Untuk itu, tidaklah berlebihan bila Mumuh dalam Pajajaran dan Siliwangi dalam Lirik Tembang (2012) menulis tentang papatet tadi sebagai berikut:
"Bila dilihat dari aspek redaksionalnya, secara eksplisit, apalagi implisit, rumpaka ini mengekspresikan sikap yang sangat emosional para pengarangnya (mungkin juga mewakili masyarakatnya) yang sangat tertekan, yang kecewa dengan situasi zamannya yang tidak menguntungkan, penuh ketidakadilan, kezaliman, dan kesewenang-wenangan penguasa. Seolah-olah mereka menginginkan jarum jam sejarah kehidupan diputar ulang ke belakang, ke zaman keemasan urang Sunda, yaitu zaman Pajajaran ketika diperintah oleh Prabu Siliwangi (1482 – 1521).
Hal ini tampak, misalnya, dalam kalimat 'pulangkeun ka Pajajaran' (kembalikan ke Pajajaran). Mereka seolah ingin lari dari realitas yang tidak disanggupinya.
Hal tersebut bisa dipahami bila dilihat momentum penciptaan rumpaka tersebut, yaitu saat wilayah Sunda berada dalam penjajahan Negeri Belanda.
Suasana yang demikian tidak hanya tercermin pada redaksi rumpaka tapi juga pada nada lagunya yang umumnya sangat sentimental dan melankolis. Bunyi masing-masing waditranya pun, mulai dari petikan dawai kecapi, gesekan rebab, tiupan suling, sangat merepresentasikan suasana batin yang pedih, menyayat hati."
Hanya saja mengapa buah muncang yang digunakan sebagai kiasan, dan bukan buah lainnya yang ikonik tatar Sunda?
Sebuah tulisan terpisah nampaknya perlu untuk itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H