Tulisan ini merupakan kompilasi dari dua narasi kecil berkenaan dengan Pemilu Kepada Daerah (Pilkada) tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Hari H Pemilihan: Sebuah Ikhtiar Memilih
Pemilu adalah adalah pesta demokrasi. Begitu para optimistist demokrasi mengistilahkannya. Atau, paling tidak para pemandu sorak demokrasi yang mempopulerkan istilah tersebut.
Pemilu, dalam demokrasi memang layaknya kenduri. Party holders alias pemangku hajat, pemeran lakon dan penggembira terlibat-pukat dalam jaring-jaring demokrasi. Ke arah ini pesta demokrasi sederhananya tertuju.Â
Sementara dalam artian pesta aspirasi yang berbasis literasi politik, gagasan terukur untuk perbaikan dan komitmen untuk menjadi negarawan alih-alih tersandera partai dukungan, jargon pesta demokrasi masih perlu diperjuangkan pemaknaannya.
Narasi bahwa pemilu belum menjadi ajang untuk mencari yang terbaik melainkan baru upaya untuk mencegah yang terburuk benar-benar centang-perenang dengan terma pesta demokrasi. Akan tetapi, demokrasi Pancasila ala Indonesia kita teramat layak untuk diperjuangkan hingga titik optimalnya. Dalam perspektif ini, saya termasuk yang kelompok optimis berdemokrasi.
Demokrasi meniscayakan perbedaan. Ia laksana taman keragamana yang mana sebuah taman tak layak menyandang sebutan tersebut apabila ia hanya mengharapkan satu ragam. Keragaman mengimplikasikan adanya lebih dari satu ragam -- sebagaimana halnya dalam persatuan ada lebih dari satu satuan.Â
Mematok satu tafsiran tunggal atas visi agung Indonesia adalah bukan saja musuh demokrasi bahkan musuh Pancasila itu sendiri. Demokrasi hakikatnya adalah menghargai pilihan yang lain. Sebuah ekspresi keragaman.
In differentia harmonia (Harmoni dalam Perbedaan). Begitu saya mengistialhkannya. Keragaman dalam pilihanlah yang menjadikan mozaik indah Indonesia. Pemilu mendidik dan melatih kita menuju in differentia harmonia tersebut.Â
Dalam semangat inilah mengapa praktik buruk berdemokrasi seperti politik uang, politik identitas, dan politik nirmartabat lainnya yang berusaha membunuh keragaman dengan "membeli suara" untuk menyeragamkan pilihan merupakan noda sekaligus dosa dalam "iman" demokrasi. Inilah sejatinya musuh demokrasi.
KPU mengalokasikan waktu enam jam bagi setiap warga yang eligible menjadi peserta dalam pemilihan untuk menunaikan hak pilihnya secara "luber jurdil". Dan hari Rabu ini (27/11) adalah hari yang di dalamnya terdapat enam jam momentum sakral demokrasi kita tersebut. Siapapun yang mencederai sakralitasnya atau memandangnya dengan sikap tidak hormat layak untuk dianggap "berdosa" terhadap negara.
Saat keluar dari TPS hari ini, ada serangkum rasa lepas dan syukur atas tertunaikannya kewajiban sebagai warga negara. Pilihan saya, saya yakini tepat meskipun boleh jadi keliru; sementara pilihan yang lain saya yakini keliru meskipun boleh jadi tepat. Apapun hasilnya ikhtiar demokratis tadi adalah buah dari demokrasi kita. Bahwa saya telah memilih, itulah yang utama.
Selamat bagi siapapun yang memuliakan hari demokrasi kita hari ini!
***
In Differentia Harmonia: Sebuah Refleksi Pasca Memilih
Apa kabar pagi ini, para demokrat? Apa pun hasil ikhtiar pilihan kita kemarin, bukanlah segala-galanya. Yang utama adalah kita telah menunaikan kewajiban kita. Oh iya, demokrat di sini maksudnya para pendukung setia demokrasi, bukan anggota/partisan Partai Demokrat, ya! Hehehe
Siapapun yang masih terjebak dalam politik transaksional, Â bermain politik uang dan politisasi identitas, semoga segera sadar bahwa tindaknya tersebut mengkhianati demokrasi dan bahwa dirinya adalah parasit dalam tubuh demokrasi.
Kembali kepada ungkapan saya kemarin, in differentia harmonia, dalam sebuah kontestasi meniscayakan adanya perbedaan dalam dukungan dan pilihan. Kini saatnya kita berjiwa besar dalam menyikapi hasilnya. Sejak yang terpilih idealnya yang terbaik, maka ia idealnya akan mengayomi semua warga tanpa kecuali.Â
Dan sejak tidak ada pilihan yang sempurna, karena demokrasi sendiri tidaklah sempurna, maka perlu adanya mitra dalam perbedaan yang kita kenal sebagai oposan. Jadi oposisi bukanlah lawan. Ia sejatinya mitra yang berfungsi sebagai kontrol agar semua skema berjalan konstitusional dalam bingkai demokrasi. Inilah yang dimaksud dengan in differentia harmonia.
Untuk itu, pada hakikatnya tidak ada pemenang dalam sebuah kontestasi demokrasi. Seharusnya yang ada adalah siapa yang menawarkan program dan solusi terbaik demi masalahat seluruh warga negara. Kontestasi demokrasi seyogianya adalah ajang mengadu gagasan dan solusi, menjauhkan segala madarat, dan bukan kontes janji manis atau persekongkolan politis.Â
Dalam bingkai idealisme ini, para kontestan adalah perwakilan terbaik dari yang terbaik dari setiap warga yang diwakilinya. Betapa tidak, bila dalam demokrasi suara rakyat adalah suara Tuhan, vox populi vox Dei, maka siapapun yang terpilih maka terpikul atas dirinya amanat dari Tuhan. Inilah aspek religius dari demokrasi. Saya menyebutnya sebagai "iman" demokrasi.
Sampaikah ke tingkatan kesadaran ini para elected (kontestan terpilih) kita?
Para elector (pemilih) dan supporter (pendukung) memiliki kewajiban yang melekat untuk mengawal pilihan mereka. Mereka tidak boleh menjadi pemilih dan pendukung buta. Demikian pula bagi para opposant. Mereka tidak boleh asal ambil posisi berbeda dalam beroposisi. Supporter dan opposant harus berperan secara proporsional dalam harmoni demokrasi. Kembali, inilah in differentia harmonia.Â
Menilik beratnya idealisme dalam berdemokrasi, bahkan demokrasi dengan segala profanitasnya membatasi hanya dua periode bagi yang terpilih untuk memikul amanah. Terlebih lagi bila demokrasi kita naikkan ke level yang lebih transendental, maka sang terpilih akan mencukupkan dirinya pada satu periode saja. Ia akan mengoptimakan penunaian amanah yang embannya yang segera akan menyadarkan betapa utopisnya ia bisa melakukan itu sendiri.
 Sebagai bentuk tanggung jawab dan komitmen untuk menunaikan amanah, ia akan merangkul semua pihak, bahkan oposan sekalipun untuk menunaikan amanahnya dengan optimal. Ia akan terbuka terhadap kritik, saran dan pandangan yang lain. Inilah sejatinya in differentia harmonia bekerja.
Kalaupun sang terpilih berkinerja baik dan digadang-gadang "Lanjutkan!", besar kemungkinan ia akan mengutip kata-kata Jack London (1876-1916) berikut:
"Tujuan manusia yang sebenarnya adalah untuk hidup, bukan untuk eksis. Aku tidak akan menyia-nyiakan hari-hariku dengan mencoba memperpanjangnya. Aku akan menggunakan waktuku."
Selamat merawat demokrasi, para democrat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H