oleh mereka dibuatkan situs tersendiri. Jika kita mau mengakses naskah-naskah itu, harus membayar,” kata Al-Azhar, Ketua ATL Riau. Para peneliti dari Malaysia atau Singapura membeli naskah-naskah koleksi perorangan, yang mewarisi naskah klasik.

Para pemburu naskah Melayu dari negeri jiran itu membujuk ahli waris naskah agar sudi menjualnya. Mereka menawarnya hingga belasan juta rupiah untuk setiap naskah. Ahli waris naskah kuno yang taraf ekonominya kurang menguntungkan itu pun tergiur.

Salah satu contohnya adalah naskah kuno tentang tata cara pelaksanaan hidup dalam sebuah kerajaan Melayu. Naskah itu adalah catatan harian yang ditulis pemuka masyarakat Pakil, Tanjung Pinang, Provinsi Riau Kepulaun. Seorang peneliti Malaysia dikabarkan membeli naskah itu Rp 12 juta.

Modus itu, kata Al-Azhar, sekilas tampak bisa dibenarkan. “Karena mereka melakukan transaksi jual-beli,” tuturnya. Masalahnya, menurut Undang-Undang Perlindungan Cagar Budaya, jual-beli hanya boleh dilakukan masyarakat atau individu pemilik naskah kuno itu kepada kalangan dalam negeri. “Jadi, jika menjual ke pihak luar, bisa dituntut secara hukum,” Al-Azhar menegaskan.

Namun faktor ekonomi dan minimnya pengetahuan masyarakat pemilik naskah itu akan nilai historisnya membuat mereka enteng saja melepas naskah tersebut. “Mereka juga tak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan itu melanggar hukum,” kata Al-Azhar.

Modus yang sama terjadi di Sumatera Barat. Dari penelusuran Gatra terungkap, ada 30 lembar naskah yang dijual Rp 150 juta. Naskah yang diburu biasanya naskah kebudayaan Minangkabau masa lampau, ilmu agama, dan rajah atau teks yang dianggap masyarakat punya kekuatan magis. Naskah itu lazim ditulis dengan huruf Arab Melayu, yang sebagian besar tak diketahui siapa penulisnya.

“Ada beberapa naskah naskah kuno yang telah dibeli secara ilegal oleh Malaysia,” kata Muhammad Yusuf, dosen filologi Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang. Naskah yang dibeli orang Malay itu, antara lain, Undang-Undang Minangkabau. Pemburu naskah dari negeri jiran membelinya dari seseorang di Kelurahan Balaigurah, Bukittinggi, pada 1984.

Di Malaysia, naskah itu ditulis ulang dengan aksara Latin oleh Prof. Dr. Umar Yunus, guru besar ilmu sastra University Malaya, yang kebetulan berasal dari Silingkang, Sumatera Barat, dan telah lama menjadi warga negara Malaysia. Kini naskah Undang-Undang Minangkabau itu menjadi koleksi Perpustakaan Nasional Malaysia.

Di antara naskah yang diketahui sudah “menyeberang” ke Malaysia, yang paling berharga, kata Yusuf, adalah naskah tentang iluminasi. Naskah ini berisi berbagai lukisan dan gambar hiasan pinggir buku. Naskah itu berasal dati tahun 1770 atau abad ke-18.

Menurut Yusuf, total ada 371 manuskrip Minangkabau yang berada di luar Sumatera Barat. Dari jumlah itu, 261 naskah ada di Belanda, 12 di Inggris, dan 19 di Jerman. Sisanya, 78 naskah, berada di Perpustakaan Nasional, Jakarta.

Naskah yang belum tercatat masih banyak dan kini menjadi rebutan Fakultas Sastra Universitas Andalas dengan para pemburu naskah dari Malaysia. “Fakultas sastra sering kalah bersaing, terutama karena keterbatasan dana,” tuturnya.

Meski begitu, dia tak mau menyerah. Yusuf mengaku berusaha melakukan pendekatan kepada para pemegang naskah kuno agar tetap memeliharanya. Misalnya, disediakan lemari, kotak, atau alat penyimpan yang lebih baik. Sebagian yang bisa dibeli fakultas sastra disimpan di perpustakaan fakultas.

Pihak Museum Adityawarman, Sumatera Barat, pun kini mulai getol memburu naskah tersebut jangan sampai jatuh ke tangan pemburu naskah dari Malasyia. “Kami sangat mengharapkan Pemda Sumatera Barat turun mendukung perlindungan naskah ini,” ujar Yusuf.

Toh, meski sudah tersimpan di museum pun, belum berarti aman. Buktinya, terungkap bahwa Malaysia menerapkan modus lain untuk mendapatkan naskah yang tersimpan di museum. Naskah-naskah itu oleh para peneliti mereka dipotret secara diam-diam. Dalam Rapat Kerja ATL terungkap, modus ini pernah terjadi di wilayah Buton, Sulawesi Tenggara.

Seorang peneliti naskah Melayu klasik dari Buton, La Niampe, mengaku pernah menangkap basah seorang peneliti Malaysia yang bersama tujuh rekannya memotret naskah-naskah Buton. Peneliti bergelar profesor itu, kata La Niampe, akhirnya diusir. “Tapi beberapa puluh naskah sempat mereka ambil,” katanya.

Jika cara itu tak manjur, mereka menempuh cara baik-baik, yaitu memintanya. Cara seperti ini ditempuh Malaysia untuk mendapatkan ratusan hasil penelitian budayawan Riau, Tenas Effendi, atas tradisi lisan dan naskah-naskah Melayu klasik yang dihimpun Tenas selama bertahun-tahun. Diakui Tenas, naskah-naskah itu memang diminta pihak Malaysia untuk dibuatkan situs tersendiri atas namanya.

Karena naskah-naskah itu pula, Malaysia memberinya gelar doctor honoris causa. “Mereka tak mencuri naskah milik saya,” kata Tenas. Cara ini juga ditempuh untuk mendapatkan 200-an naskah pantun Rantau Kopan, yang merupakan tradisi lisan masyarakat sekitar Sungai Rokan, Riau.

Al-Azhar, sang pemilik naskah, merekam pantun-pantun itu pada 1990. Pantun-pantun tadi diminta Malaysia untuk situs budaya “Sejuta Pantun”. Meski perbuatan itu tak bisa dikategorikan mencuri, belakangan Al-Azhar sadar bahwa tindakannya berisiko. Pasalnya, pantun-pantun itu sama sekali belum dipatenkan.

“Suatu saat, bisa saja 200 pantun Rantau Kopan tersebut diklaim Malaysia sebagai miliknya,” tuturnya dengan nada khawatir. Mengapa Malaysia begitu getol berburu naskah-naskah kuno itu? Menurut Muhammad Yusuf, Malaysia memang berambisi menjadi pusat Melayu dan pusat Islam.

Ia menduga, gerakan itu juga sejalan dengan gerakan Dunia Melayu Islam, yang berpusat di sana. “Dengan demikian, orang yang mau belajar tentang Melayu harus belajar di Malaysia,” kata Yusuf. Ketika berkunjung ke Kuala Lumpur, Malaysia, dua pekan lalu, Gatra menangkap kesan itu.

Beberapa tokoh setempat yang ditemui Gatra menyebut nenek moyang mereka adalah orang Melayu. Termasuk orang Melayu yang ada di Indonesia, menurut mereka, berasal dari Malaysia. Uniknya, ketika ditanya tentang prototipe orang Melayu dan asal bahasa Melayu, mereka kesulitan menjelaskannya.

Bahkan, pada saat sinetron Malaysia berjudul Cilok dipertontotan, tak banyak orang muda Malaysia tahu maknanya. Maklum, kata itu berasal dari Minangkabau yang berarti pencuri atau maling.

Mengingat ambisi menggebu Malaysia yang tanpa malu itu, Al-Azhar meminta pemerintah melakukan penyelamatan warisan budaya bangsa, terutama naskah lisan di Riau dan wilayah Indonesia lainnya. “Naskah lisan akan mudah diklaim karena tidak ada catatan yang menyatakan itu hak warisan Riau,” katanya.

Ancaman itu, menurut dia, sangat nyata. Pada saat ini, di Riau ada 12 melodi naskah lisan, sedangkan Malaysia memiliki tiga melodi sejenis. “Jadi, ada sembilan melodi yang tidak ada di Malaysia,” tuturnya. Tapi, jika hal ini dibiarkan, bukan tak mungkin suatu saat 12 melodi itu diklaim sebagai milik Malaysia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun