Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kemiri (Muncang): Literasi tentang Sebutir Biji

10 Desember 2024   11:52 Diperbarui: 11 Desember 2024   04:47 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pohon kemiri (Sumber: https://lindungihutan.com)

Empat tahun lalu, anak bungsu saya membawa bibit pohon kemiri pemberian dari Uwaknya untuk ditanam di pekarangan rumah. "Ini jenis si Mayit, Bah," ungkapnya dengan bangga saat saya tanya jenis kemiri adu apa yang ia tanam.

Kini pohon kemirinya telah berbuah. Kemarin (Senin, 09/12), rupanya ia konfirmasi kepada sepupunya di Singaparna yang nampaknya lebih pakar darinya. Saat tiba di rumah dengan semangat ia mengoreksi ucapannya empat tahun lalu, "Saur A Dian mah muncang jalim, Bah." Rupanya pohon kemiri adu yang sudah berbuah tersebut berjenis jalim. Saya membuka ruang ragu selebar-lebarnya. Saya bukan seorang pakar kemiri.

Armando Gonzalez Stuart, PhD. menyebutkan bahwa kemiri berasal dari Indonesia, namun kini dibudidayakan di Amerika Utara dan Selatan, terutama di Brasil. Kemiri atau muncang dalam bahasa Sunda memiliki nama Latin Aleurites moluccanus. Laman Etymonline untuk lema "Moluccas" menerangkan sebagai gugusan pulau-pulau di Indonesia, Kepulauan Rempah-Rempah, dalam bahasa Prancis pada tahun 1520-an disebut Moluques, dari bahasa Melayu Maluku yang berarti "(pulau-pulau) utama", dari kata molok yang berarti "utama, kepala", yang mungkin disebut demikian karena letaknya yang berada di tengah-tengah Nusantara. 

Penyebutan pertama kali maloko yang tercatat, menurut Theodoor Gautier Thomas Pigeaud dalam Java in the 14th Century: A Study in Cultural History, Volume III ((1960c), yang dapat diidentifikasikan dengan Maluku berasal dari Nagarakertagama, sebuah kitab Jawa Kuno yang ditulis pada tahun 1365.

Bait ke-14 bait ke-5 menyebutkan Maloko, yang diidentifikasi oleh Pigeaud sebagai Ternate atau Maluku. Hal senada dinyatakan Roger Blench dalam Fruits and Arboriculture in the Indo-Pacific Region (2004), bahwa kemiri pertama kali didomestikasi di pulau-pulau di Asia Tenggara.

Sisa-sisa kemiri yang dipanen telah ditemukan dari situs arkeologi di Timor dan Morotai di Indonesia bagian timur, yang masing-masing berasal dari tahun 13.000 dan 11.000 Sebelum Masehi. Morotai adalah salah satu pulau di Maluku Utara.

Dr H. J. De Graaf dalam Masa Pemerintahan Sultan Agung, Pangeran Mataram 1613-1645 dan Pendahulunya Panembahan Seda-Ing-Krapyak 1601-1613 (1958) menyitir sedikit tentang permainan aben kemiri (Sunda, adu muncang) yang saat itu disebut sebagai mirobolani. Berdasarkan sebuah laporan dari seorang utusan kerajaan Belanda, Jan Vos (1624), De Graaf menulis:

"Over zijn doortastendheid vernam reeds Jan Vos de anecdote van het spel, "dat hy mirobolani noemt", het adu kemiri, thans tot jongensspel geworden. Een gerei tot dit spel vond men in het museum SanaBudaja te Solo. Men neemt daarbij twee kemiri-pitten, zet die op elkaar en daar weer op een lange, platte gespleten bamboe. Dan wordt er met een houten hamer op geslagen. Wiens pit breekt, verliest, Natuurlijk werd er om geld gespeeld. Op 's vorsten bevel moest men meedoen. Toen vier groten eens van vals spel verdacht werden (29 juni 1623), liet de vorst, "datelyck hare paerden in syn presentie uyt haere huysen haelen ende voor haer oogen den hals affsnyden, ende seyde tegens haer, dat soo hy haer op een ander tyt wederom soo vont, haer sou doen, gelyck hy tegenwoordich haer paerden gedaen hadde". Twee minder schuldigen kwamen er evenmin straffeloos af. Hun vrouwen en kinderen werden binnen het hof gehaald (d. J. V, 37).."

Dari Jan Vos, De Graaf mendengar sebuah kisah kecil tentang permainan yang disebutnya mirobolani, yaitu adu kemiri. Perlengkapan permainan ini tersimpan di museum Sonobudoyo di Solo (seharusnya Yogyakarta). Cara bermainnya, dua biji kemiri diletakkan bertumpuk di atas bilah bambu yang panjang dan rata lalu dipukul dengan palu kayu. Jika kemirinya pecah, maka pemiliknya kalah.

Pada saat itu, menurut De Graaf, adu kemiri dimainkan demi uang atau judi. Saat ditengarai ada kecurangan, seperti yang tercatat pada tanggal 29 Juni 1623, Sultan Agung membuat kuda mereka merobohkan rumah-rumah mereka, kemudian memenggal leher kuda-kuda tersebut di depan matanya.

Dikatakan kepada pelaku kecurangan tadi bahwa jika dia menemukannya seperti itu lagi, maka dia akan melakukannya kepada mereka, seperti yang dilakukannya terhadap kuda-kuda mereka hari ini. Bahkan, dua yang kesalahannya tidak seberat yang sebelumnya tidak begitu saja lolos tanpa hukuman. Istri-istri dan anak-anak mereka pun dibawa ke pengadilan.

Inilah jejak permainan adu kemiri dalam sejarah kerajaan Mataram Islam.

Adu Kemiri: Sebuah Diskusi Naratif

Konon pada abad 17 diadakan pertandingan adu muncang di Mataram. Kebupatian Sumedang Larang mengirimkan utusannya untuk ikut serta.

Dalam kegiatan lomba tersebut perwakilan kabupatian Sumedang menjadi pemenangnya lalu mendapat hadiah satu set peralatan Gamelan dari Mataram yang kemudian diberi nama Sari Oneng.

Sampai kini gamelan tersebut masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun. Jadi, menurut narasi ini, Sumedang pernah memiliki jenis kemiri adu terkuat di pulau Jawa. 

Faizal Amiruddin dalam Sejarah Adu Muncang: Kegemaran Raja hingga Sanksi Penggal Leher Kuda mengutip Narpawandawa, Budi Utama tahun 1927 yang digitalisasi oleh Yayasan Sastra Lestari halaman 29-30 berikut: 

"Kuwasanipun ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Agung punika tanpa watesan, inggih punika wonten ing kalangan aben kemiri. Dolanan ingkang makaten punika kala taun Walandi 1623 pancen kadhawuhaken ing sang prabu, mila wonten ing karaton dados cara. Sampun nate ingkang sinuhun kasukan aben kemiri kalihan prayagung sakawan, priksa kemirinipun kirang anggenipun anggarap, mangka masthinipun anggening anggarap kedah alus ngantos meleng-meleng, ingkang sinuhun lajeng duka, dhawuh mundhuti kapalipun, kapagas gulunipun wonten ing ngajenganing ingkang gadhah sarwi angandika: yen ana sing kumawani kaya mangkono maneh, masthi tak tigas gulune kayadene jaran iki, wonten priyagung kalih malih ingkang kadukan, leres kemirinipun sampun kaupakara sae, nanging dereng patos dados kados karsa dalem, punika ugi tampi paukuman."

Kutipan di atas memiliki kemiripan dengan apa yang ditulis De Graaf. Saya tidak menemukan petunjuk kuat bila Sultan Agung gemar aben kemiri.

Terlebih lagi, berjudi melalui adu kemiri. Hal ini membawa keraguan saya atas kisah pemberian Gamelan Sari Oneng kepada kebupatian Sumedang Larang sebagai hadiah atas kontes adu kemiri yang dihelat Sultan Agung di Mataram.

Ketua Yayasan Dapuran Kipahare dan Kepala Riset dan Kesejarahan Soekabumi Heritages, Irman Sufi Firmansyah menyampaikan bahwa berdasarkan riset kesejarahan dan literatur-literatur yang ada, sudah terbukti bahwa Gamelan Sari Oneng Parakansalak itu dipesan oleh seorang Administratur Perkebunan Teh di Parakansalak Sukabumi bernama Adriaan Walrafenholle sekitar tahun 1854.

Memang logam atau besi gamelan dibuat dan dipesan dari Sumedang, sedangkan rancak (tempat dudukan gamelan) dibuat dan dipesan dari Thailand. Irman menambahkan bahwa ketika Sari Oneng dibawa ke Eropa pada tahun 1889, semua Nayaganya (Penabuh Gamelan) merupakan orang asli Sukabumi yakni para pekerja pabrik teh di Parakansalak Kabupaten Sukabumi pada saat itu.

"Gamelan Sari Oneng Parakansalak itu berasal dari Sukabumi dan kini dititipkan di Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang," tandasnya.

Klaim Irman dikuatkan laman Virtual Tourism Kabupaten Sumedang sebagaimana kita baca pada bagian Gamelan Sari Oneng Parakan Salak yang dengan jelas menyatakan hal senada: 

"Gamelan Sari Oneng Parakan Salak dibuat pada tahun 1825 di Sumedang yang saat itu merupakan pusat budaya di Jawa Barat. Gamelan ini terbuat dari kayu besi Muangthai/Thailand.

Maka dari itu Gamelan Sari Oneng Parakan Salak ini adalah yang paling istimewa dan terkenal di Museum Prabu Geusan Ulun.

Ada hal lain yang membuat gamelan ini istimewa yaitu pernah mengikuti pameran internasional di Amsterdam pada pameran teh sedunia tahun 1883, dilanjutkan pada pameran Exposition Universelle pada promosi teh di Paris tahun 1889 dan tahun 1893 dalam pameran promosi teh di Chicago Amerika.

Selepas melanglang buana mengikuti berbagai kegiatan di luar negeri, Gamelan Sari Oneng Parakan Salak kembali ke Hindia Belanda pada awal abad ke-20 namun tetap digunakan dalam berbagai acara priayi dan pembesar Belanda terutama yang bersifat seremonial.

Kemudian pada tahun 1942 gamelan ini diserahkan kepada Bupati Sukabumi yakni R. A. A Soeria Danoeningrat. Namun pada tahun 1975, R. A. A. Soeria Danoeningrat wafat dan para ahli waris menitipkan Gamelan Sari Oneng Parakan Salak di Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang."

Narasi Sultan Agung yang gemar adu kemiri boleh jadi merupakan upaya untuk mendapatkan legitimasi keberadaan adu kemiri di kalangan para penyukanya.

Kemiri: Kenangan Akan Sebuah Tembang

Almarhumah ibu, memiliki darah seni yang kuat. Beliau termasuk penembang lagu Sunda klasik yang handal. Sementara Bapak lebih kepada sastra -- sampai-sampai kata sastra Bapak selipkan sebagai nama tengah beliau di ijazah sekolah menengahnya.

Dari kedua orangtua, sebuah lagu dengan genre papatet sampai dan saya akrabi. Salah satu yag melekatkan kenangan akan papatet adalah terdapatnya kata "muncang" dalam salah satu rumpaka (lirik)-nya. Kata berikutnya, tentu saja Galunggung. Gunung yang berjarak hanya 17 km dari tempat saya dilahirkan.

Rumpaka-nya sebagai berikut: 

Gunung Galunggung kapungkur
Gunung Sumedang katunjang
Talaga Sakawayana
Rangkecik di tengah leuweung
Ulah pundung ku disungkun
Ulah melang teu diteang
Tarima raga wayahna
Ngancik di nagara deungeun.

Gunung Gede siga nu nande
Nandean ka badan kuring
Gunung Pangrango ngajogo
Ngadagoan kuring wangsul
Wangsul ti pangumbaraan
Kebo mulih pakandangan
Nya muncang labuh ka puhu
Pulangkeun ka Pajajaran

Rumpaka papatet ini, menurut sejarawan UNPAD Dr. Mumuh Muhsin Zakaria, tidak jelas siapa penulisnya, namun lagu ini pernah dimuat dalam Volksalmanak Soenda pada 1927.

Sementara itu, lagu papatet sendiri, menurut Moh. Yusuf Wiradiredja dalam Tembang Sunda Cianjuran di Priangan (1834-2009) dari Seni Kalangenan Sampai Seni Pertunjukan (2014), berisikan tema-tema yang menyiratkan kerinduan, melankonlis, religius, sampai pemujaan kepada para leluhur dan Tuhan Yang Maha Esa.

Kata patet dalam istilah musik adalah sistem dalam permainan gamelan yang menentukan tingkat nada dan tanggapan pendengar. Sementara secara bahasa, pathet (boleh jadi asal dari kata patet) dalam bahasa Jawa berarti meredam atau menahan diri.

Papatet, menurut Dika Dzikriawan dkk dalam Tinjauan Komparatif Lagu “Papatet” Gaya Bojongherangan dengan Gaya Pasarbaruan dalam Tembang Sunda Cianjuran (2021) merupakan salah satu lagu yang diwajibkan dikuasai oleh calon para penembang.

Beberapa tokoh tembang Sunda Cianjuran, mengibaratkan lagu Papatet sebagai al-Fatihah-nya dalam Al-Qur'an.

"Kemudian, secara teknis para tokoh tembang Sunda Cianjuran berpendapat bahwa ketika penembang sudah menguasai lagu Papatet maka hal ini akan menjadi jaminan bagi mereka lebih mudah mempelajari lagu-lagu yang lainnya. Menurut Wiradiredja, ornamentasi dalam lagu Papatet secara global mewakili lagu-lagu yang ada dalam tembang Sunda Cianjuran. (Wiradiredja, 2014:111). Itu sebabnya lagu Papatet senantiasa ditempatkan sebagai salah satu media untuk mempelajari lagu-lagu tembang Sunda Cianjuran (Sukanda et al., 1977: 103)," kutip Dika.

Pantas saja, bila papatet ini begitu berkesan di hati. Ungkapan kebo mulih pakandangan (kerbau pulang ke kandang) dan muncang labuh ka puhu (buah kemiri jatuh ke pangkalnya) sebagaimana diungkapkan Wiradiredja (2014) menyiratkan kerinduan dan spiritualitas siapapun yang menyusun rumpaka-nya.

Untuk itu, tidaklah berlebihan bila Mumuh dalam Pajajaran dan Siliwangi dalam Lirik Tembang (2012) menulis tentang papatet tadi sebagai berikut:

"Bila dilihat dari aspek redaksionalnya, secara eksplisit, apalagi implisit, rumpaka ini mengekspresikan sikap yang sangat emosional para pengarangnya (mungkin juga mewakili masyarakatnya) yang sangat tertekan, yang kecewa dengan situasi zamannya yang tidak menguntungkan, penuh ketidakadilan, kezaliman, dan kesewenang-wenangan penguasa. Seolah-olah mereka menginginkan jarum jam sejarah kehidupan diputar ulang ke belakang, ke zaman keemasan urang Sunda, yaitu zaman Pajajaran ketika diperintah oleh Prabu Siliwangi (1482 – 1521).

Hal ini tampak, misalnya, dalam kalimat 'pulangkeun ka Pajajaran' (kembalikan ke Pajajaran). Mereka seolah ingin lari dari realitas yang tidak disanggupinya.

Hal tersebut bisa dipahami bila dilihat momentum penciptaan rumpaka tersebut, yaitu saat wilayah Sunda berada dalam penjajahan Negeri Belanda.

Suasana yang demikian tidak hanya tercermin pada redaksi rumpaka tapi juga pada nada lagunya yang umumnya sangat sentimental dan melankolis. Bunyi masing-masing waditranya pun, mulai dari petikan dawai kecapi, gesekan rebab, tiupan suling, sangat merepresentasikan suasana batin yang pedih, menyayat hati."

Hanya saja mengapa buah muncang yang digunakan sebagai kiasan, dan bukan buah lainnya yang ikonik tatar Sunda?

Sebuah tulisan terpisah nampaknya perlu untuk itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun